Jurnal9.com
HeadlineNews

Tanah Pulau Rempang Milik Siapa? Penduduk Asli Kok Digusur

Warga Pulau Rempang menyelamatkan anaknya saat aparat kepolisian menembakkan gas air mata ke arah massa

BATAM, jurnal9.com – Nasib yang menyedihkan sedang dihadapi lebih dari 7 ribu warga di Pulau Rempang, Provinsi Kepulauan Riau. Penduduk asli ini akan kehilangan hak atas tanahnya akibat digusur oleh Badan Pengusahaan Batam (BP Batam).

Pulau Rempang masuk dalam Program Pengembangan Kawasan Rempang. Sebuah Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam. Dan ini sudah menjadi bagian dari program pemerintah pusat.

Namun warga Pulau Rempang menolak rencana pemerintah itu. Tetapi pemerintah tetap ngotot kalau tanah di pulau yang berseberangan dengan Singapura itu harus dikosongkan. Karena akan dikembangkan menjadi kawasan industri dan pariwisata.

Masyarakat luas banyak yang bertanya; tanah di Pulau Rempang sebenarnya milik siapa? Kok lahan di pulau ini sekarang menimbulkan konflik antara BP Batam dan penduduk asli.

Pemerintah melalui Menko Polhukam, Mahfud MD, mengklaim bahwa lahan di Pulau Rempang itu milik negara. Dan ini menjadi aset milik pemerintah kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Cuma hak pengelolaannya telah diberikan kepada sebuah perusahaan.

“Masalah hukumnya juga supaya diingat. Banyak orang yang tidak tahu, kalau tanah di Pulau Rempang itu oleh negara haknya diberikan kepada sebuah perusahaan. Entitas perusahaan untuk digunakan dalam hak guna usaha, pada 2001, 2002,” ungkap Mahfud MD kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (9/9/2023).

Dan Pemerintah Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, telah mengeluarkan izinnya pada 2001. Kemudian pada 2014, pulau ini akan dimasuki  investor.

Awalnya, lahan di Pulau Rempang ini akan dikelola PT Makmur Elok Graha (MEG). Perusahaan ini merupakan bagian dari grup Artha Graha milik Tommy Winata. PT MEG diberi konsesi selama 30 tahun untuk mengelola kawasan tersebut. Bahkan bisa diperpanjang hingga 80 tahun.

Menurut Mahfud, tidak hanya Pulau Rempang, tetapi Pulau Setokok dan Pulau Galang yang masing-masing seluas 300 hektar, juga termasuk dalam pengelolaan PT MEG.

Namun sejak 2004, kata Mahfud, tidak ada tanda-tanda pembangunan di tiga pulau tersebut. Sehingga lahannya kosong tak ada bangunan. Kemudian warga setempat mulai masuk dan menghuni lahan di Pulau Rempang.  Ini cerita menurut versi pemerintah.

Kemudian pada 2023 ini, menurut dia, ada perusahaan asal China, Xinyi, ada rencana untuk berinvestasi di Pulau Rempang. Perusahaan China itu akan membangun kawasan industri dan pariwisata: Rempang Eco-City. Nilainya mencapai Rp172 triliun.

Pemerintah tergiur dengan rencana perusahaan asal China itu. Selain nilai investasinya besar. Lahan di Pulau Rempang itu akan menjadi daya tarik sebagai kawasan industri dan pariwisata.

Ketika ada investor tertarik ingin membangun kawasan tersebut, ternyata lahan di pulau ini sudah ditempati warga sekitar. “Ini yang menjadi awal konflik yang mengakibatkan bentrokan antara pihak kepolisian dan warga Pulau Rempang,” kata Mahfud.

Kehadiran petugas dari BP Batam yang mau mengukur dan memasang patok di lahan Pulau Rempang itu dihadang penduduk asli setempat. Mereka menolak kedatangan para petugas BP Batam itu. Lalu tak lama kemudian datang dari aparat kepolisian bersama TNI AL.

Warga Pulau Rempang makin marah. Karena petugas dari BP Batam ini telah memaksakan untuk tetap mau mengukur lahan dan pasang patok. Tanpa ada omongan apa pun dengan masyarakat setempat.

Akhirnya para warga berkumpul dan melakukan unjuk rasa. Menghadapi petugas dari BP Batam yang dikawal aparat kepolisian bersama TNI AL itu.

Perwakilan warga Pulau Rempang, Suwardi dalam orasinya, menjelaskan semua penduduk asli meyakini kalau tanah di Pulau Rempang ini adalah tanah ulayat yang harus dipertahankan.

Tanah ulayat ini, menurut dia, telah dikuasai ninik mamak para kepala suku (datuk). Secara hukum adat, tanah ulayat ini dikelola oleh masing-masing suku secara turun temurun. “Dan ini sudah ratusan tahun. Sehingga status tanah ulayat secara adat sangat kuat.”

Tanah ulayat ini kemudian diwariskan kepada anak cucu secara turun temurun sampai sekarang.

Suwardi menyebutkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria: dijelaskan bahwa hak ulayat diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Pengakuan itu harus disertai dengan dua (2) syarat, yaitu mengenai eksistensi dan pelaksanaannya.

Namun Mahfud sendiri mengaku belum mengetahui pasti kalau tanah yang sedang disengketakan ini adalah tanah ulayat yang tidak boleh diganggu gugat.

Perselisihan ini yang memicu konflik warga Pulau Rempang dengan pihak pemerintah setempat.

Sementara itu Kepala BP Batam M Rudi mengaku dirinya hanya menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah pusat. “Saya hanya menjalankan tugas sebagai pengelola BP Batam. Kalau anda ingin tahu jelas; bagaimana status lahan di Pulau Rempang ini, silakan bertanya kepe pemerintah pusat. Atau ke kementerian terkait,” ujarnya.

Kuasa Hukum warga Pulau Rempang, Petrus Selestinus menganggap pemerintah pusat sudah keterlaluan. Warga setempat sebenarnya hanya menghadang para petugas BP Batam yang mau mengukur tanah dan mematok lahan.

“Tapi malah menurunkan sekitar seribuan aparat kepolisian dan TNI AL untuk mengusir warga yang berjaga-jaga di jembatan Barelang. Ini yang bikin rusuh. Dan menjadi peristiwa berdarah. Ada puluhan korban anak sekolah, dan orang dewasa yang dianiaya aparat. Sehingga berjatuhan korban luka-luka yang harus dilarikan ke rumah sakit,” ungkapnya.

“Bapak Kapolri bilangnya polisi didatangkan bersama TNI AL bertugas untuk penertiban Ini sih bukan untuk menertibkan. Tapi aparat [negara] untuk menyerang rakyatnya sendiri. Ini jelas merupakan tindakan yang tidak berperikemanusiaan, tindak kriminal, dan melanggar HAM. Wah…kacau bapak kapolri Sigit ini,” tegas dia.

Padahal Presiden Jokowi dalam rapat kabinet, tegas Petrus, mengatakan soal konsesi lahan yang diberikan kepada BUMN atau swasta, diminta harus mengutamakan hak rakyat setempat.

Baca lagi  Presiden AS Joe Biden Ikut Rayakan Idul Fitri, Kutip Ayat Alquran Surat Al-Hujurat

“Kalau tidak, izin konsesinya dicabut saja. Itu yang selalu ditekankan presiden. Tapi kasus proyek Eco-City Rempang ini, kenapa penduduk asli Pulau Rempang kok dikangkang hak atas tanahnya yang dihuni sudah berpuluh-puluh tahun,”  ungkap dia.

“Aparat Polisi dan TNI AL turun melakukan kekerasan terhadap warga sampai berdarah-darah, ini jelas tindakan kekerasan. Siapa yang dibela? Pemilik perusahaan yang punya konsesi lahan ini. Aparat melakukan ini dengan mengatasnamakan untuk pembangunan proyek strategis nasional,” kata Petrus menegaskan lagi.

Pandangan WALHI  

Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, Parid Ridwanuddin, menjelaskan melalui SK Hak Pengelolaan (HPL) Kawasan Rempang ini dikeluarkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang kepada Badan Pengusahaan (BP) Batam, Kepulauan Riau, di atas lahan seluas 17 ribu hektar.

Dengan dikeluarkannya SK HPL yang diberikan kepada BP Batam ini, pemerintah secara tegas mengindikasikan niatnya untuk menghidupkan kembali konsep domein verklaring (negaraisasi tanah).

Prinsip ini menegaskan bahwa tanah di Pulau Rempang dianggap sebagai kepemilikan negara. Sehingga pada gilirannya memungkinkan pemerintah atau entitas yang berada di bawah otoritasnya, seperti BP Batam ini bisa dengan mudah untuk mengakuisisi tanah yang sebelumnya dimiliki penduduk asli setempat.

Padahal prinsip ini, kata Parid, telah ditiadakan oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Sehingga klaim BP Batam terhadap Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang sesungguhnya tidak memiliki status itu, setara dengan hak atas tanah seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP) yang diakui oleh UUPA.

“Ini yang bikin kacau. BP Batam: dalam hal ini pemerntah pusat, bisa sewenang-wenang,” ungkapnya.

Akibat dari keputusan ini, menurut Parid, selama dua bulan terakhir, warga di Pulau Rempang melakukan demonstrasi besar-besaran sebagai bentuk penolakan terhadap rencana penggusuran. Dan mereka akan mempertahankan haknya untuk hidup dan memiliki tanah di pulau ini yang sudah dihuni berpuluh-puluh tahun.

Sementara itu pemerintah juga mengadakan GTRA Summit 2023 di Pulau Karimun. Terletak sekitar 73 km dari Pulau Rempang. Keadaan ini memunculkan paradoks yang mencolok. Di satu sisi, GTRA Summit 2023 bertujuan untuk memperkuat kepastian hak kepemilikan tanah bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Tapi di sisi lain, warga Pulau Rempang justru menghadapi risiko kehilangan hak atas tanahnya akibat proyek investasi pemerintah itu.

Namun yang jadi pertanyaan, bagaimana kepastian hukum bagi penduduk asli Pulau Rempang dapat dijamin dalam konteks ini?

Parid menyebut luas Pulau Rempang yang kurang-lebih 165 km persegi itu, masuk ke dalam kategori pulau kecil. Ini berdasarkan definisi UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

“Berdasarkan hal itu, sudah jelas pengelolaan Pulau Rempang sebagai pulau kecil, memang harus diprioritaskan untuk wilayah penduduk asli setempat. Karena bukan untuk investasi besar. Dan tidak boleh mengusir mereka,” papar Parid.

Tak mau dibayar tanahnya

Kemudian Perwakilan warga Pulau Rempang ini menyampaikan pihaknya tegas menolak  direlokasi dari tempat tinggalnya. Meskipun warga diming-imingi dengan kompensasi diberi rumah yang layak, diberi lahan yang luas di tempat lain, diberi uang, mereka tetap menolaknya.

“Jadi kami tetap bertahan di tanah kami, meskipun pemerintah mau mengganti berapapun uangnya, kami tetap menolaknya. Sampai kapan pun,” kata Suwardi yang didampingi pengacara dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta.

“Ibarat kata orang melayu, biarlah kami berdiri daripada kami hidup berlutut. Karena kami mau jadi tuan rumah di negeri kami sendiri,” tegasnya.

Suwardi mengatakan penolakan tersebut bukan didasarkan atas persoalan biaya ganti-rugi rumah. Warga menolak rencana itu karena kampung di Pulau Rempang ini memiliki nilai sejarah. Dan sudah dihuni ratusan tahun silam.

Ustadz Abdul Somad  (UAS) memberikan penegasan dalam instagramnya  @ustadzabdulsomad_official pada Minggu (10/9/2023), menyatakan dukungannya kepada masyarakat Pulau Rempang.

Dalam postingannya UAS tampil dengan foto berwajah masam. Sambil mengutip pernyataan Prof. Dr. Dato’ Abdul Malik, M.Pd, yang menyebutkan masyarakat Pulau Rempang merupakan keturunan prajurit kesultanan Riau-Lingga.

Para prajurit itu sudah mendiami pulau itu sejak masa Kesultanan Sulaiman Badrul Alam Syah I sejak tahun 1720.

Selanjutnya, mereka pun ikut berperang bersama Raja Haji Fisabilillah dalam Perang Riau I pada tahun 1782 hingga 1784.

Begitu juga dalam Perang Riau II bersama Sultan Mahmud Riayat Syah pada tahun 1784 hingga 1787.

“Penduduk asli Rempang-Galang dan Bulang adalah keturunan para prajurit Kesultanan Riau-Lingga yang sudah eksis sejak 1720 masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I. Pada Perang Riau I (1782-1784) mereka menjadi prajurit Raja Haji Fisabilillah. Dan, dalam Perang Riau II (1784–1787) mereka prajurit Sultan Mahmud Riayat Syah,” tulis Ustaz Abdul Somad.

“Ketika Sultan Mahmud Riayat Syah berhijrah ke Daik-Lingga pada 1787, Rempang-Galang dan Bulang dijadikan basis pertahanan terbesar Kesultanan Riau-Lingga. Pemimpinnya Engku Muda Muhammad dan Panglima Raman yang ditunjuk oleh Sultan Mahmud,” paparnya.

Kala itu, pasukan Belanda dan Inggris yang sudah menguasai Nusantara tak berani memasuki wilayah Kesultanan Riau-Lingga.

Para prajurit itu telah menjaga Pulau Rempang dan menetap sampai saat ini.

“Anak-cucu merekalah sekarang yang mendiami Rempang-Galang secara turun-temurun,” ungkap UAS.

“Pada Perang Riau itu nenek-moyang mereka disebut Pasukan Pertikaman Kesultanan. Nukilan itu ada ditulis di dalam Tuhfat al-Nafis karya Raja Ali Haji. Semoga mereka senantiasa dilindungi Allah SWT,” jelasnya.

GEMAYUDHA M  I  ARIEF RAHMAN MEDIA

Related posts

Januari 2021 Semua Sekolah Mulai Diperbolehkan Belajar Tatap Muka

adminJ9

Ini Tak Lazim, Pesawat yang Membawa Jokowi Berputar di Wilayah Turki

adminJ9

GIMNI Tidak Terima Anggotanya Ditetapkan Jadi Tersangka Kasus Minyak Goreng

adminJ9

Leave a Comment