Kolase foto Presiden RI petama sampai Presiden RI ketujuh
JAKARTA, jurnal9.com – Pertumbuhan ekonomi diukur melalui produk domestik bruto (PDB). Sehingga PDB menjadi salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu negara dalam periode tertentu.
Jadi pertumbuhan ekonomi ditunjukkan melalui kenaikan PDB dengan dasar harga yang konstan.
Dan setiap presiden (kepala negara) punya kebijakan yang berbeda dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dalam pemerintahannya
Kalau melihat sejarah sejak pemerintahan Soekarno hingga pemerintahan Jokowi sekarang ini, negara kita mengalami situasi ekonomi dan politik yang berbeda pada setiap pemerintahan. Semua itu karena faktor pertumbuhan ekonomi yang mendorong perubahan terjadinya gejolak politik dalam setiap masa pemerintahannya.
Perlu diketahui, pertumbuhan ekonomi sebuah negara sangat terkait erat dengan tingkat kesejahteraan rakyatnya.
Faktor utama yang mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi adalah sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), modal, sosial budaya dan perkembangan teknologi.
Beberapa indikator pertumbuhan ekonomi; terlihat dari naiknya pendapatan nasional, pendapatan perkapita, jumlah tenaga kerja yang lebih besar dari jumlah pengangguran, serta berkurangnya tingkat kemiskinan.
Pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan produksi barang dan jasa ekonomi dari satu periode ke periode berikutnya, sehingga pertumbuhannya dapat diukur secara nominal atau riil (disesuaikan dengan inflasi).
Pemerintahan Soeharto
Ketika Soeharto naik menjadi presiden, negara sedang menghadapi kondisi ekonomi dan politik yang kacau. Ini bisa dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 1965, ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 1,08 persen.
Selama kurun waktu 1960-1965, ekonomi Indonesia hanya tumbuh rata-rata 2 persen. Kemudian pada periode 1966-1973 Indonesia mulai mengalami masa transisi ekonomi. Ketika itu Soeharto mengambil kebijakan untuk memperbaiki keadaan ekonomi yang terpuruk, karena negara saat itu menghadapi situasi politik yang kacau..
Ketika itu negara mengalami hiperinflasi: harga-harga naik begitu cepat. Nilai uang menurun drastis. Dan kondisi perekonomian di luar kendali negara.
Kondisi ini membahayakan perekonomian negara. Sehingga Soeharto kemudian mengambil kebijakan untuk mengatasi hiperinflasi tersebut.
BPS mencatat pada 1966, pertumbuhan ekonomi hanya tumbuh sebesar 2,79 persen. Setahun berikutnya (1967) turun menjadi 1,38 persen.
Namun upaya perbaikan ekonomi yang dilakukan Soeharto mulai terlihat sejak 1968. Dari tangan Soeharto selama tiga tahun itu, terjadi perubahan pertumbuhan ekonomi melambung mencapai 10,91 persen.
Sejak itu pengendalian inflasi mulai terlihat baik. BPS mencatat inflasi turun drastis menjadi 9,86 persen pada awal Pelita I pada 1969. PDB mencatat dengan dasar harga yang konstan, maka sejak 1960 usaha didominasi sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan.
Sektor ini menyumbang 40-50 persen PDB setiap tahunnya. Sektor lain yang cukup berperan terhadap PDB yaitu perdagangan, hotel, dan restoran. Sektor ini tumbuh setiap tahunnya.
Perkembangan berikutnya, pertumbuhan ekonomi pemerintahan Presiden Soeharto terus konsisten di kisaran 5 hingga 9 persen. Namun ada catatan buruk; pada 1982 dan 1983 pertumbuhan ekonomi sempat anjlok di bawah 5 persen.
Kemudian saat terjadi krisis minyak dunia (oil boom) pada 1973, justru menguntungkan Indonesia. Naiknya harga minyak dunia membuat ekspor migas Indonesia meningkat dari US$1,61 miliar pada 1973 menjadi US$7,44 miliar pada 1978.
Sehingga sektor pertambangan menjadi lapangan usaha ketiga penyumbang PDB pada 1973. Sektor pertambangan terus tumbuh seiring ditemukannya ladang minyak baru dan naiknya permintaan minyak dunia. Puncaknya pada 1983, nilai ekspor migas mencapai US$16,14 miliar. Angka tersebut menjadikan sektor ini menguasai lebih dari 70 persen ekspor Indonesia saat itu.
Ketika mulai menurun harga minyak dunia, membuat pemerintahan Soeharto mengubah arah ekonominya. Pada pertengahan 1983 kebijakan untuk mengembangkan sektor ekspor nonmigas pun dilakukan. Selain itu, pemerintah mendevaluasi rupiah sebesar 38 persen. Hal itu dilakukan untuk meningkatkan daya saing perekonomian. Dan berhasil menyokong perekonomian yang secara perlahan beralih ke sektor nonmigas.
Di antaranya ialah industri pengolahan dan sektor perbankan. Seperti dimuat dalam buku ‘Kesan Para Sahabat tentang Widjojo Nitisastro’ (hlm. 117), PDB sektor Industri pengolahan meningkat 581 persen, dari Rp9,9 triliun pada 1983 menjadi Rp67,44 triliun pada 1993.
Sedangkan sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan naik 385 persen dari Rp4,71 triliun pada 1983 menjadi Rp22,87 triliun pada 1993. Patut dicatat, sektor industri pengolahan pada 1984 menjadi penyumbang ketiga terbesar PDB. Rekor itu untuk pertama kalinya. Semenjak itulah sektor ini menjadi penyumbang utama PDB hingga saat ini.
Pemerintahan BJ Habibie
Ketika Soeharto mundur pada 21 Mei 1998. BJ Habibie yang sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden, akhirnya naik menggantikan Soeharto.
Pada masa pemerintahan Habibie tak membuat banyak perubahan pada kebijakan yang menentukan arah PDB. Dia hanya sebentar menjabat sebagai presiden. Pada tahun pertamanya, pemerintahan Habibie malah pertumbuhan ekonominya terjun bebas menjadi minus 13,31 persen.
Kondisi itu turut dipengaruhi krisis nilai tukar yang membuat rupiah terdepresiasi dari Rp3.633 pada Juli 1997 menjadi Rp15.100 pada Mei 1998. Kemudian pada tahun keduanya, dengan berbagai perbaikan regulasi, Habibie mencatatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,79 persen pada 1999.
Pemerintahan Gus Dur
Melalui pemilihan umum (pemilu), KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) naik menjadi presiden pada 1999. Pertumbuhan ekonomi di era Gus Dur mulai kembali positif. Pada tahun pertama pemerintahannya, ekonomi tumbuh sebesar 4,92 persen pada 2000.
Namun pada tahun berikutnya, pertumbuhan ekonomi turun menjadi 3,64 persen. Selain melihat pertumbuhan ekonomi dari sisi kontribusi lapangan usaha, juga dapat dilihat dari sisi pengeluaran.
Kepemimpinan Gus Dur di bidang ekonomi kurang efektif. Lemahnya kerja tim ekonomi pemerintahan Gus Dur berdampak pada buruknya hubungan dengan IMF. Sampai-sampai Gus Dur dimakzulkan pada pertengahan 2001.
Pemerintahan Megawati
Turunnya Gus Dur dari presiden, mengangkat Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri naik menggantikannya. Pada pemerintahan era Megawati cukup berhasil melakukan stabilisasi ekonomi. Laju pertumbuhan ekonominya menunjukkan tren naik. Kemudian secara berturut-turut, pertumbuhan ekonomi pada 2002 dari sebesar 4,5 persen naik menjadi 4,78 persen pada 2003 dan naik lagi 5,03 persen pada 2004.
Industri pengolahan semakin berkembang di era Megawati. Selama tiga tahun kalender, PDB industri mencapai Rp400 triliun. Dan ini menjadi sektor penyumbang PDB terbesar menurut lapangan usaha.
Pemerintahan SBY
Menurut catatan BPS, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) cukup baik dalam menjaga pertumbuhan ekonominya. Selama 10 tahun masa kepemimpinannya, pertumbuhan ekonomi melaju di kisaran 5 hingga 6 persen.
Pencapaian terendah pemerintahan SBY terjadi pada 2009 dengan pertumbuhan ekonomi 4,63 persen. Akibat krisis moneter 2008.
Sehingga menurunnya kondisi ekonomi tersebut dipengaruhi tekanan ekonomi global yang berdampak pada pelemahan rupiah yang mencapai puncaknya pada kuartal akhir 2008.
Keadaan tersebut mengakibatkan stabilitas moneter dan sistem keuangan pada kuartal pertama 2009 mengalami tekanan berat, ekspor barang dan jasa juga mengalami kontraksi yang cukup dalam.
Kritik untuk SBY selama pemerintahannya gagal membangun infrastruktur seperti yang dilakukan Jokowi. Anggaran infrastruktur pada masa SBY kurang dari empat persen dari APBN. Sementara anggaran cukup besar untuk pos subsidi energi.
Kemudian pada APBN 2015, pemerintahan SBY menganggarkan Rp344,70 triliun untuk subsidi energi.
Pemerintahan Jokowi
Pada pemerintahan Jokowi, penambahan anggaran infrastruktur terus ditingkatkan. Sehingga menunjukkan tren lebih baik dalam pembangunan infrastruktur pada pemerintahannya.
Memang di awal pemerintahannya, Jokowi menargetkan pertumbuhan ekonomi dapat melejit sampai 7 persen. Itu yang menjadi mimpi Presiden Jokowi.
Namun menurut catatan BPS, pencapaian pertumbuhan ekonomi pada periode pertama pemerintahan Jokowi hanya berkisar rata-rata 5,03 persen, dengan laju pertumbuhan ekonomi pada 2014 hingga 2018 berkisar 4,88 persen – 5,17 persen.
Tapi rekor tertinggi selama hampir 9 tahun pemerintahan Jokowi, baru dicapai pada 2022 lalu sebesar 5,31 persen secara year on year (yoy).
Memasuki periode kedua, pemerintahan Jokowi, pertumbuhan ekonomi pada 2019 mencapai 5,02 persen. Ini lebih kecil dibandingkan rata-rata pertumbuhan ekonomi pada periode pertama.
Dan memasuki akhir pemerintahan Jokowi pada 2024, pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi tinggi, yaitu 5,3 persen hingga 5,7 persen. Target ini merupakan proyeksi pertumbuhan ekonomi pemerintahan Jokowi yang paling tinggi jika tercapai.
Kalau melihat catatan BPS, selama masa pemerintahan Jokowi yang sudah berjalan hampir genap dua periode ini, pencapaian pertumbuhan ekonominya bergerak stagnan di kisaran 5 persen.
Sehingga cita-cita Presiden Jokowi yang ingin dalam masa pemerintahannya dapat mencapai target pertumbuhan ekonomi 7 persen, kenyataannya tidak terwujud. Kandas sudah mimpi Presiden Jokowi.
Melihat kenyataan ini pertumbuhan ekonomi era pemerintahan Jokowi belum melampaui yang dicapai pemerintahan SBY, yaitu 6 persen.
Apalagi jika dibandingkan era pemerintahan Soeharto yang mencapai pertumbuhan ekonomi yang terus konsisten di kisaran 5 hingga 9 persen. Bahkan pada awal pemerintahannya 1968-1969 pernah melambung mencapai 10,91 persen.
ARIEF RAHMAN MEDIA