Jurnal9.com
Headline News

Pro Kontra Amicus Curiae di Sidang Sengketa Pilpres 2024

Suasana sidang sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK)

JAKARTA, jurnal9.com – Penggunaan pranata Amicus curiae atau sahabat pengadilan pada sidang sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) mengundang pro kontra. Karena di negara-negara yang menganut civil law system, termasuk di Indonesia, sistem ini tidak terlalu umum.

“Tapi pada hakikatnya praktik seperti itu tidak dilarang kalau digunakan dalam sistem hukum nasional kita,” kata Fahri Bachmid, pakar Hukum Tata Negara, Universitas Muslim Indonesia (UMI) dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Kamis (18/4/2024).

Sebab dari aspek fungsinya, lanjut dia, amicus curiae sebagai pihak yang merasa berkepentingan pada suatu perkara yang sedang diperiksa, dan memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan.

“Keterlibatan pihak yang berkepentingan pada suatu perkara tersebut hanya sebatas memberikan opini,” kata Fahri menegaskan.

Dia menjelaskan secara yuridis, konsep amicus curiae di Indonesia berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan: “bahwa hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

“Justru menurut saya, pelembagaan amicus curiae ini sesungguhnya dapat dilihat serta dipraktikkan dalam persidangan pengujian undang-undang di MK,” ungkap Fahri.

“Sebab berdasarkan ketentuan hukum acara MK, pihak ketiga yang berkepentingan bisa mendaftarkan diri dan memberikan pendapat dalam pengujian undang-undang judicial review,” kata dia menjelaskan.

Kemudian berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2003, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK, serta Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tata Beracara dalam Penyelesaian Sengketa Pemilihan Presiden, menurut Fahri, sama sekali tidak dikenal adanya pranata hukum amicus curiae.

“Jadi pada dasarnya hakim MK, dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara konstitusi, termasuk memutus sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres, sandarannya adalah konstitusi dan fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan,” ujarnya.

Pendapat senada disampaikan Pakar Hukum Tata Negara, Universitas Indonesia (UI), Qurrata Ayuni yang menyebutkan amicus curiae bukan bagian alat bukti dalam persidangan perkara PHPU Pilpres 2024 di MK.

“Semua pengadilan boleh punya amicus curiae, tetapi tidak bisa dijadikan sebagai bentuk alat bukti. Ini tidak dikenal. Karena sahabat pengadilan ini sifatnya sebagai bentuk dukungan moral saja [berupa opini] di pengadilan,” ujarnya.

“Tidak bisa jadi instrumen dalam menekan keputusan hakim. Dan Hakim tak bisa memasukkan pendapat amicus curiae sebagai bagian dari pertimbangan putusan,” tegas Qurrata Ayuni.

Awalnya surat amicus curiae ini diajukan Megawati Soekarnoputri melalui Sekjen PDI-P, Hasto Kristiyanto kepada MK pada Selasa (16/4/2024) lalu.

Kemudian surat amicus curiae Megawati ini mendapat banyak kritik dari sejumlah pakar hukum. Termasuk dari kubu paslon Prabowo-Gibran.

Wakil Ketua Tim Hukum Prabowo-Gibran, Otto Hasibuan mengatakan bahwa Megawati sebagai Ketua Umum PDI-P yang mengusung paslon Ganjar-Mahfud tidak boleh menyampaikan surat amicus curiae terkait perkara PHPU Pilpres 2024 kepada MK, karena merupakan pihak yang berperkara.

Baca lagi  Menggugat Kemenangan Prabowo-Gibran?

Semestinya orang atau lembaga yang diperbolehkan mengajukan amicus curiae, kata Otto, dari perguruan tinggi yang bukan merupakan partisan.

Kritik Otto ini dijawab Hasto Kristiyanto, kalau Megawati Soekarnoputri mengajukan diri sebagai amicus curiae bukan sebagai Ketua Umum PDI-P, melainkan sebagai warga negara Indonesia.

“Ibu Megawati mengajukan amicus curiae dalam kapasitas sebagai warga negara Indonesia yang punya tanggungjawab bahwa kedaulatan itu berasal dari rakyat,” ucap Hasto yang membela diri.

Ucapan Hasto ini juga mendapat kritik dari Direktur Lembaga Survey and Polling (SPIN), Igor Dirgantara, yang menyebutkan bahwa amicus curiae mestinya datang dari suara rakyat, bukan dari pihak yang kalah dalam Pilpres.

“Dalam sistem peradilan, amicus curiae merupakan pihak ketiga yang diperbolehkan menyampaikan pendapatnya. Sejatinya yang bisa disebut teman pengadilan (amicus curiae) itu adalah suara rakyat. Bukan pihak yang punya kepentingan hukum dan kalah dalam Pilpres atau yang berperkara di MK,” kata Igor.

Terkait amicus curiae yang menjadi fenomena terbanyak dalam sejarah MK dalam Pilpres 2024, berbeda pendapat dengan Kepala Biro Hukum dan Administrasi Kepaniteraan MK, Fajar Laksono.

Dia menyebutkan MK telah menerima 18 surat teman pengadilan (amicus curiae) yang diajukan sejumlah tokoh agama, politisi, masyarakat dan pakar hukum. Selain Megawati, ada nama Habib Rizieq Shihab, Din Syamsuddin, Abraham Samad, Saut Situmorang, dan Busyro Muqoddas. Dari lembaga ada nama Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial, UGM Yogyakarta, Univ Padjadjaran Bandung, Univ. Diponegoro Semarang dan Univ. Airlangga Surabaya.

“Dari 18 surat amicus curiae itu, hanya 14 yang sudah didalami oleh hakim. Bukan berarti dipertimbangkan ya,” kata Fajar dalam keterangannya kepada wartawan, Kamis (18/4/2024).

Fajar menegaskan 14 amicus curiae tersebut telah diserahkan kepada majelis hakim konstitusi yang menangani perkara sengketa Pilpres.

“Tapi kami tidak bisa memastikan apakah akan dipertimbangkan atau tidaknya amicus curiae ini oleh majelis hakim konstitusi. Cuma yang jelas sudah dibaca dan dicermati,” ujarnya.

Namun skala pengaruh amicus curiae ini dalam pengambilan putusan, kata Fajar, belum bisa diukur. Karena hal itu sepenuhnya ada di masing-masing hakim konstitusi.

“Masing-masing hakim bisa saja berbeda-beda. Bagaimana pengaruhnya terhadap pengambilan putusan, ya kita lihat di dalam putusannya, seberapa besar amicus curiae itu mempengaruhi pengambilan putusan,” ungkap dia.

Fajar mengakui pengalaman MK menerima amicus curiae dalam sidang sengketa Pilpres 2024 ini merupakan yang terbanyak dalam sejarah persidangan di MK. Sebelumnya jumlahnya sangat sedikit, tapi itu dalam perkara pengujian undang-undang. Bukan perkara PHPU Pilpres.

Itulah pro kontra amicus curiae jelang putusan sengketa Pilpres yang menjadi perdebatan di kalangan pakar hukum, politisi, tokoh agama, dan sejumlah aktivis mahasiswa.

ARIEF RAHMAN MEDIA

Related posts

Ini Ramuan Herbal untuk Redakan Batuk-Pilek Gejala Varian Omicron

adminJ9

Setelah Singapura, Korea Selatan Mengalami Resesi, Bagaimana dengan Indonesia?

adminJ9

Pemerintah Siapkan Budget Rp3,8 triliun untuk Pulihkan Sektor Pariwisata

adminJ9