Sekretaris Kementerian Koperasi & UKM Prof Rully Indrawan sedang menyampaikan materi dalam acara syukuran Hari Koperasi ke-73 di Bandung, Jawa Barat.
BANDUNG, jurnal9.com – Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM, Prof. Rully Indrawan, kembali mengajak masyarakat warga Jawa Barat, “untuk mengubah anggapan koperasi sebagai lembaga yang kerdil dan tidak modern alias jadul (jaman dulu). Karena kerdil atau tidaknya koperasi tergantung bagaimana mengelolanya.”
Ajakan tersebut, disampaikan Rully saat memaparkan materi dalam acara syukuran peringatan ke 73 Hari Koperasi dengan tema ‘Koperasi Jawa Barat di Era Adaptasi Kebiasaan Baru Menuju Jabar Juara’, di kantor Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) Wilayah Jawa Barat, Selasa (14/7).
Menurut Sesmenkop, ada tiga faktor yang menyebabkan citra buruknya koperasi yang terjadi di masyarakat. Pertama, terkait stigma yang di labelkan pada koperasi oleh stakeholdernya sendiri. Persepsi buruk tersebut, terbentuk oleh pemikiran dari keadaan yang secara sengaja didramatisasi oleh lingkaran manajemen, sehingga membuat koperasi menjadi lemah di mata masyarakat.
Misalnya, kata dia, terkait kasus koperasi yang gagal bayar. Masyarakat mengeneralisir bahwa seluruh koperasi adalah ‘penipu’.
“Terkait anggapan itu, saya mencoba membuka data. Berdasarkan data tahun 2015 hingga 2020, yang melakukan kejahatan keuangan, dengan istilah investasi bodong dan shadow banking atau sejenisnya, ada 34 kasus di Indonesia,” jelas Rully.
“Delapan di antaranya dilakukan oleh koperasi, sisanya oleh non koperasi. Tapi mengapa hanya koperasi yang menjadi terdakwa sebagai pelaku kejahatan,” lanjut dia.
Kedua, kata dia, koperasi dalam kerangka kebijakan diopinikan berskala UMKM dan dianggap masyarakat sebagai organisasi ekononi atau lembaga yang lemah dan kecil. Padahal berdasarkan undang-undang 20/2008 yang menetapkan a l. skala usaha. Jumlah koperasi besar yang memiliki aset di atas Rp 50 miliar, sebanyak 492 koperasi. Sedangkan non koperasi berjumlah 5.000.
“Jumlah 492 koperasi besar tersebut kalau dibagi populasinya 123 ribu, menemukan angka sekitar 0,4. Sedangkan 5 ribu non koperasi bila dibagi 60 juta, ditemukan angka hanya kurang dari 0,1 saja. Jadi kalau antara usaha koperasi dan non koperasi, yang masuk skala usaha besar ya koperasi,” kata Sesmenkop melanjutkan.
Ketiga, praktik bisnis berkoperasi di Indonesia, masih menggunakan pola lama dan celakanya meninggalkan captive market-nya. “Jadi kalau ada istilah ‘digitalisasi’, dan modernisasi sering disikapi dengan kurang bersahabat. Dalam kaitan ini, koperasi tidak boleh meninggalkan filosofi, karena sudah teruji sejak abad 18, namun nilai praktisnya yang harus menyesuaikan dengan zamannya” paparnya.
Karena itu, dia mengajak masyarakat untuk bersama-sama membangun citra positif terhadap keberadaan koperasi. Menurut Rully, jangan pula mempertontonkan keributan di antara para pengurusnya, sementara usahanya ditinggalkan.
“Yakinkan diri kita bahwa koperasi itu baik dan memiliki sejarah yang cukup panjang, sekaligus bisa menjadi agregator pelaku ekonomi yang lain. Mari kita mulai dari Jawa Barat,” katanya.
Pernyataan hampir sama, disampaikan Rektor Institut Koperasi Indonesia (Ikopin), Burhanudin Abdullah. Dia mengatakan, masyarakat harus mengubah pola pikir tentang keberadaan koperasi.
“Masyarakat harus berpikir bagaimana koperasi bisa maju, bagaimana koperasi bisa berkembang, bagaimana koperasi itu bisa menciptakan nilai tambah bagi anggotanya. Kalau kita semua komit hal itu, maka saya yakin cita-cita bahwa gerakan koperasi ke depan bakal maju, saya yakin bisa memberikan manfaat bagi kita semua,” tutur Burhanudin Abdullah.
Menurut dia, keberhasilan gerakan koperasi itu akan berhasil, apabila para pemimpinnya toleran kepada bawahannya, dalam hal ini anggota koperasi dan bisa melihat masa depan yang lebih terang.
“Karenanya para pemimpin koperasi harus bisa merumuskan dan mencapai masa depan membawa koperasi ke arah yang lebih baik. Dan kita sebagai bawahannya, harus bekerja sesuai dengan inspirasi yang disampaikan pemimpinnya,” kata Burhanudin.
MULIA GINTING