Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan bahwa kewenangan menuntut pidana dihapus bila tertuduh meninggal dunia
JAKARTA, jurnal9.com – Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menyarankan proses hukum kasus bentrokan antara polisi dengan Laskar Pembela Islam (FPI) yang menewaskan 6 orang di Tol Jakarta-Cikampek, yang biasa disebut kasus KM 50 itu agar dihentikan.
“YLBHI menyarankan proses hukum ini tidak diteruskan agar tidak semakin merusak prinsip negara hukum, dan membuat masyarakat semakin tidak percaya hukum,” kata Isnur dalam keterangan tertulisnya, Kamis (4/3).
Menurut Isnur, kasus KM 50 ini supaya dihentikan, bukan masalah kasus yang menetapkan 6 anggota FPI yang tewas sebagai tersangka, tetapi bagaimana Indonesia sebagai prinsip negara hukum. Sebab secara tegas disebutkan dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tegak dan berlaku.
Penetapan 6 orang yang tewas dalam kejadian tersebut, jelasnya, sebagai hal yang aneh dan bertentangan dengan pengaturan dan prinsip hukum acara pidana.
Ketua Bidang Advokasi YLBHI ini menegaskan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan bahwa kewenangan menuntut pidana dihapus bila tertuduh meninggal dunia.
“Ini berbahaya bila dianggap sebagai sebuah standar penegakan hukum. Bila mengikuti pola ini, seharusnya polisi juga bisa meneruskan kasus lain yang tertuduhnya meninggal, seperti kasus Presiden Soeharto,” tuturnya.
Selain itu, ketentuan hukum acara pidana juga menyebutkan hak tersangka untuk membela diri, membantah tuduhan, mengajukan saksi yang meringankan, mendapatkan bantuan hukum, dan lain-lain.
“Bagaimana tersangka bisa melakukan hal-hal terkait dengan haknya bila sudah meninggal dunia?,” ungkapnya.
ARIEF RAHMAN MEDIA