JAKARTA, jurnal9.com – Pemohon uji materi UU Penyiaran pada Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) menilai pengaturan penyiaran berbasis internet dalam Pasal 1 Ayat 2 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran disebut ambigu dan menyebabkan ketidakpastian hukum.
MK sudah menggelar delapan kali sidang untuk melakukan uji materi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang diajukan PT Visi Citra Mitra Mulia (INews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) sejak Juni 2020 lalu.
Menurut pemohon, negara harus hadir di dalam aktivitas penyiaran sebagai bentuk perlindungan terhadap warga negaranya, termasuk dalam yurisdiksi virtual. Apalagi migrasi pengguna siaran konvensional ke siaran berbasis internet kini lebih signifikan.
Pengaturan terhadap penyiaran melalui internet disebut pemohon tidak bisa hanya mengandalkan swaregulasi dari penyedia layanan aplikasi atau etika internet dari warganet.
Menanggapi hal itu Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dalam keterangannya di persidangan menyampaikan jika gugatan RCTI dan INews TV dikabulkan, implikasinya sangat besar dan luas yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam industri penyiaran, maupun dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Perluasan definisi penyiaran, menurut Kominfo, akan mengklasifikasikan kegiatan siaran dalam platform media sosial, seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live dan Youtube Live sebagai penyiaran yang wajib berizin.
Seperti penggunaan telepon video melalui aplikasi perpesanan dan layanan pertemuan daring pun dapat masuk ke dalam penyiaran.
Jika kegiatan dalam media sosial itu juga dikategorikan sebagai penyiaran,kata Kominfo, maka perorangan, badan usaha, ataupun badan hukum akan dipaksa memiliki izin menjadi lembaga penyiaran.
Masalah tersebut sempat menarik perhatian publik lantaran khawatir kebebasan pemakaian layanan siaran di media sosial akan tertutup.
Pendapat Akademisi Ilmu Komunikasi UI, Ade Armando yang dihadirkan sebagai ahli, menyebutkan mengatur siaran melalui internet, perlu merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Bukan hanya menguji sejumlah pasal saja.
“Dalam pandangan saya, bila memang Undang-Undang Penyiaran ini ingin disesuaikan dengan perkembangan zaman, yang harus dilakukan penulisan ulang Undang-Undang Penyiaran,” tegas Ade Armando.
“Kalau cuma mengubah satu pasal seperti yang dimohonkan oleh RCTI dan INews TV, justru menimbulkan persoalan serius, di antaranya karena pemohon menyamaratakan semua bentuk layanan over the top (OTT), termasuk media sosial serta aplikasi pertemuan daring,” lanjutnya.
Pemohon menyebut mempersoalkan layanan media OTT, seperti Netflix, Youtube serta jasa video on demand lainnya.
“Ini dua hal yang berbeda dan tidak bisa disamaratakan. Perbedaan keduanya mempunyai implikasi yang sangat serius,” jelasnya.
Ade Armando menegaskan jika permohonan RCTI dan INews itu dikabulkan, tidak hanya Netflix, Youtube dan jasa video on demand yang terkena dampaknya. Tetapi semua bentuk konten di internet harus mengikuti Undang-Undang Penyiaran dan tunduk pada otoritas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Hal itu, menurut dia, tidak hanya akan menimbulkan kerumitan birokrasi, melainkan juga mematikan kreativitas masyarakat.
Pihak RCTI dan INEWS mempersoalkan pengaturan penyiaran berbasis internet dalam Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran ambigu dan menyebabkan ketidakpastian hukum. Pemohon meminta agar penyedia layanan siaran melalui internet turut diatur dalam UU Penyiaran.
Sementara itu Ahli Ilmu Hukum Teknologi Informasi dan Komunikasi, Danrivanto Budhijanto mengatakan tidak perlu ada undang-undang baru untuk mengatur konvergensi penyiaran dan penggunaan internet. Karena perlu waktu yang lama, padahal teknologi terus berkembang.
“Kalau ada legislasi baru, kita akan melakukan masa transisi yang banyak. Sedangkan teknologinya begitu cepat,” ujar Danrivanto yang juga dihadirkan sebagai ahli secara virtual dalam sidang pengujian Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran tersebut.
Akademisi Universitas Padjadjaran itu mencontohkan saat pengaturan baru sampai pada artikulasi konstitusi untuk penyiaran melalui internet, kemungkinan di kemudian hari muncul perkembangan baru penyiaran melalui selain internet, misalnya kecerdasan buatan.
Untuk itu, menurut Danrivanto, pemaknaan frasa penyiaran ditambahkan pada internet sebagai instrumen platform teknologi, sehingga dapat mengantisipasi perkembangan teknologi ke depan.
“Pentingnya di dalam artikulasi konstitusional terhadap pemaknaan frasa penyiaran adalah termasuk penyiaran melalui internet ini merespons secara futurikal,” tegas Danrivanto.
Iswandi Syahputra yang dihadirkan sebagai ahli dari [pemohon] RCTI dan INEWS mengungkapkan video OTT dalam bentuk VOD (video on demand) adalah program video dan klip yang dipilih sendiri oleh penonton.
“Ini perlu ada pihak yang mengaturnya. Saya menyebutnya; negara harus melakukan pengaturan atau memberikan perlindungan kepada publik dari tayangan yang negatif,” kata Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga itu.
Jika OTT dalam pengertian VOD itu tidak diatur melalui sistem pengawasan yang baik, Iswandi menyebut dampaknya dapat menimbulkan moral panic. “Dan kita sudah mengalaminya beberapa kali,” ungkapnya.
Ia beralasan pengaturan itu bukan untuk membatasi kebebasan warga dalam berekspresi, melainkan untuk melindungi warga dari penyajian konten video negatif di internet.
Ia mengatakan selain VOD, ada OTT penyedia layanan perpesanan seperti aplikasi chatting, Whatsapp, Facebook Messenger, kemudian video telekonferensi seperti Skype, Zoom, Google Hangout. Dan ada juga OTT penyedia video gim daring.
Dalam konteks itu, kata Iswandi, KPI menjadi pihak yang merepresentasikan keadilan negara dalam memberikan perlindungan kepada publik.
Pihak Kementerian Komunikasi dan Informatika menanggapinya; jika layanan video di internet itu dimasukkan ke dalam UU penyiaran, maka masyarakat tidak bisa lagi menggunakan fitur siaran di media sosial. Pasalnya hanya lembaga penyiaran berizin yang dapat melakukan siaran.
Karena RCTI dan INews ngotot mempersoalkan pengaturan penyiaran berbasis internet dalam Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran tersebut. Pemohon meminta agar penyedia layanan siaran melaui internet wajib diatur dalam UU Penyiaran.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mempertanyakan apakah dalam cakupan atau tidaknya penyedia layanan over the top (OTT) itu dimasukkan ke dalam revisi UU Penyiaran yang masuk dalam Prolegnas2020-2024?
“Karena ini inisiatifnya DPR, apakah kemudian terkait dengan media lain, apakah ada perubahan di dalam prosesnya yang menjangkau terkait konten yang menggunakan OTT?,” kata Enny Nurbaningsih dalam sidang tersebut.
Enny juga menegaskan penjelasan mengenai jangkauan UU Penyiaran yang mencakup semua konten siaran dengan menggunakan OTT sangat penting untuk dipahami. Termasuk sistem pengaturannya.
Menanggapi pertanyaan hakim MK itu, Anggota Komisi III DPR RI, Habiburokhman mengatakan proses pembahasan revisi UU Penyiaran masih panjang. Apalagi RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran itu baru saja dikeluarkan dari Prolegnas 2020.
“Komisi I itu sampai saat ini baru sekali melakukan pembahasan internal dan belum ada perkembangan lagi,” kata Habiburokhman.
Dengan masih panjangnya proses pembahasan revisi UU Penyiaran, ia menyatakan DPR akan mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi. Dan menyesuaikan revisi dengan putusan yang akan dikeluarkan Mahkamah Konstitusi.
“Kami akan selalu mengikuti bagaimana diktum-diktum putusan MK. Jadi, undang-undang yang akan kami bentuk akan menyesuaikan dengan MK,” tegasnya.
ARIEF RAHMAN MEDIA