Jurnal9.com
Headline News

Iwa Sakit Kena Radiasi Serbuk Besi Saat Tugas di KRI Nanggala 402 Selama 26 Tahun

DENPASAR, jurnal9.com – Tragedi tenggelamnya KRI Nanggala 402 milikTNI AL di perairan utara Bali, pada Rabu (21/4/2021) pekan lalu, menyisakan banyak cerita sedih yang dialami seorang nakoda kapal selam yang naas itu.

Salah satunya Kolonel Laut (P) Iwa Kartiwa, yang pernah bertugas di kapal selam KRI Nanggala 402 yang sudah tua itu. KRI Nanggala 402 dibuat di Jerman pada 1977. Kemudian diterima TNI angkatan laut dan dioperasikan di Indonesia pada 1981.

Iwa pernah bertugas di kapal selam KRI Nanggala 402 selama 26 tahun. Karena lamanya Iwa sebagai komandan kapal selam ini, ia sangat mengetahui kondisi dan risikonya selama menyelam di bawah lautan.

Menakodai kapal selam KRI Nanggala 402 sangat berbeda dengan kapal lainnya. “Kalau terjadi sesuatu di dalam kapal selam KRI Nanggala 402 ini, maka krunya tak ada celah untuk bisa menyelamatkan diri,” ungkap mantan Kapolda Jawa Barat, Inspektur Jenderal (Irjen) Purnawirawan Anton Charliyan, yang menceritakan perjalanan karier adiknya, Kolonel Laut (P) Iwa Kartiwa yang terbaring sakit dan tak bisa bicara akibat terkena radiasi serbuk besi saat menjalankan tugas di kapal selam selama 26 tahun.

Anton menganggap adik kandungnya, Iwa dan teman krunya termasuk orang yang menggadaikan hidupnya saat menjalankan tugasnya di kapal selam. “Karena pasukan khusus di kapal selam itu tahu jika kapal sudah masuk berada di dalam air, dan terjadi sesuatu accident, mereka tidak ada celah untuk bisa menyelamatkan diri,” cerita Anton lagi.

Bayangkan, kata Anton, di kapal selam itu personel tidak bisa keluar dari ruang lambung kapal. Kalau keluar, langsung pecah tubuhnya karena tekanan air bawah laut.

“Kalau terjadi mesin mati, atau listrik alami blackout, semua pasukan khusus di dalam kapal selam itu tidak akan bisa selamat. Itu beratnya tugas di kapal selam,” tutur Anton yang mengetahui seluk-beluk cerita kapal selam itu dari cerita adiknya, Iwa Kartiwa.

“Mendengar ceritanya saja, saya sudah merasakan risikonya sangat berat untuk bertugas di kapal selam,” cetusnya.

Cuma Anton dulu sempat heran melihat adiknya dan rekan krunya untuk menghadapi risiko yang sangat berat itu. “Adik saya rajin berpuasa sunah Senin-Kamis untuk mendekatkan diri kepada sang Pencipta. Dia sebagai pasukan khusus kapal selam, ia sadar jika tugas di kapal selam itu sama dengan menggadaikan hidupnya selama berada di dalam air,” kata Anton mendengar cerita adiknya.

“Mereka gadaikan hidup dengan maut. Kenapa adik saya saat lagi dinas, sering puasa Senin-Kamis?  Saya baru tahu alasannya, karena saat berdinas ia berhadapan dengan maut,” tutur Anton.

Ketika adiknya mendengar kejadian KRI Nanggala 402 tenggelam di perairan utara Bali pekan lalu, cerita Anton, adiknya langsung menangis di rumah. Meski ia sendiri saat ini masih terbaring sakit. “Iwa sedih mendengar kejadian tenggelamnya KRI Nanggala 402. Saya dampingi saat dia menangis,” ujarnya.

Iwa sempat cerita dulu jumlah pasukan khusus kapal selam ada 150 orang. Sekarang bertambah banyak ada 300 orang di Indonesia,” jelasnya.

Anton berharap, pemerintah supaya bisa lebih memperhatikan para anggota pasukan khusus kapal selam yang selama ini mendedikasikan jiwa raganya bagi negara dalam menjaga kedaulatan.

Baca lagi  Peringatan Hari Santri, Wamenag Jelaskan Kontribusi Santri pada Bangsa

Ini berkaca pada kejadian yang dialami Kolonel Laut (P) Iwa Kartiwa yang kini terbaring sakit dan tak bisa bicara akibat terkena radiasi serbuk besi saat menjalankan tugas di kapal selam selama 26 tahun.

Kondisi kesehatan Iwa sampai sekarang belum juga membaik. Iwa yang masih aktif sebagai TNI AL berpangkat Kolonel itu kini diurus oleh istri dan tiga anaknya. “Iya, Iwa adik saya. Dia juga sebagai salah satu petugas pelopor kapal selam di Indonesia yang bertugas menjaga laut seluruh nusantra. Sekarang dia menderita hidupnya karena sakit,” keluh kisah Iwa yang diceritakan Anton.

Sampai sekarang Iwa masih terbaring sakit dan tak bisa bicara. Dia dirawat istri dan anak-anaknya. “Ketika mendegar kejadian KRI Nanggala 402 tenggelam, dia cuma bisa mendengar dan menangis. Karena selama sakit, dia tidak bisa bicara,” kata Anton.

Iwa merupakan lulusan Akademi Militer Angkatan Laut tahun 1991, dan sepanjang kariernya menjadi orang terpilih di pasukan khusus kapal selam Indonesia.  “Jadi selain pernah menjadi komandan Kapal Selam KRI Nanggala 402, Iwa juga pernah menjadi komandan kapal selam lainnya sampai akhirnya menjabat sebagai Dansatsel (Komandan Satuan Kapal Selam) TNI AL,” jelasnya.

Momoh, orang tua Iwa menceritakan badan Iwa tampak kurus karena menderita penyakit paru-paru akibat sering menghisap bubuk besi saat berlayar di kapal selam.

“Karena sakit itu badannya kurus dan kecil. Tiap hari begitu saja anak saya, di kamar dia tidur. Dan sudah tak bisa bicara. Berobat terus sudah tahunan bolak-balik Tasik-Jakarta,” cerita Momoh

“Kalau berobat ke Jakarta pagi-pagi dari subuh sudah berangkat. Karena jauh Rumah Sakit di Jakarta. Namun sejak ada kejadian kapal Nanggala tenggelam, banyak orang yang datang menjenguk,“ ujarnya.

Jual rumah

Iwa sampai terpaksa menjual rumahnya untuk biaya pengobatan. Kini Iwa dan keluarganya tinggal di wilayah Paseh, Kota Tasikmalaya. “Rumahnya yang dulu ada, tapi bukan yang di jalan Jati, di Parhon. Kalau rumah yang di Parhon sudah lama dijual untuk biaya berobat,” kata Heni Hunaeni (62), ibu mertua Iwa.

Heni mengatakan, Iwa masih sebagai prajurit aktif berpangkat Kolonel TNI AL. Masa tugas Iwa masih menyisakan enam tahun lagi untuk memasuki pensiun.

Heni bercerita berharap Iwa kembali sehat dan bisa membesarkan ketiga anaknya yang masih kecil.

Rumah yang ditinggali sekarang, tampak sederhana untuk ukuran rumah seorang yang berpangkat satu tingkat lagi sebagai perwira tinggi. Bahkan di pelataran rumahnya tidak terlihat ada deretan mobil atau rumah dengan pintu gerbang tinggi layaknya kebanyakan para pejabat tinggi TNI lainnya.

Rumahnya yang sekarang ada di gang Haji Shaun Jalan Paseh Kota Tasikmalaya, juga berada di gang kecil. Kalau ada tamu mau berkunjung ke rumahnya, hanya bisa dengan berjalan kaki. Karena letak rumahnya ada di gang kecil, dari depan jalan raya berjarak sekitar 20 meter.

ARIEF RAHMAN MEDIA

Related posts

YLBHI Sarankan Proses Hukum Kasus FPI yang Tewaskan 6 Orang Agar Dihentikan

adminJ9

DWP KemenkopUKM Bagikan Sembako dan Perlengkapan Sekolah di Cianjur

adminJ9

WHO Ingatkan Risiko Laksanakan Haji Saat Sebaran Corona masih Tinggi

adminJ9