Luhut B Pandjaitan
JAKARTA, jurnal9.com – Terungkap sudah, siapa sebenarnya yang pertama kali melontarkan wacana masa jabatan Presiden Jokowi diperpanjang jadi 3 periode, ternyata Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut B Pandjaitan.
Hal itu diakui Luhut saat ditanya Deddy Corbuzier dalam Podcast pada Sabtu (12/3/2022).
Namun ia menyatakan wacana itu diusulkan karena ada 110 juta suara pengguna media sosial yang mengeluhkan besarnya biaya Pemilu 2024 yang mencapai Rp 100 triliun lebih.
“Kita kan punya big data. Dari big data itu meng-grab 110 juta Facebook, Twitter 10 juta lah kira-kira. [Mereka] kalangan menengah ke bawah pengennya tenang, pengen bicara ekonomi. Tidak pengen denger [kata] kampret-lah, cebong-lah [selama dalam kampanye Pemilu],” kata Luhut.
“Masyarakat merasa keberatan karena banyaknya biaya yang dihabiskan untuk menggelar Pemilu dan Pilpres di tengah pandemi covid-19. [Mereka] bilang kita mau habisin 100 triliun lebih untuk milih ini [Pemilu]. Padahal keadaan [ekonomi] begini. Ngapain sih? Itu rakyat yang ngomong,” ungkapnya lagi.
Meskipun begitu, menurut Luhut, untuk mewujudkan masa jabatan presiden 3 periode itu tidak mudah prosesnya. Karena harus disetujui DPR-MPR.
“Konstitusinya jelas sekarang 2 periode, ya Pak Jokowi mau taati itu. Tapi kan rakyat yang minta ini itu, jadinya DPR berproses, MPR berproses segala macam, terus sampai ke MPR karena situasinya seperti tadi. Ya udah kita tunda,” kata Luhut..
Menanggapi wacana Luhut mengenai penundaan Pemilu 2024 atau memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi itu, politisi Partai Demokrat, Kamhar Lakumani mengatakan sebaiknya Luhut menghentikan wacana tersebut.
“Jangan menjerumuskan Presiden Jokowi dengan wacana yang inkonstitusional dan berpotensi membuatnya menjadi Malin Kundang reformasi,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta.
Kamhar menegaskan bahwa argumentasi big data yang disampaikan Luhut itu juga pernah dipresentasikan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin Iskandar, beberapa waktu lalu.
“Klaim data itu kemudian dikritik praktisi media sosial dari Drone Emprit yang mempertanyakan kebenarannya. Karena data yang terekam di lapangan oleh sejumlah survei nasional, justru jauh lebih banyak yang menolak wacana penundaan pemilu,” kata Kamhar.
“Jadi sebaiknya Pak Luhut tak usah mengulang-ulang menyanyikan lagu lama yang sumbang,” lanjut dia.
“Jika ingin husnulkhatimah di akhir periode keduanya, Pak Jokowi harus mampu membebaskan diri dari pengaruh orang-orang yang berpikiran nakal dan ingin melawan konstitusi,” tutur Kamhar.
Dia melihat banyak orang di sekitar Jokowi yang punya pikiran nakal untuk mendorong amandemen konstitusi menunda Pemilu atau perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi.
“Ini yang berbahaya, karena itu merupakan ambisi kekuasaan. Bukan asli berdasarkan aspirasi rakyat,” ucapnya.
Sejak tahun lalu sampai sekarang ini, Kamhar melihat semua orang yang merepresentasikan penundaan Pemilu itu dari figur-figur yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan, termasuk anggota kabinet.
“Wajar jika kemudian publik berpikiran bahwa argumentasi yang dipresentasikan Cak Imin [Muhaimin] terkait big data sebagai justifikasi penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden itu sebenarnya titipin Luhut,” jelasnya.
“Seperti saya bilang tadi, Luhut mengklaim mendapat big data yang berisi percakapan 110 juta orang di media sosial yang mendukung penundaan pemilu 2024. Alasan mereka tidak mau anggaran Rp110 triliun untuk pesta Pemilu,” tegas Kamhar.
Anehnya dia berani menyebut mereka yang meyuarakan di media sosial itu berasal dari pemilih Partai Demokrat, Partai Gerindra, dan PDIP. “Klaim Luhut juga sama bahwa itu hasil percakapan di media sosial. Klaim Muhaimin juga begitu. Itu yang menjadi alasan untuk menunda pemilu,” kata Kamhar.
RAFIKI ANUGERAHA M I ARIEF RAHMAN MEDIA.