Jurnal9.com
HeadlineNews

Putusan MK: Orang Tua Kandung yang Ambil Paksa Anaknya Bisa Dipidana

Ibu-ibu yang jadi saksi dalam sidang perkara hak asuh anak di Mahkamah Konstitusi

JAKARTA, jurnal9.com – Meskipun orang tua kandung [dalam kasus perceraian], tapi tidak memiliki hak asuh atas putusan pengadilan, seperti mengambil anaknya secara paksa, tanpa sepengetahuan dan seizin dari orang tua pemegang hak asuh, maka tindakan pengambilan anak ini bisa dipidana.

Sebab tindakan ini termasuk dalam Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Demikian yang disampaikan Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan mahkamah dalam Putusan Nomor 140/PUU-XXI/2023 dalam perkara terkait uji materi Pasal 330 ayat (1) KUHP yang dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum.

“Jika orang tua kandung yang tidak memiliki hak asuh atas putusan pengadilan, seperti mengambil anaknya secara paksa, tanpa sepengetahuan dan seizin dari orang tua pemegang hak asuh, apalagi dilakukan dengan ancaman paksaan, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan melanggar Pasal 330 ayat (1) KUHP,” tegas Arief dalam sidang pleno MK di Jakarta, Kamis (27/9/2024).

Perkara uji materi ini diajukan oleh lima orang ibu; yakni Aelyn Hakim, Shelvia, Nur, Angela Susanto dan Roshan Kaish Sadaranggani. Para pemohon mepersoalkan bunyi frasa ‘barang siapa’ dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP tersebut.

Menurut pemohon, berdasarkan pengalaman pribadi mereka, bunyi frasa ‘barang siapa’ pada pasal tersebut berpotensi ditafsirkan: sang ayah atau ibu kandung dari anak itu tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tuduhan menculik anak kandung sendiri.

Kelima pemohon uji materi itu merupakan ibu yang bercerai dan memiliki hak asuh anak berdasarkan putusan pengadilan. Tapi mereka tidak bisa bertemu dengan anaknya karena dibawa kabur ayahnya secara paksa.

Ketika mereka melaporkan perbuatan mantan suaminya ke kepolisian dengan menggunakan Pasal 330 ayat (1) KUHP tersebut, laporan mereka tidak diterima polisi dengan alasan yang membawa kabur itu adalah ayah kandungnya sendiri.

Berdasarkan pengalaman itu, lima orang ibu ini mengajukan uji materi dengan meminta kepada MK supaya bunyi frasa ‘barang siapa’ dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP tersebut diganti menjadi ‘setiap orang tanpa terkecuali ayah atau ibu kandung dari anak.’

Terkait hal ini, MK menjelaskan bahwa frasa ‘barang siapa’ dalam pasal tersebut diuji, ternyata kata ‘barang siapa’ ini merupakan padanan kata dari Bahasa Belanda ‘hij die’ yang merujuk kepada siapa saja atau orang yang melakukan perbuatan, diancam pidana. Artinya frasa tersebut mengandung makna ‘setiap orang’.

Baca lagi  PM Liz Truss: Ekonomi Inggris telah Memasuki Resesi

“Dengan demikian, dalam konteks Pasal 330 ayat (1) KUHP frasa ‘barang siapa’ dengan sendirinya juga mencakup ayah atau ibu kandung anak, karena kata tersebut memang mengandung makna setiap orang,” kata Arief menegaskan.

“Karena itu dalam menerapkan Pasal 330 ayat (1) KUHP ini harus terdapat bukti bahwa kehendak untuk mengambil anak tanpa seizin orang tua pemegang hak asuh, benar-benar datang dari pelaku. Termasuk jika pelakunya adalah orang tua kandung sendiri,” ia menambahkan.

MK meminta kepada penegak hukum, khususnya penyidik Polri, agar menerima setiap laporan berkenaan penerapan Pasal 330 ayat (1) KUHP, karena unsur ‘barang siapa’  yang secara otomatis dimaksudkan adalah setiap orang atau siapa saja tanpa terkecuali, termasuk orang tua kandung anak.

“Pasal 330 ayat (1)  KUHP merupakan ketentuan yang telah diatur secara jelas dan tegas. Sehingga ketentuan dimaksud tidak perlu diberikan atau ditambahkan makna lain,” jelas Arief.

MK telah menambahkan pemaknaan baru pada Pasal 330 ayat (1) KUHP memposisikan norma pasal menjadi berbeda sendiri atau anomali di antara semua norma dalam KUHP yang menggunakan frasa ‘barang siapa’.

Karena itu MK menyatakan dalil-dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Dengan demikian MK menolak permohonan tersebut.

“Mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK, Suhartoyo dalam membacakan amar putusan.

Namun Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah memilik pendapat berbeda (dissenting opinion). Sebab menurutnya Mahkamah seharusnya dapat mengabulkan sebagian permohonan para pemohon, karena faktanya norma Pasal 330 ayat (1) KUHP ini telah menimbulkan kegamangan penafsiran dari penegak hukum.

RAFIKI ANUGERAHA M  I  GEMAYUDHA M  I  ARIEF RAHMAN MEDIA    

Related posts

Stok BBM Pertalite Kian Tipis, Sri Mulyani Pusing Terus Tambah Subsidi

adminJ9

KPK Baru Pertama Kali Terbitkan SP3 Kasus Korupsi Sjamsul Nursalim yang Kabur ke Singapura

adminJ9

DPR Soroti Pernyataan Menag yang Sering Menimbulkan Kontroversi dan Tidak Substansial

adminJ9

Leave a Comment