Sidang etik Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
JAKARTA, jurnal9.com – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang uji materi batas usia Capres & Cawapres terus menimbulkan pro kontra. Sampai timbul desakan dari berbagai pihak agar putusan MK tersebut dibatalkan.
Bahkan anggota DPR RI Fraksi PDI-P menyebut ada pelanggaran dalam putusan MK ini, sehingga memunculkan gagasan Hak Angket terhadap putusan MK tersebut.
Hebohnya pro kontra putusan MK ini ditanggapi Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia (PEDPHI), Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. yang menegaskan bahwa putusan MK itu bersifat final dan mengikat.
“Putusan MK itu telah memiliki kekuatan hukum tetap, sejak dibacakan dalam persidangan MK. Sehingga putusan MK ini harus dilaksanakan, meskipun ada pro dan kontra. Dan berlaku bagi semua orang (erga omnes),” ungkapnya.
Abdul Chair menjelaskan yang perlu dipahami, bahwa putusan MK yang menambahkan frasa pada Pasal 169 huruf q UU Pemilu, bukan hanya ditujukan kepada seorang Kepala Daerah saja, namun juga berlaku bagi semua jabatan yang dipilih melalui Pemilu. Termasuk bagi anggota DPR, DPD dan DPRD.
Munculnya kontra yang mendorong berlangsungnya sidang dugaan pelanggaran kode etik hakim Konstitusi oleh Majelis Kehormatan MK (MKMK), menurut dia, tidak dapat membatalkan putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023.
“Tidak ada dasar hukum yang menyebutkan Majelis Kehormatan MK (MKMK) dapat membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi,” tegas Ketua Umum PEDPHI itu.
“Dukungan terhadap Majelis Kehormatan MK supaya membatalkan putusan tersebut, menunjukkan sikap yang berlawanan dengan konstitusi. Dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 sudah jelas dan tegas menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, dan putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,” paparnya.
Dengan demikian, tegas Abdul Chair, tidak ada upaya hukum guna membatalkan putusan MK tersebut. Justru dipertanyakan keinginan untuk membatalkan putusan MK tersebut.
Sebagai negara hukum, kata dia, maka kewajiban mentaati hukum berlaku bagi semua warga negara dan sekaligus negara harus menjamin terselenggaranya pelaksanaan hukum secara pasti dan adil.
“Putusan MK harus dimaknai sebagai jaminan perlindungan, bukan hanya ditujukan kepada kepentingan individu, kepentingan masyarakat, tetapi juga menyangkut kepentingan Negara,” ujarnya.
“Iya, suka atau tidak suka terhadap Putusan MK yang pada akhirnya menjadikan Gibran sebagai Cawapres dan disandingkan dengan Prabowo, hal itu sudah sah secara hokum,” ia menegaskan.
Segala macam perdebatan maupun berbagai manuver seperti gagasan Hak Angket DPR, kata dia, tidak dapat memberikan pengaruh apa pun terhadap putusan MK.
Menurut Abdul Chair, khusus menyangkut gagasan Hak Angket ini perlu dipertanyakan. Sebab pelaksanaan Hak Angket menunjuk pada adanya dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan undang-undang atau kebijakan pemerintah.
“Pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan pemerintah yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan harus diawali dengan adanya perbuatan konkrit. Disini dipertanyakan perbuatan konkrit apa yang terjadi. Seiring dengan itu, adakah hubungan sebab akibat (kausalitas) dengan adanya dampak yang demikian luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,”
“Saya sampaikan langsung pada Masinton Pasaribu, selaku pihak yang mengusulkan Hak Angket terhadap MK, ternyata tidak ada kejelasan. Penjelasan yang disampaikan justru menunjukkan ketidakjelasannya,” cetusnya.
Bahkan menurut Abdul Chair, desakan pembatalan terhadap putusan MK tentang uji materi batas usia Capres & Cawapres oleh Majelis Kehormatan MK itu bertentangan dengan UUD 1945.
Majelis Kehormatan tidak bisa membatalkan putusan MK tersebut. Sebab putusan Majelis Kehormatan tidak sederajat dengan putusan MK. “Apakah mungkin putusan Mahkamah Kehormatan yang tidak sederajat itu bisa membatalkan putusan MK yang kewenangannya disebut dalam UUD 1945,” ucapnya.
ARIEF RAHMAN MEDIA