Jurnal9.com
Business Headline

BPK Khawatir Pemerintah Tak Bisa Bayar Utangnya: pada 2020 Capai Rp6.74,56 Triliun

Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Agung Firman Sampurna 

JAKARTA, jurnal9.com – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyoroti penambahan utang pemerintah dan biaya bunganya yang melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara.

“Sehingga ini memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk bisa membayar utang dan bunga utang,” jelas Ketua BPK, Agung Firman Sampurna dalam Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (22/6/2021) lalu.

Dari data Kemenkeu, utang pemerintah pada 2020 mencapai Rp6.074,56 triliun, naik signifikan dibandingkan posisi Rp4.778 triliun pada akhir 2019.

Menurut Agung, pandemi covid-19 memang telah meningkatkan defisit, utang, dan sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa) yang berdampak pada pengelolaan fiskal.

“Meskipun rasio defisit dan utang terhadap PDB masih di bawah rasio yang ditetapkan dalam Perpres 72 dan UU Keuangan Negara, tapi trennya menunjukkan adanya peningkatan yang perlu diwaspadai pemerintah,” tegas Agung.

Ketua BPK ini menyebutkan indikator kerentanan utang pemerintah pada 2020 lalu saja telah melewati batas yang direkomendasikan IMF. Ratio debt relief Indonesia mencapai 46,77 persen, sementara rentang IMF sebesar 25-35 persen.

Kemudian rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan yang mencapai 19,06 persen telah melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7-10 persen.

Adapun, rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen.

BPK mencatat indikator kesinambungan fiskal Tahun 2020 yang sebesar 4,27 persen juga melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411 – Debt Indicators yaitu di bawah 0 persen.

Masih kondisi aman

Menanggapi hal itu, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo menjelaskan bahwa dalam pengelolaan utang dan pembiayaan APBN, pihak pemerintah dalam hal ini Kemenkeu, mengklaim sudah menjaga dan masih dalam kondisi aman.

Baca lagi  2021, UMKM Harus Konsolidasi, Digitalisasi, Kreatif dan Inovatif Berbasis Riset

Dalam menekan biaya utang itu, kata Yustinus, pemerintah telah melakukan berbagai upaya. Di antaranya melakukan sinergi dengan Bank Indonesia (BI) dalam kebijakan burden sharing.

“Sinergi Pemerintah dan BI (SKB II) untuk membiayai penanganan pandemi, BI ikut menanggung biaya bunga utang,” ujarnya Kamis (24/6/2021).

Yustinus mengatakan Kemenkeu juga melakukan kebijakan konversi pinjaman luar negeri, yakni dengan mengubah pinjaman dalam Dolar Amerika (USD) dan suku bunga mengambang (basis LIBOR) menjadi pinjaman dalam Euro dan Yen dengan suku bunga tetap mendekati 0%. “Sehingga mengurangi risiko dan beban bunga ke depan,” tuturnya.

Selain itu, upaya yang juga dijalankan oleh pemerintah dengan melakukan strategi pengelolaan pembiayaan melalui upaya menurunkan yield di tahun 2020 yang dapat menekan yield SBN sekitar 250 bps mencapai 5,85% di akhir tahun atau sudah turun 17% sejak awal tahun 2021 (year to date).

“Dengan berbagai respon kebijakan tersebut, ekonomi Indonesia di 2020 cenderung tumbuh relatif cukup baik dibanding negara lain,” tutur Yustinus.

“Pemerintah senantiasa mengelola pembiayaan secara hati-hati, kredibel, dan terukur, termasuk dalam beberapa tahun terakhir ini ketika terjadi perlambatan ekonomi global,” kata Yustinus melanjutkan.

Hal tersebut disampaikan Yustinus dalam menanggapi hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang mengkhawatirkan kemampuan pemerintah dalam membayar utang, yang sampai dengan 31 Desember 2021 sudah mencapai Rp 6.074,56 triliun.

ARIEF RAHMAN MEDIA

Related posts

Survei: 43 Persen Pengusaha akan Kurangi Tenaga Kerja Akibat Integrasi Teknologi

adminJ9

KemenkopUKM Targetkan 3 Juta Usaha Mikro Dapatkan Sertifikasi Usaha

adminJ9

Seorang Ibu di AS Keliru Lahirkan Anak Orang Lain, Ajukan Gugatan Hukum

adminJ9