Jurnal9.com
BusinessHeadline

Harga Beras Indonesia Paling Mahal di ASEAN, Ironisnya Pendapatan Petani Rendah

Presiden Jokowi saat meninjau gudang Bulog

KABUPATEN PASER, jurnal9.com – Laporan Bank Dunia (World Bank) menyebutkan harga beras di Indonesia dinilai paling mahal di kawasan negara-negara ASEAN. Bahkan 20% lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga beras di pasar internasional.

Harga tinggi itu tidak sebanding dengan pendapatan para petani yang tergolong rendah.

Demikian yang disampaikan Country Director for Indonesia and Timor Leste, World Bank, Carolyn Turk dalam laporan Bank Dunia itu pada acara Indonesia International Rice Conference (IIRC) di The Westin Resort Nusa Dua Bali, Kamis (19/9/2024).

Mendengar laporan Bank Dunia itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelaskan kalau harga beras di Indonesia menjadi mahal, karena dipicu harga beras impor yang dihitung dengan skema free on board (FOB).

“Coba dilihat, harga beras FOB itu berapa? Kira-kira US$ 530 – US$ 600, ditambah biaya pengiriman sekitar US$ 40 an. Coba dihitung berapa? Kalau mau membandingkan, mestinya di konsumen. Itu akan kelihatan,” ujarnya kepada wartawan saat meninjau Gudang Bulog Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, Kamis (26/9/2024).

“Harga beras impor dengan skema FOB itu sudah terbilang mahal, yakni US$ 530 – US$ 600 per ton, atau sekitar Rp 600 ribu per ton,” kata Presiden Jokowi menjelaskan.

Harga beras yang wajar, lanjut presiden, seharusnya mencerminkan harga gabah yang baik, sehingga dapat meningkatkan harga jual di tingkat petani.

Kalau Bank Dunia menyinggung pendapatan petani dianggap rendah, kata presiden, karena harga jual petani itu dipengaruhi oleh harga gabah kering, jika tidak ada distorsi di lapangan.

“Kalau harga gabah itu sudah baik, harga jual petani seharusnya baik, itu kalau tidak ada distorsi di lapangan ya..,” cetusnya.

Presiden meminta kepada semua pihak untuk ikut mengecek harga di lapangan. Sementara Badan Pangan Nasional (Bapanas) saat ini menjaga harga gabah kering di tingkat petani, ada di level Rp 6.000 per kilogram, sehingga petani tetap mendapat untung. Dan harga beras sampai di konsumen masih terkendali.

Baca lagi  KemenkopUKM Dorong Konsolidasi Petani Bentuk Koperasi untuk Wujudkan Korporatisasi Pangan

“Coba cek di petani harga gabah berapa? Dulu Rp 4.200 per kilogram. Sekarang sudah Rp 6.000 per kilogram. Itu harga gabah. Dari situ sudah jelas, NTP-nya (nilai tukar petani) juga bisa dicek di lapangan,” kata presiden menjelaskan.

Sementara itu Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo tak menyangkal pernyataan Presiden Jokowi. “Memang benar, harga beras di Indonesia mahal karena faktor ongkos input produksi. Apalagi selama 8 bulan terakhir, mengalami defisit produksi. Sehingga antara produksi dan konsumsi berkontribusi pada kenaikan harga beras,” ungkapnya memberi alasan.

Pendapat senada disampaikan Ketua Umum Perpadi (Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia), Sutarto Alimoeso, yang menyebutkan harga beras di Indonesia mahal karena rantai pasok yang sangat panjang.

“Ditambah dengan kesulitan petani untuk mendapatkan pupuk hingga bibit unggul. Ini betul. Petani yang bekerja 4 bulan itu susah mendapatkan pupuk. Kadang ada yang nawarin lewat online, tapi kualitasnya tidak jelas. Hal seperti ini mestinya dikontrol pemerintah, sehingga tidak mengganggu produktivitas petani,” keluh Sutarto.

Pembatasan impor

Berbeda dengan pendapat Carolyn dari Bank Dunia itu. “Penyebab mahalnya harga beras di Indonesia. Bahkan paling mahal di kawasan negara-negara ASEAN. Dan 20% lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga beras di pasar internasional. Itu salah satunya disebabkan oleh adanya pembatasan impor,” ungkapnya.

Selain itu, kata Carolyn, keputusan pemerintah Indonesia menaikkan harga jual beras, bisa melemahkan daya saing pertanian, sehingga membuat harga beras jadi mahal. “Terbukti harga eceran beras di Indonesia lebih mahal dibandingkan di negara-negara ASEAN dan di pasar internasional,” ucap dia.

“Ironisnya harga beras yang mahal itu tidak sebanding dengan kesejahteraan petani dikarenakan pendapatanya yang tergolong rendah,” kata Carolyn menegaskan.

Terkait pendapatan para petani itu, Badan Pusat Statistik (BPS) pernah melakukan survei terpadu pada 2021. Hasil survei BPS menyebutkan pendapatan rata-rata petani di Indonesia, kurang dari US$ 1 per hari, atau US$ 341 untuk kurun waktu satu tahun.

ARIEF RAHMAN MEDIA  

Related posts

Berhaji dengan Jalan Kaki dari Inggris ke Mekah Ditempuh 10 Bulan, 25 Hari

adminJ9

MenkopUKM Apresiasi Marketplace Pertanian yang Lepas Ekspor Produk ke UEA

adminJ9

Ini Ujaran Kebencian Pendeta Saifuddin yang Bikin Gaduh; Menistakan Agama Islam

adminJ9

Leave a Comment