Jurnal9.com
HeadlineInspiration

Halal Indonesia dan Halal Internasional

Produk makanan maupun minuman yang dijual di pasar swalayan kota Kuala Lumpur, Malaysia, harus mencantumkan logo halal. Dan untuk bisa mendapatkan sertikasi halal ini pengelola swalayan diwajibkan untuk mengikuti persyaratan prosesi dari awal hingga akhir.

KUALA LUMPUR, jurnal9.com – Penduduk Indonesia hampir mencapai 268 juta jiwa. Dibandingkan dengan negara serumpun Malaysia, sekitar 32 juta jiwa, Indonesia jelas negara lebih besar dari sisi jumlah penduduknya.

Meski demikian ada sesuatu fenomena yang menempatkan Malaysia lebih mendapatkan trust dari masyarakat muslim dunia, dibandingkan Indonesia. Sebut saja semisal produk halal yang sangat vital maknanya bagi masyarakat muslim internasional.

Terkoreksi memang kebijakan Indonesia yang kala itu dipercayakan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi pemangku kebijakan mengeluarkan sertikasi halal. Dalam hal ini MUI berkolaborasi atau dibantu Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetik (LPPOM). Sehingga lembaga yang mengeluarkan sertifikasi halal tersebut bernama LPPOM-MUI.

Kini pemerintah mengeluarkan kebijakan soal sertifikasi halal ini tak hanya dibebankan kepada MUI saja. Tetapi pemerintah telah melibatkan 10 kementerian dan lembaga untuk mengeluarkan sertifikat halal. Tentu saja berada di bawah Kementerian Agama (Kemenag) dengan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Mulai 17 Oktober 2019.

Lebih konkritnya, produk wajib bersertifikat halal, tidak lagi di bawah wewenang LPPOM-MUI, tetapi prosesi sertifikasi itu telah melewati prosedur 10 kemeterian dan lembaga.

Ketika ada fakta bahwa Malaysia menerapkan prosesi sertifikasi halal dilaksanakan sejak dari persiapan, sampai proses akhir, pihak produsen yang mengajukan sertifikasi halal ini wajib mengikuti persyaratan dari awal persiapan, penyertaan logistik, sarana angkutan sampai akhir prosesnya harus sesuai syariat penentuan halal.

Apakah prosesi sertifikasi halal di Malaysia yang mendapat kepercayaan dunia ini tidak memberi shock-terapy bagi masyarakat dan pemerintah atas label halal itu. Secara materi tentu saja pemerintah Indonesia yang merasakan dampak bobot kualitas kehalalannya secara syariah.

Bukti kualitas sertifikasi halal Malaysia mendapat kepercayaan dunia internasional. Malaysia menjadi pusat halal dunia. Penulis yang pernah hadir dalam Malaysia International Halal Showcase (Mihas), timbul sikap pesimistis atas nilai faktual itu. Mengapa bukan Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim itu yang jadi pemangku otoritas? Tapi faktanya bahwa Malaysia jadi pusat halal dunia, ini menjadi otokritik bagi pemerintah Indonesia.

Melalui kolaborasi beberapa organisasi swasta dan negara seperti Malaysia External Trade Development Corporation (Matrade), Ministry of International Trade and Indusrty (MITI) maka jadilah pameran Malaysia International Halal Showcase (Mihas). Dan penyelenggaraan Mihas dilaksanakan secara internasional.

Mihas memamerkan dan memasarkan produk halal untuk dunia internasional, bagi negara yang mayoritas penduduknya muslim. Mau tahu produk yang ditawarkan? Semua yang berpeluang bagi negara-negara yang memegang teguh keimanan Alquraniyah.

Ada makanan halal dalam bentuk kemasan, islam finansial, produksi farmasi halal, kosmetika halal, tourism halal, logistik halal, e- commerce digital berbasis islam sampai pada fesyen atau mode halal. Luar biasa !

Berbagai macam produk pendukung, tetap pada konteks halal juga dipamerkan. Kelompok negara Asean sebagai rumpun Malaysia, termasuk produsen Indonesia yang mengedepankan halal, ikut dalam pameran Mihas.

Jika tiap produk ada label halal, bermakna benar mendapat sertikasi halal.

Sekadar informasi untuk perbandingan prosesi sertifikasi halal di Malaysia, Jakim (Jabatan Kemajuan Islam Malaysia) mempresentasikannya lewat pejabat berwenang. Contoh restoran di Malaysia umumnya memakai label halal. Jika restoran hendak memasang logo makanannya halal, maka diwajibkan mengikuti prosesi dari awal hingga akhir.

Ayam misalnya, dilihat dibesarkan di areal sesuai syariat islam atau tidak?. Makanannya diteliti apakah mengedepankan azas halal. Kemudian untuk transportasinya, diteliti dari awal sarana kendaraan pengangkutnya, apakah memenuhi syarat sebagai transportasi yang halal saat dideliver (mengangkut daging ayamnya) ke restauran tersebut. Pengemudi kendaraan muslim atau non-muslim?.

Transportasi dan logistik yang menjadi sarana dan angkutan produk barang, makanan, minuman semunya harus memenuhi syarat yang sesuai syariat penentuan halal. 

Baca lagi  PN Jakpus Tak Miliki Wewenang Urus Pemilu, Jimly Asshiddiqie: Hakimnya Layak Dipecat

Semua kriteria tersebut harus sesuai syariat yang ditentukan halal, sehingga fungsi dan keberadaan Jakim benar-benar menjamin kehalalan setiap produk atau komoditi yang diperlukan umat muslim.

Sertifikat dengan label halal yang diberikan Jakim benar-benar memberikan makna terjamin halal.

Ilustrasi lain tentang produksi terlarang bagi umat muslim Malaysia, sangat mudah diaplikasikan di Indonesia. Metodanya di Malaysia, dengan menunjukkan identitas diri berupa (KTP) kepada pramuniaga toko besar seperti toko swalayan. Jika konsumsinya memang bagi penduduk non-muslim, secara mudah bisa terdeteksi.

Tidak ada larangan resmi menjual produk tertentu dari skema prioritas tersebut. Sebut saja seorang hendak mengkonsumsi bir beralkohol. Ketika mendatangi toko tempat menjual bir, pembelinya harus menyertakan KTP saat membayar di kasir, tanpa perlu perdebatan komunikasi. Jika pembelinya beragama Islam, tak akan bisa membeli produk minuman bir yang dilarang dalam Islam. Jika pembelinya beragama non-muslim (dengan melihat KTP si pembeli), tak ada masalah bagi toko tersebut membolehkan si pembeli untuk bisa mendapatkan bir.  Itulah yang dilaksanakan pemerintahan Malasysia sehingga publik tahu konsumsinya sendiri.

Jika skema itu dilaksanakan di Indonesia, tidak perlu pemerintah provinsi, kota atau kabupaten membuat larangan komoditas tertentu agar tidak beredar di satu wilayah. Dampak negatif sistem larangan, maka menciptakan pemasaran komoditi tertentu bisa dijual secara sembunyi. Siapa yang rugi, pemerintah juga, karena pajaknya tidak masuk dalam pendapatan pemerintah?

Fakta lain, saat penulis ingin memberi relaksasi bagi fisik serta mental. Memasuki pintu masuk pub, penjaga dengan sigap menanyakan identitas. Khusus warga muslim tidak diperkenankan masuk area. Jika identitas KTP non-muslim, maka mendapat izin masuk.

Ada cerita atau faktual di Indonesia yang mengundang kelucuan tentang produk halal, sebelum diserahkan kepada Kemenag. Sempat terjadi di satu kota besar Indonesia. Seorang perempuan paruh baya menerima orderannya dari toko.

Saat memajang dan memakai kulkas baru, si ibu baru tahu dilengkapi stiker halal. Terkejut dan bangga bahwa benda yang dibeli ternyata mampu melengkapi keinginannya dengan tulisan halal.

Kebanggaan itu ditanggapi tokoh publik pesimistis karena sikap konsumen sebenarnya harus terbuka tentang benda atau barang yang dipesan. Maknanya, harus paham bahwa lemari es atau kulkas, tidak perlu label halal.

“Kulkas jelas bukan makanan sehingga tidak memerlukan label halal,” ujar toko itu.

Antara kulkas dan manajemen keuangan syariah yang diberlakukan perbankan, jelas memiliki latarbelakang berbeda. Keuangan syariah resmi diakui pemerintah. Sedangkan seseorang membeli kulkas cukup mempunyai uang dan tidak perlu sertifikasi halal.

Pertanyaan berikut, negara manakah yang paling besar produknya untuk alokasi produk halal?

Berdasarkan laporan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetik (LPPOM) sebelum kebijakan diambil-alih Kemenag, Indonesia menjadi importir lima besar dunia produk halal senilai US$169-an juta.

Direktur LPPOM,  Lukmanul mengatakan hal tersebur merupakan antitesis bagi Indonesia sebagai negara mayoritas muslim tapi belum aktif dalam perdagangan dan industri halal.

Dalam satu seminar internasional halal di Indonesia pada Februari 2020, Lukmanul menuturkan Brazil malah menjadi eksportir produk halal terbesar dunia saat itu. Padahal Brazil bukan negara yang mayoritas berpenduduk Islam. Negara ini memproduksi daging dan produk halal lain lengkap dengan turunannya.

“Di saat negara lain yang bukan mayoritas muslim sudah masuk world class industri halal, Indonesia masih sibuk berbicara tentang substansi halal, sertifikasi halal, atau bahkan siapa yang mengeluarkan fatwa halal. Jadi ini terlalu banyak main poco-poco halal ketimbang bicara perdagangan halal,” ujar dia.

Sementara Mihas di Malaysia terus berjalan. Indonesia harus memperbaiki kinerjanya untuk industri halal jika ingin sebagai negara terpandang melalui komiditi ini. Halal jadi keharusan karena ada jaminan produknya yang sehat dan bersih yang hiegenis bagi masyarakat dunia. Jika ingin mencapai itu sebagai negara mayoritas muslim, jawabannya kini ditangan pemerintah.

MULIA GINTING

Related posts

Putusan MK: Omnibus Law UU 11/2020 Cipta Kerja Inkonstitusional, Ini Penjelasannya

adminJ9

Heboh! Panglima TNI Ubah Aturan: Bolehkan Keturunan PKI Daftar Prajurit TNI

adminJ9

Menelusuri Kasus Suap Perkara Kasasi yang Menjerat Hakim Agung, Sudrajad Dimyati

adminJ9

Leave a Comment