Jurnal9.com
Business

KemenkopUKM Terus Perjuangkan Lahirnya LPS Bagi Koperasi

Deputi Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM, Ahmad Zabadi

JAKARTA, jurnal9.com – Lembaga Penjamin Simpanan Koperasi Simpan Pinjam (LPS-KSP) sudah lama menjadi harapan masyarakat koperasi Indonesia untuk diwujudkan. Tujuannya guna melindungi dan mendorong simpanan anggota koperasi pada usaha simpan pinjam koperasi (USPK) yang diselenggarakan melalui Koperasi Simpan Pinjam.

Hal itu dipaparkan Deputi Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM, Ahmad Zabadi, pada Webinar Peringatan Hari Koperasi ke-74 di Jakarta, Selasa (13/7/2021).

Di acara yang dihadiri anggota DPR Komisi VI Muhammad Idris Laena, Zabadi menambahkan, mandat pembentukan LPS-KSP diberikan oleh UU No 17 tahun 2012. Tetapi sejak UU tersebut dinyatakan dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2013, maka untuk sementara waktu kembali kepada UU Nomor 25 Tahun 1992, rencana pembahasan untuk membentuk LPS-KSP menjadi tertunda

“Walaupun demikian, upaya untuk mewujudkan adanya LPS-KSP tidak berarti terhenti. Sebab secara teoretis dan praktis, gagasan pembentukan LPS-KSP mendapat dukungan yang luas dari gerakan koperasi,” ucap Zabadi.

Pasalnya, lanjut Zabadi, manfaatnya yang besar untuk perlindungan kepada penyimpan dana, khususnya tabungan anggota yang kecil di koperasi.

Selain itu, kata Zabadi, adanya LPS-KSP akan membantu menjaga stabilitas sistem keuangan karena meningkatnya kepercayaan (trust) kepada sistem keuangan formal, khususnya koperasi.

Zabadi menggambarkan sejumlah kegiatan yang sudah dilakukan sebagai upaya untuk merealisasikan  terbentuknya LPS-KSP. Yaitu pada 2013 disusun Draft Naskah Akedemik sesuai mandat UU No 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian. Tetapi belum pernah dibahas mendalam karena dibatalkannya UU tersebut oleh MK pada 2013.

Lalu pada 2016-2017, dilakukan updating terhadap Naskah Akademik (2013) dengan fokus untuk merumuskan argumentasi pentingnya LPS-KSP dari berbagai perspektif, landasan yuridis yang kokoh berdasar UU No 25 Tahun 1992, hingga format pelembagaan LPS-KSP.

Selanjutnya, pada 2018-2019, hasil updating naskah akademik itu menjadi salah satu referensi yang memperkuat argumen pemerintah kepada DPR RI, sehingga  pembentukan LPS-KSP disetujui diatur dalam pasal RUU Perkoperasian.

“Kemudian pada 2020, disusun dan dibahas RUU Cipta Kerja, koperasi meski termasuk klaster yang dibahas. Tetapi, LPS-KSP luput sebagai substansi yng diatur dalam UU No 11 Tahun 2020,” ungkap Zabadi.

Namun seiring perkembangan konstelasi perubahan ekonomi, sosial, budaya, struktur demografi era milenial dan teknologi, dinamika persoalan dan potensi koperasi yang tumbuh berkembang di lingkungan modern dan digital. Maka  diperlukan regulasi  (baru) sebagai  payung hukum yang mampu menjawab tantangan/persoalan kekinian tersebut.

Baca lagi  30 Pengusaha Kuliner Yogyakarta Siap Masuk e-Commerce dan On-Boarding di Laman Bela Pengadaan LKPP

“Upaya untuk  pembahasan kembali RUU Perkoperasian yang sesungguhnya sudah final di DPR RI perlu terlebih dorongan dan tuntutan hal itu disampaikan berbagai forum gerakan koperasi, masyarakat yang diunggah di berbagai media sosial, juga kalangan DPR RI,” jelas Zabadi.

Untuk mengantisipasi kesiapan pembahasan RUU Perkoperasian, kata Zabadi, maka naskah akademik pembentukan LPS-KSP (tahun 2019) yang ada, perlu dilakukan tinjauan kembali. “Guna dirumuskan  penajaman argumentasi, penyesuaiannya terhadap berbagai peraturan per-UU-an yang baru, UU 11/2020 tentang Ciptaker dan PP 7/2021,” tegasnya.

Termasuk elaborasi terkait pihak-pihak yang berpretensi meragukan atau kurang setuju adanya LPS-KSP.

Diantaranya, sistem KSP yang bersifat exclusive, dimana dana dihimpun dan disalurkan hanya kepada anggota, maka simpanan sebagai harta milik anggota sekaligus pemilik, mengapa harus dijamin secara eksternal oleh LSP. “Ada juga keraguan akan maraknya moral hazard,” ujar Zabadi.

Ada juga isu pembentukan sebagai badan hukum yang independen, saat awal pendiriannya pada akan menyedot dan memberatkan APBN. Juga pengawasan terhadap KSP yang tidak/belum kompatibel dengan sistem  pengawasan yang dilakukan OJK dan lainnya.

Zabadi menambahkan isu lainnya seperti kepesertaan LPS-KSP, dimana banyak KSP yang belum dijalankan dengan tatakelola yang baik dan sistem terbuka, hingga dana kelolaan LPS-KSP, kurang/tidak dapat mencakup skala yang luas, sehingga hal ini berpotensi menimbulkan risiko rugi besar dari pada potensi menciptakan surplus usaha.

“Masyarakat akan merasa aman bila menaruh uang dengan jumlah besar di Koperasi. Contoh jika menaruh uang sejumlah Rp500 juta di koperasi, ia akan menjadi pemilik dari koperasi, beda jika ditaruh di bank masyarakat tidak akan memiliki bank tersebut,” ujar Idris Laena, anggota DPR RI.

Idris Laena menegaskan pemerintah perlu memperkuat kelembagaan koperasi, agar koperasi bisa menjadi soko guru perekonomian bangsa dan diminati masyarakat. Perlu dibuat UU tentang Perkoperasian yang baru sebagai pengganti UU Perkoperasian No 25 tahun 1992 dengan mengikuti perkembangan zaman dalam era globalisasi dan digitalisasi.

ARIEF RAHMAN MEDIA

 

Related posts

KemenkopUKM Inisiasi Pusat Informasi Pemulihan Ekonomi KUMKM

adminJ9

Sinergi KemenkopUKM dan IPB Kembangkan Model Bisnis Bagi Petani Tanaman Hias di Bogor

adminJ9

Di Tengah Ancaman Krisis Ekonomi Global, Ekonomi RI Tumbuh 5,72 Persen pada Kuartal III/2022

adminJ9