Warga Palestina yang sedang berbuka puasa di halaman Masjid Al-Aqsa, Kota Yerusalem.
GAZA, jurnal9.com – Ketika Ramadhan tiba seperti sekarang ini, saya teringat saat menjalankan tugas meliput konflik Israel-Palestina. Waktu itu situasi di Palestina tengah memanas akibat konflik dengan Israel yang berkepanjangan.
September 1996. Terjadi kerusuhan terowongan Al-Aqsa. Israel membangun terowongan menuju Masjid Al-Aqsa. Tujuannya Israel ingin mengambil keuntungan dari setiap turis yang akan berkunjung ke Al-Aqsa, mereka harus melewati terowongan dari Yerusalem ini.
Namun karena waktu itu menjelang Ramadhan, konflik Israel-Palestina ini sempat mereda. Mungkin tentara Israel sadar jika Ramadhan adalah bulan suci bagi umat Islam. Sehingga semua tentara Israel menghentikan [sementara] penyerangan dengan senjata ke warga Palestina.
Kalau dibilang konflik Israel-Palestina itu adalah perang, tapi para pejuang Palestina yang terdiri anak muda usia belasan tahun, sebenarnya tak membawa senjata. Mereka melakukan perlawanan hanya dengan melempar batu ke arah tentara Israel yang bersenjata lengkap. Saat anak-anak muda itu melempar batu, tentara Israel membalasnya dengan tembakan peluru tajam.
Itu sekilas peristiwa konflik Israel-Palestina yang saya ingat. Namun yang tak bisa saya lupakan; betapa bahagianya orang-orang Palestina saat memasuki bulan suci Ramadhan.
Sehari menjelang Ramadhan warga Palestina meluapkan kegembiraannya dengan berpawai berjalan kaki mengitari jalanan di pedesaan yang tak jauh dari masjid Al-Aqsa. Mereka berpawai melewati jalan-jalan desa sambil mengumandangkan kalimah allahu akbar subhanallah.
Di sepanjang jalan itu penuh dengan hiasan lampu warna warni, dan di langit Al-Aqsa pun berubah memerah dari letusan kembang api. Suasananya seperti acara pesta kemerdekaan Agustusan di Indonesia. Mereka berpawai berjalan kaki sambil membawa bendera Palestina. Saya melihat; betapa bahagianya orang-orang Palestina di bulan Ramadhan. Mereka seperti merayakan kemerdekaan layaknya rakyat Indonesia berpesta setiap bulan Agustus.
Namun warga Palestina itu tak boleh mendekati area masjid yang dijaga tentara Israel. Mereka berdiri berjaga-jaga di halaman masjid dengan bersenjata. Padahal di bulan Ramadhan, mestinya hak orang Palestina bisa melaksanakan ibadah di Masjid Al-Aqsa, di bumi tempat kelahiran mereka. Tapi saat terjadi konflik seperti ini orang Palestina merasakan hidup dijajah dan ditindas di negerinya sendiri.
Kecuali waktu Ramadhan, tentara Israel tak melakukan penyerangan pada warga Palestina. Sudah tidak ada lagi bangunan rumah yang porak-poranda karena bombardir Israel, dan tak ada lagi darah yang berceceran di tanah akibat terjangan peluru tentara Israel.
Padahal anak-anak muda Palestina ini biasanya marah jika berpapasan dengan tentara Israel. Mereka menyerangnya dengan melempari batu. Kecuali waktu Ramadhan, anak-anak muda ini telah melupakan semua dendam dan kebencian pada tentara Israel itu. Mereka berpawai untuk merayakan Ramadhan. Mereka melewati brikade tentara Israel tanpa amarah. Bahkan tak peduli dengan pandangan mata tentara Israel yang kelihatan seram menatapnya saat mereka berpawai.
Mereka meluapkan kegembiraannya; seperti tak ada lagi ketegangan akibat konflik dengan Israel. Meski ancaman seperti ini seusai Ramadhan akan berkecamuk lagi. Mereka hadapi sepanjang hari, dan selama berpuluh-puluh tahun.
Bangunkan orang sahur
Ketika memasuki waktu sahur, sekitar jam tiga lewat tengah malam, masjid tetap dijaga tak boleh ada kegiatan ibadah. Ada seperti petugas ronda yang terdiri 6 orang, mereka berkeliling di jalanan untuk membangunkan orang sahur.
Mereka berjalan kaki keliling di jalan-jalan desa sambil menabuh drum sambil menyanyikan lagu-lagu pujian terkait kemuliaan Ramadhan. Itulah yang banyak dilakukan di jalan-jalan desa wilayah Palestina.
Tentara Israel yang berjaga-jaga di halaman Masjid Al-Aqsa, Kota Yerusalem.
Berbeda dengan kota Yerusalem. Warga muslim yang tinggal di kota Yerusalem saat sore menjelang bedug maghrib, mereka berkumpul di satu tempat untuk menembakkan meriam ke udara. Tembakan meriam ke udara ini untuk menandai datangnya waktu berbuka puasa. Saya mendegar dari cerita orang muslim di sana, katanya tradisi ini sudah ada sejak berabad-abad yang silam.
Sementara itu di kota Qalqiya yang sebenarnya tak jauh dari wilayah Palestina, muslim di kota ini saat waktu bedug tiba, mereka menyalakan sirene yang menandakan waktunya berbuka puasa.
Lazimnya seperti di Indonesia, warga Palestina dan muslim di kota Yerusalem, saat menjelang berbuka puasa, mereka berkumpul untuk berbuka puasa bersama. Seperti biasa, sajian makanan khas Palestina sudah disiapkan di atas meja sebelum waktu maghrib tiba.
Di Gaza, ada makanan khas bernama musakhan. Jenis makanan yang didominasi daging kambing bakar yang dicampur dengan acar dan salad. Itu jenis makanan yang biasa untuk santap sahur.
Tapi kalau untuk menu buka puasa, warga Palestina di desa-desa maupun warga muslim kota Yerusalem umumnya mereka mendahulukan kurma yang disunnahkan Rasulullah SAW. Setelah itu baru mereka menyantap makanan seperti jenis daging kambing bakar.
Cuma ada tradisi yang khas bagi warga Palestina selama bulan Ramadhan. Mereka memiliki tradisi [disebut] ‘fakdat Ramadhan’; setiap keluarga mengunjungi saudara perempuan yang sudah menikah. Mereka mendatangi rumah saudara perempuannya untuk sahur bersama. Keluarga yang mau mendatangi saudara perempuannya ini biasanya juga membawa makanan dari rumahnya.
Kemudian di lain waktu, saudara perempuan yang sudah berkeluarga ini, mereka ditemani oleh suami dan anak-anaknya akan mengunjungi keluarga mereka yang sebelumnya mendatangi rumahnya. Sehingga mereka bisa menjalin keakraban dan silaturahmi pada waktu Ramadhan.
Itulah keindahan Ramadhan di negara Palestina. Meski negaranya sedang terjadi konflik dengan Israel, warga Palestina masih bisa menikmati kebahagiaan sesaat pada waktu Ramadhan. Selesai Ramadhan, warga Palestina masih saja terus berjuang, hidup berjibaku terus-menerus menghadapi serangan tentara Israel.
Saat penulis berada di pantai Laut Mati (Dead Sea) yang letak wilayahnya berbatasan dengan negara Yordania di bagian sebelah timur, wilayah negara Israel dan Palestina di bagian sebelah barat.
“ya Allah berilah kekuatan saudaraku, anak-anakku yang masih berusia belasan tahun, mereka terus-menerus berjuang menghadapi kekejaman tentara Israel yang bersenjata, dan membuat kerusakan di bumi Palestina. Amin,” doa saya saat meninggalkan Palestina.
Dalam hati pun berdoa mudah-mudahan perjalanan darat saya yang akan melewati negara Yordania, tak mengalami kesulitan seperti saat saya memasuki wilayah perbatasan Israel-Yordania. Dalam perjalanan itu ada tiga kali pos penjagaan yang saya lewati dalam wilayah desa yang berbeda, minta ampun ketatnya.
Saya yang mencarter mobil dari negara Yordania. Sopir yang asli asal kota Amman, Yordania, pun harus menjalani prosedur penggeledahan. Digeledah tas yang saya bawa, badan saya, dan surat dokumen saya seperti pasport.
Bahkan mobil yang saya carter, bukan saja digeledah di bagian bagasi, jok mobil dan bagian bawah mobil. Tapi saat dilakukan penggeledahan, saya dan sopir disuruh turun. Sopir yang asli kota Amman itu juga diintrogasi ditanya macam-macam.
Apalagi saya yang asal Indonesia, diintrogasi ditanya bermacam-macam, sampai tujuannya meliput di Palestina untuk kepentingan apa. Saat saya ditanya itu, dikelilingi empat tentara Israel sambil mengacungkan senjata ke arah badan saya. Prosedur penggeledahan itu menghabiskan waktu kurang lebih setengah jam.
Alhamdulillah saat perjalanan balik, saya tetap digeledah dan diintrogasi, tapi tak mengalami kesulitan seperti waktu kedatangan.
ARIEF RAHMAN MEDIA