Mendikbudristek Nadiem Makariem
JAKARTA, jurnal9.com – Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) menuai pro kontra.
Padahal beleid tersebut bertujuan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual terkait maraknya tindak asusila di kampus yang menimbulkan keresahan di kalangan mahasiswa dan dosen belakangan ini.
Plt Dirjen Pendidikan Tinggi dan Ristek, Nizam mengatakan peraturan ini dibuat untuk menjaga hak warga negara atas pendidikan. “Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 ini sebagai langkah awal kita untuk menanggapi keresahan mahasiswa, dosen, pimpinan perguruan tinggi, dan masyarakat tentang meningkatnya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi,” ujarnya.
Menurut Nizam Permendikbud Nomor 30 ini dapat mengarahkan pimpinan perguruan tinggi untuk memberikan pemulihan hak-hak civitas akademika yang menjadi korban kekerasan seksual.
“Kami mengajak pimpinan perguruan tinggi untuk dapat menyiapkan dan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual sesuai Permendikbudristek 30/2021 agar kampus menjadi lingkungan belajar yang semakin aman dan nyaman untuk mewujudkan Merdeka Belajar,” cetus dia.
Namun Permendikbudristek Nomor 30 ini mendapat kritik dari banyak pihak. Salah satunya dari organisasi terbesar di Indonesia, Muhammadiyah.
Muhammadiyah sendiri sepakat dengan tujuan pemerintah melawan aksi kekerasan seksual. Namun Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) PP Muhammadiyah mendesak pemerintah untuk memperbaikinya.
Majelis Diktilitbang Muhammadiyah lewat siaran persnya pada 8 November menilai ada kecacatan formil dan materiil pada beleid itu. Salah satu yang dipermasalahkan, yaitu Pasal 5 ayat (2).
Dalam Pasal 5 ayat (2) itu disebutkan ada frasa tanpa persetujuan korban yang dinilai mengandung makna bahwa seksual dapat dibenarkan jika ada “persetujuan korban (consent)”.
Atau dengan kata lain, Permendikbud Nomor 30 mengandung unsur legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas karena ada dasar persetujuan. Alasan inilah yang mendorong Diklitbang PP Muhammadiyah menolak pengesahan Permendikbud Nomor 30 dan meminta pemerintah untuk segera mencabut dan memperbaikinya.
“Kalimat, frasa ‘tanpa persetujuan’ korban itu menurut kami mendegradasi Permen itu bisa dibenarkan jika ada persetujuan korban. Itu yang menjadi point penting untuk kami catat,” kata Sayuti dikutip dari laman resmi Muhammadiyah.
“Konteks relasi seksual yang tidak Islami (di luar pernikahan) itu, karena adanya persetujuan korban akhirnya menjadi benar. Itu faktor materiil terpenting, sehingga kami menolak Permen ini,” tambahnya.
Pasal 5 ayat (2) Permendikbudristek Nomor 30 itu disebutkan mengenai cakupan apa saja yang tergolong tindakan kekerasan seksual. Contoh pada Pasal 5 ayat (2) poin l, menyebut kekerasan seksual meliputi tindakan yang dilakukan secara fisik meliputi: menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban.
Alasan lain, menurut Sayuti, Muhammadiyah menolak Permendikbud Nomor 30 itu karena cacat formil. Kecacatan itu antara lain tidak memenuhi asas keterbukaan dalam proses pembentukannya; sebagaimana diatur oleh Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Selain itu, menurut Sayuti, Permendikbudristek Nomor 30 juga mengatur norma yang bersifat terlalu rigid dan mengurangi otonomi kelembagaan perguruan tinggi dengan dibentuknya Satgas.
“Satgas itu bagi kami menciderai spirit Undang-Undang Perguruan Tinggi bahwa ada otonomi kampus. Di kampus ada rektor, wakil rektor, di Muhammadiyah ada lembaga AIK, di Muhammadiyah perilaku (asusila) itu pasti jadi catatan yang buruk bagi pendidik, maupun mahasiswa karena kita punya beberapa kasus yang kita berhentikan dosennya, ada yang diskors, dan sudah terjadi,” ujarnya.
Pengamat Kebijakan Publik Universtias Trisakti, Trubus Rahadiansyah mengatakan kalau Permendikbudristek Nomor 30 ini bisa ditafsirkan melegalkan seks bebas. Sebab, peraturan ini tidak dibuat dengan detail.
Menurut dia, salah satu frasa yang terkandung di dalam peraturan itu bisa menimbulkan pemahaman asalkan ada pihak yang mau sama mau, maka hal itu tak masalah. “Karena di situ seolah-olah ada kesepahaman, asal ada pihak yang mau, yaudah. Jadi kesannya mau sama mau.”
Trubus mengusulkan agar pasal yang multitafsir itu sebaiknya direvisi saja. Karena kebijakan itu berupa aturan yang harus dibuat lugas, transparan, dan tegas.
“Jadi enggak boleh ngambang seperti itu. Karena kalau ngambang, tafsirannya bisa kemana-mana,” ujar Trubus.
Sementara itu Trubus mengaku tak menyangkal kalau peraturan ini cacat formal. Sebab beleid ini digodok minim konsultasi publik. “Padahal seharusnya mengundang stakeholder, jadi diskusi dulu, minta masukan. Jadi cacat formil karena proses itu tidak dilalui.”
RAFIKI ANUGERAHA M