Ilustrasi Surat Al Fatihah
Ini perjanjian antara Aku dengan hambaKu. Apa pun yang diminta, Aku kabulkan.
Surat Al Fatihah dalam shalat. Surat ini merupakan Rukun Shalat, sehingga siapa yang tidak membaca surat ini saat shalat, maka shalatnya tidak sah. Bahkan, dianggap tidak shalat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihis salam bersabda La shalata liman lam yaqra’ bifatihatil kitabi. “Tidak ada shalat, bagi seseorang yang tidak membaca Surat Al Fatihah dalam kitab-Al Quran.” (Al Hadits)
Itulah kedudukan Surat Al Fatihah dalam shalat. Dan, bacaan surat ini merupakan dialog antara kita sebagai hamba dengan Allah sebagai Tuhan yang kita sembah saat shalat.
Surat Al Fatihah ini unik, karena itu firman Allah, tetapi saat kita membacanya, seperti ucapan kita. Padahal, pada surat-surat dalam Al Quran, biasanya, kalau sudah seperti ucapan kita, didahului oleh kata Qul (katakanlah). Seperti surat Al Ihlash : Qul huwalllahu ahad. (Katakanlah -hai Muhammad, Allah itu Maha Esa) Sedangkan dalam Surat Al Fatihah tidak ada ‘’Qul’’
Tetapi dalam Ulumul Quran, ulama sepakat, dalam surat Al Fatihah itu ada kalimat ‘’Qul’’, cuma tidak ditampakkan. Kalau kita tidak yakin adanya Qul dalam surat Al Fatihah, maka seakan-akan Allah yang menyembah kepada kita. Itu tidak benar dan tidak mungkin.
Seperti, ketika kita mengucapkan ‘’Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’’ (Hanya kepada Engkau kami menyembah dan hanya kepada Engkau kami mohon pertolongan). Kalimat ini mestinya didahului oleh ‘’Qul’’. Kenyataannya tidak begitu.
Hanya saja sebagian mufassir atau ahli tafsir menjelaskan, kenapa seperti itu? Karena dengan adanya Hadits Qudsi yang diriwatkan oleh Shahabat Abu Hurairah dalam Kitab Hadits Abu Daud No. 649: surat Al Fatihah itu menjadi dialog atau munajat atau bisik-bisik antara kita sebagai hamba dengan Allah sebagai Tuhan yang kita sembah. Akhirnya, bacaan Al Faatihah, meski tidak didahului dengan kata ‘’Qul’’ praktis menjadi ucapan hamba yang membacanya.
Dengan demikian Surat Al Fatihah yang hanya diwahyukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihis salam sebagai contoh kepada kita para hambaNya agar selalu membacanya dalam shalat hingga menjadi rukun shalat. Dan, itu dialog atau munajat antara kita dengan Allah yang di dalamnya atau ayat 5, dengan tegas Allah berfirman atau menjawab, dengan tegas bahwa ‘’Itu perjanjian antara Aku dengan hambaKu, apapun yang diminta Aku kabulkan.’’
Begitulah luar biasanya bacaan surat Al Fatihah dalam shalat. Sedangkan shalat; suatu ibadah yang sangat istimewa. Kenapa? Karena hanya shalat satu-satunya ibadah yang perintahNya diserahkan langsung oleh Allah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihis salam. Sementara ibadah-ibadah lainnya, seperti zakat, Puasa Ramadhan dan haji serta ibadah lainnya, perintahNya disampaikan oleh Allah kepada Rasulullah melalui Malaikat Jibril.
Dengan kata lain, kalau shalat hanya ibadah biasa saja, Allah bisa menyampaikan perintahNya melalui Jibril. Kenyataannya, khusus perintah shalat, Allah kasih langsung kepada Rasulullah saat beliau diperjalankan oleh Allah dalam Isra’ dan Mi’raj.
Perjalanan ini pun sangat istimewa. Yakni dari Masjidil Haram, Mekkah ke Masjidil Aqsha di Palestina. Kemudian naik ke langit satu hingga ke tujuh, terus ke Sidratil Muntaha untuk menerima perintah shalat dari Allah subhanahu wa ta’ala. Ini perjalanan spiritual, dimana secara akal sehat sulit dinalar. Karena perjalanan yang dimulai setelah waktu Isyak itu, Rasulullah Kembali ke Masjidil Haram, Mekkah menjelang Subuh.
Padahal, normalnya saat itu, perjalanan dengan unta dari Mekkah ke Masjidil Aqsha di Palestina, ditempuh sekitar tiga bulan. Belum lagi ke langit hingga ke Sidratil Muntaha. Tidak masuk akal, saat itu yang masih belum ada pesawat canggih seperti saat ini.
Malaikat Jibril yang mendampingi Rasulullah dari Masjidil Haram, Makkah ke Masjidil Aqsha di Palestina hingga langit ke tujuh, tetapi ketika Rasulullah harus ke Sidratil Muntaha untuk menerima perintah shalat langsung dari Allah, Jibril tidak bisa mendampinginya. Karena hanya orang atau malaikat yang dipanggil oleh Allah yang bisa naik ke Sidratul Muntaha.
Selain itu, shalat satu-satunya ibadah yang berlangsung secara terus menerus sepanjang masa tanpa jeda di seluruh dunia. Contohnya, jika kita di Jakarta shalat dhuhur jam 12.00 WIB lima menit kemudin waktu shalat dhuhur di Serang, Banten. Sementara waktu dhuhur masih berlangsung di Jakarta hingga sekitar pukul 15.00 WIB saat masuk waktu shalat ashar. Makin ke Barat waktu shalat akan menyusul terus. Bahkan, waktu shalat dhuhur di Makkah, Arab Saudi, sekitar jam 16.00 WIB. Atau sekitar 4 jam kemudian setelah waktu shalat dhuhur di Jakarta. Begitulah seterusnya, hingga selama 24 jam atau sehari semalam, shalat akan terus menerus berlangsung dilakukan umat Islam tanpa jeda.
Beda dengan (ibadah) zakat, hanya setahun sekali setelah hartanya mencapai nisab dan haul (setahun). Demikian juga Puasa Ramadhan, pelaksanaannya setahun sekali. Untuk haji, malah cukup sekali saja sepanjang hidup dengan syarat mampu melaksanakannya, baik untuk biayanya, badan sehat dan punya waktu cukup.
Bahkan, Rasulullah menegaskan, shalat sebagai tiang agama. Sebagaimana Sabda beliau: As Shalatu imaduddin, waman aqamaha, faqad aqamaddin. Waman tarakaha, faqad adamaddin. “Shalat itu tiang agama. Barang siapa yang melaksanakannya, maka dia telah menegakkan agama (Islam). Dan siapa yang meninggalkannya (tidak melaksanakan shalat) maka dia telah meruntuhkan agama (Islam). (Al Hadits).
Sementara ibadah lainnya, tidak ada yang dikatakan sebagai tiang agama.
Dengan waktu shalat lima kali sehari semalam, ternyata Allah tidak ingin memberatkan umatnya. Sebaliknya justru (Allah) ingin mengatasi masalah mereka hingga hidup bahagia. Ini bisa kita lihat saat muadzin mengumandangkan adzan, yang mengucapkan, ‘’Hayya ‘alas shalat’’ (Ayo shalat). Mungkin kita bertanya, ‘’untuk apa shalat?’’
Kalimat berikutnya : Hayya ‘alal falah (Mari meraih kebahagiaan atau kemenangan)
Untuk memahaminya, mari kita bahas bacaan Surat Al Fatihah yang merupakan rukun shalat. Dalam Hadits Qudsi, yakni firman Allah yang langsung dimasukkan dalam jiwa sanubari Rasulullah. Hadis ini dari Shahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘an yang diriwayatkan dalam Kitab Hadits Abu Daud No 649 yang berbunyi :
Qala Rasulullahi shallallahu ‘alaihis salam, qalallahu azza wa jalla, Qasamtu baini wa baina abdi qismain.
Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihis salam. Berfirman Allah yang maha mulia dan maha tinggi: Saya berbagi tugas dengan hambaku antara kewajiban dan hak dalam dua bagian) Idza qalal ‘abdu (Apabila hamba mengucapkan), Alhamdulillahi rabbil alamin (Segala puji bagi Allah, seru sekalian alam). Qalallahu azza wa jallah (Allah yang Maha Mulia berfirman) : Hamadani ‘abdi (Telah memuji kepadaku (siapa) hambaKu/ atau dalam tata Bahasa Indonesia diartikan: Hambaku memujiKu)
Qalallahu azza wajalla, idza qalal ‘abdu (Apabila hamba mengucapkan) Arrahmanirr Rahim (Allah-Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Qalallahu azza wa jalla, ‘’Atsna ‘alaiya ‘abdi (Allah berfirman : Telah menyanjungKu -siapa- hambaku- atau HambaKu menyanjungKu). Qalallahu azza wa jalla, idza qalal ‘abdu, ‘’Maliki yaumiddin’’ (Allah- penguasa hari kiamat). Qalallahu azza wa jalla, Majjadani ‘abdi (Telah mengagungkanKu -siapa- hambaKu – atau Hambaku mengagungkanku)
Puncaknya adalah : Qalallahu azza wa jalla, idza qalal ‘abdu, Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (Hanya kepada Engkau lah kami menyembah dan hanya kepada Engkau kami mohon pertolongan). Qalallahu azza wa jalla, hadza baini wa baina ‘abdi, ma sa al. (Ini perjanjian antara Aku dengan hambaKu- Apa pun yang diminta, Aku kabulkan)
Itulah penegasan Allah yang tegas dan jelas. Kita pasti faham dengan penegasan tersebut, Allah menunggu permohonan hambaNya. Selanjutnya, kita tinggal menjawab ‘’tantangan’’ tersebut, apa masalah yang sedang kita hadapi. Razeki sulit, mintalah dilancarkan. Terlilit hutang, mintalah dilunaskan dan berbagai masalah lainnya. Itulah jawaban Allah ketika muadzin mengumandangkan, ‘’Hayya alal falah’’ (Mari meraih kebahagiaan atau kemenangan)
Kalimat berikutnya bacaan Surat Al Fatihah adalah : Ikhdinas shirathal mustaqim. Terjemahan [umum] dalam Al Quran adalah : Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus. Tetapi ketika itu dibaca dalam shalat, banyak mufassir atau ahli tafsir menerjemahkannya disesuaikan dengan permohonan kita. Seperti ketika kita mohon dilancarkan rejeki, maka hal itu bisa diterjemahkan : Tunjukkanlah kami jalan kemudahan meraih rezekiMu. Begitu seterusnya.
Ketika kita mengucapkan : Shirathal ladzina an ‘amta ‘alaihim. Artinya: Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.
Ini kalimat sangat umum. Tetapi itulah kehebatan Allah. Itu kalimat yang pakem. Artinya, dengan nikmatNya itulah, Allah mengatasi masalah umatNya. Seperti yang dialami para Nabi, Rasul, Alim Ulama, para auliya Allah dan seterusnya. Mereka semua telah menerima nikmat Allah yang luar biasa.
Sedangkan kalimat berikutnya : Ghairil maghdubi ‘alaihim waladh dhaalliin. Artinya : Bukan jalan orang-orang tersesat dan bukan pula jalan orang-orang yang dhalim.
Allah menjawab : Hambaku berhak memintanya, dan Aku mengabulkannya.
Bagaimana mengamalkannya?
Ketika kita shalat dan membaca Surat Al Fatihah atau sebagai makmum mendengar Imam mengucapkan, Alhamdulillahi rabbil alamin- dalam hati kita mengucapkan jawaban Allah tadi atau Hamadani ‘abdi. Demikian juga saat kita mengucapkan atau mendengar imam menucapkan : Arrahmanir Rahim, dalam hati kita mengucapkan, Atsna ‘alaiya ‘abdi.
Ketika kita atau imam mengucapkan Maliki yaumiddin, kita mengucapkan dalam hati, Majjadani ‘abdi. Dan, ketika kita atau imam mengucapkan Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Kita jawab, Hadza baini wa baina ‘abdi, ma sa al.
Saat kita atau imam mengucapkan : Ikhdinash shirathal mustaqim. Dalam hati kita ucapkan : Tunjukkanlah kami jalan kemudahan untuk mengatasi masalah kami. Seperti tadi kita punya masalah apa yang ingin diatasinya.
Dari rangkaian penjelasan di atas, sebenarnya Allah ingin mencontohkan kepada kita, bagaimana agar doa kita mudah diijabah oleh Allah. Sebagaimana dalam bacaan surat Al Fatihah tadi. Pertama, memperbanyak puji-pujian kepada Allah dengan mengcapkan ‘’Alhamdulillahi rabbil ‘alamin’’ Kemudian mengucapkan ‘’Arrahmanir Rahim atau Ya Rahman ya rahim’’. Mengagungkan Allah dengan mengucapkan ‘’Subhanallah wa bihamdihi, subhanallahal adhim astaghfirullah’’. Kemudian, jangan lupa selalu mengucapkan, ‘’Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’’.
Bacaan yang terakhir ini sangat penting serta ingat jawaban Allah atas ucapan kita tersebut. Yakni ; ‘’Ini perjanjian antara Aku dengan HambaKu. Apa pun yang diminta, aku kabulkan’’ Setelah itu, sebutkan apa permohonan kita. Insya Allah doa kita akan dikabulkan Allah. Amin amin ya rabbal alamin.
Begitulah, kita akhiri pembahasan ini. Semoga Allah meridlai kajian kita dan bisa memahami serta mengamalkannya hingga kita bisa shalat sesuai tuntunan Allah dan RasulNya yakni shalat khusyuk. **
Penulis: Bahar Maksum, mantan wartawan Jawa Pos, kini aktif di Nahdlatul Ulama (NU).