Lahan Sirkuit Mandalika di Lombok yang sedang dikerjakan ini masih mendapat sorotan dari aktivis HAM soal pelanggaran proses pembebasan lahan milik penduduk setempat yang belum mendapat ganti rugi.
“Karena dalam area seluas 2 hektar lebih lahan bekas milik penduduk setempat itu menjadi sasaran ancaman dan intimidasi, dan diusir secara paksa mereka tanpa kompensasi,” kata Schutter.
LOMBOK, jurnal9.com – Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Olivier De Schutter menyebutkan bahwa pembangunan mega-proyek pariwisata Mandalika di Nusa Tenggara Barat (NTB) telah banyak menggusur rumah penduduk, lahan pertanian, sungai, dan bahkan situs keagamaan setempat.
Dalam proses pembebasan lahan bekas rumah penduduk dan lahan pertanian milik warga setempat, seperti dikutip Reuters, ada seluas 2 hektar lebih yang sampai kini belum mendapatkan ganti rugi.
Diceritakan Schutter, saat lahan warga yang masih bermasalah karena belum dibayar, Komisioner HAM Beka Ulung Hapsara, dari Jakarta pada September 2020 lalu, sempat mendatangi lokasi proyek sirkuit Mandalika tersebut.
Beka menemui Gubernur NTB, Zulkieflimansyah dan pengembang proyek Sirkuit Mandalika di Lombok. Beka mengungkapkan kepada Gubernur NTB dan pengembang bahwa dirinya mendapat aduan warga pemilik lahan yang terkena proyek sirkuit Mandalika ini karena belum selesainya pembayaran ganti rugi.
“Kami meminta pengembang proyek Sirkuit Mandalika untuk menghentikan sementara aktivitasnya di atas lahan yang masih bermasalah karena belum dibayar,” kata Beka saat itu.
Kemudian Schutter menyebutkan pengembang PT Pembangunan Pariwisata Indonesia atau Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) yang bertanggung jawab atas pembangunan proyek Sirkuit Mandalika senilai Rp 800 miliar itu yang telah melanggar HAM.
Sebab berdasarkan catatan Komnas HAM, kata Schutter, pemilik lahan dan ahli waris tanah di proyek Sirkuit Mandalika itu di antaranya: Gema Lazuardi, Amaq Masrup dan Sibawaih mengadukan ada tindakan kekerasan dalam proses pembebasan lahannya.
Ketika pemilik lahan dan ahli waris ini ingin mempertahankan lahannya karena menuntut hak ganti rugi. Sejumlah aparat ikut menghalangi si pemilik lahan dan ahli waris yang berupaya untuk menghentikan pengerjaan proyek di lahannya yang belum dibayar.
Namun mesin buldoser yang tengah meratakan tanah di kebun milik Masrup itu terus berjalan tanpa peduli teriakan si pemilik lahan yang minta dihentikan. “Serupiah pun kami ndak pernah terima uang. Kami ndak pernah menjualnya,” teriak Masrup yang didampingi istrinya.
Dari pihak pengembang ITDC yang diwakili Miranti Nasti Rendraranti menyatakan kepada pihak yang mengklaim tanahnya, “Silahkan membawa bukti klaim lahan agar segera diproses di pengadilan,” ungkapnya.
“Klaim yang dimaksud harus diselesaikan atau dibuktikan dalam proses persidangan di pengadilan,” tegas Miranti.
Sibah yang mengaku ahli waris dengan Amaq Masrup mengungkapkan bahwa keluarganya sudah berpuluh-puluh tahun tinggal dan bercocok tanam di Dusun Ujung, Desa Kuta, Lombok Tengah yang kini tergusur oleh proyek Sirkuit Mandalika ini.
Melihat masih adanya sengketa ahli waris pemilik lahan di Sirkuit Mandalika itu, menurut Schutter aktivis HAM di PBB ini, menunjukkan proses pembebasan lahan di Lombok Tengah tersebut ada pelanggaran HAM.
“Karena dalam area seluas 2 hektar lebih lahan bekas milik penduduk setempat itu menjadi sasaran ancaman dan intimidasi, dan diusir secara paksa mereka tanpa kompensasi,” kata Schutter.
“Presiden Jokowi sendiri telah memerintahkan kepada pengembang, dibantu Gubernur NTB agar segera menyelesaikan terkait lahan-lahan yang masih jadi sengketa,” kata Schutter mengutip pernyataan presiden.
Proyek Mandalika meliputi pembangunan sirkuit balap motor Grand Prix, hotel, dan lapangan golf, merupakan bagian dari strategi “10 Bali Baru” yang diusulkan oleh Presiden Joko Widodo pada 2016 lalu. Presiden menegaskan strategi “10 Bali Baru” ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dari sektor pariwisata.
Sejumlah Bank Investasi Infrastruktur Asia (the Asian Infrastructure Investment Bank/AIIB) yang mendanai proyek sirkuit di Lombok Tengah ini gagal melakukan uji kelayakan untuk mengidentifikasi, mencegah, memitigasi dan gagal mengatasi dampak buruk hak asasi manusia.
AIIB mengatakan operasinya mematuhi pedoman lingkungan dan sosial, dan merespon dengan cepat keluhan terkait proyek. Lembaga tersebut telah menugaskan konsultan independen untuk terlibat dengan pemerintah Indonesia, pebisnis dan penduduk setempat.
“Laporan akhir tidak menemukan bukti dugaan pemaksaan, penggunaan kekerasan langsung, dan intimidasi terkait dengan pembebasan tanah dan pemukiman kembali,” kata pejabat AIIB dalam pernyataannya Kamis (1/4/2021) malam.
AIIB dan BUMN PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (ITDC) telah menyepakati rencana untuk meningkatkan keterlibatan pemangku kepentingan dengan orang-orang yang terkena dampak proyek, kepala desa dan pejabat pemerintah daerah, dan masyarakat sipil dan masyarakat Lombok yang lebih luas.
Dalam laporan The Travel Foundation tahun 2019 Inggris, disebutkan negara-negara miskin di Asia Tenggara sangat tidak siap untuk membatasi beban dari overtourisme atau fenomena kepadatan turis.
Setelah pandemi virus corona menghancurkan ekonomi pulau-pulau yang bergantung pada pariwisata, seperti Bali dan Phuket di Thailand, pihak berwenang memprioritaskan pekerja industri pariwisata untuk mendapatkan vaksinasi guna keberlanjutan pariwisata di daerahnya. Namun langkah ini dikritik kelompok hak asasi manusia.
Seperti kasus proyek Sirkuit Mandalika, disebut-sebut pihak berwenang sebagai hal penting dalam menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan mata pencaharian di NTB. Namun aktivis hak asasi manusia mengatakan proyek tersebut – seperti banyak pembangunan pariwisata lainnya – telah merugikan masyarakat adat.
“Masyarakat adat tidak memiliki perlindungan hukum atas tanah mereka dan tidak diajak berkonsultasi atau dilibatkan dalam pengambilan keputusan tentang proyek-proyek yang tidak menguntungkan mereka,” kata Rukka Sombolinggi, sekretaris jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
“Pemerintah ingin menarik investor di industri pariwisata untuk menghidupkan kembali ekonomi. Tetapi ini adalah solusi palsu yang merugikan masyarakat adat, dan juga memiliki dampak lingkungan yang besar,” katanya.
De Schutter mengatakan pembangunan Mandalika “menginjak-injak hak asasi manusia (dan) secara fundamental tidak sesuai” dengan konsep pembangunan berkelanjutan.
“Sekarang sudah bukan waktunya untuk melakukan proyek infrastruktur pariwisata transnasional besar-besaran yang hanya menguntungkan segelintir pelaku ekonomi, bukan penduduk secara keseluruhan,” tambahnya.
ARIEF RAHMAN MEDIA