Ilustrasi keadilan
JAKARTA, jurnal9.com – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan restorative justice atau keadilan restoratif kini sudah menjadi program yang dicanangkan pihak kepolisian.
Penanganan kasus dengan restorative justice ini, kata Listyo, merupakan langkah untuk mengikuti dinamika perkembangan dunia hukum yang mulai bergeser dari positivisme ke progresif. Hal ini dilakukan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat.
“Restorative justice atau keadilan restoratif kini menjadi perhatian dalam penyelesaian perkara pidana di kepolisian. Ada lebih dari 1.000 perkara telah diselesaikan melalui metode ini,” ungkapnya.
Namun untuk penerapan restorative justice ini, Kapolri menyebutkan dalam pelaksanaannya terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi.
Dalam Pasal 1 Angka 27 Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana disebutkan; keadilan restoratif ini harus melibatkan pelaku, korban dan/atau keluarganya serta pihak terkait. Ini bertujuan agar tercapai keadilan bagi seluruh pihak.
Melansir Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020, keadilan restorative justice adalah suatu prinsip penegakan hukum dalam penyelesaian perkara dapat dijadikan sebagai instrumen pemulihan.
“Metode ini sudah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dalam bentuk pemberlakukan kebijakan,” jelas Listyo.
8 Syarat Restorative Justice
Namun diakui Kapolri, pelaksanaan restorative justice ini dalam sistem peradilan pidana Indonesia belum optimal. Terdapat beberapa syarat dalam penyelesaian perkara dengan pendekatan restorative justice ini. Syarat tersebut diatur dalam Pasal 12 huruf A dan B Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, di antaranya sebagai berikut:
- Tindak pidana yang diselesaikan adalah tindak pidana yang bersifat ringan atau tindak pidana yang merupakan delik aduan baik bersifat absolut/relatif.
- Ada keinginan dari pihak-pihak yang berperkara (pelaku dan korban) untuk berdamai dan akibat dari permasalahan tersebut tidak menimbulkan dampak yang luas/negatif terhadap kehidupan masyarakat.
- Harus dilaksanakan kegiatan yang bersifat rekonsiliasi dengan mempertemukan pihak yang berperkara serta melibatkan pranata sosial seperti tokoh-tokoh masyarakat setempat.
- Dalam menyelesaikan perkara perlu memperhatikan faktor niat, usia, kondisi sosial ekonomi, tingkat kerugian yang ditimbulkan, hubungan keluarga/kekerabatan serta bukan merupakan perbuatan yang berulang (residivis).
- Apabila perbuatan tersebut diawali dengan perjanjian/perikatan (mengarah ke perdata).
- Pihak korban harus mencabut laporan/pengaduan.
- Apabila terjadi ketidakpuasan para pihak yang berperkara setelah dilakukan di luar mekanisme pengadilan maka dilakukan penyelesaian sesuai prosedur hukum yang berlaku.
- Apabila terjadi pengulangan tindak pidana yang dilakukan maka harus dilaksanakan proses hukum sesuai peraturan/hukum yang berlaku.
Jika syarat-syarat tersebut di atas terpenuhi, maka kategori perkara dapat diajukan permohonan perdamaian kepada atasan Penyidik Kepolisian.
Polri kemudian membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tambahan para pihak yang terlibat. Dalam BAP ini semua pihak harus mencabut semua keterangannya. Dengan pencabutan semua keterangan tersebut, Polri melakukan pemeriksaan secara konfrontasi terhadap semua pihak yang terlibat dalam perkara ini. Selanjutnya penanganan terhadap perkara ini harus dihentikan.
ARIEF RAHMAN MEDIA