Ahmad Zabadi, Deputi Bidang Pengawasan Kementerian Koperasi & UKM
JAKARTA, jurnal9.com – Kementerian Koperasi dan UKM memaparkan pada level grassroots kemanfaatan koperasi masih dirasakan masyarakat. Namun masih ada praktek ilegal berkedok koperasi yang merugikan nasabah.
Deputi Bidang Pengawasan Kementerian KUKM, Ahmad Zabadi mengatakan pada perkembangannya muncul hambatan dan kendala penyalahgunaan oleh oknum yang akhirnya merugikan citra koperasi.
“Sebagai upaya membangun kepercayaan masyarakat, dan kepercayaan terhadap koperasi dalam menjalankan usaha, penting penguatan pengawasan koperasi melalui dukungan regulasi, antara lain berupa RUU Perkoperasian dan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law),” katanya usai Webinar pada akhir pekan ini di Gedung Kementerian KUKM, Jakarta.
Instansi itu memberikan tiga usulan penambahan rumusan RUU Cipta Kerja, yaitu pengaturan sistem pengawasan koperasi, penetapan lembaga penjamin simpanan anggota koperasi, dan penetapan sanksi pidana dan denda.
Webinar diadakan dalam memperingati Hari Koperasi Nasional ke-73. Adapun temanya ‘Penguatan Pengawasan Koperasi melalui Koordinasi dengan OJK dan Bareskrim Polri’. Kegiatan koperasi melibatkan unsur aparatur pembina perkoperasian, para pejabat fungsional pengawas koperasi, serta Satuan Tugas (Satgas) dan Petugas Penyuluh Koperasi Lapangan (PPKL) se-Indonesia.
Zabadi menegaskan pelaksanaan pengawasan dilakukan dengan standar yang sama, terintegrasi, digitalisasi, melalui regrouping eksisting regulasi terkait kelembagaan dan usaha koperasi berbasis potensi risiko.
Perlu penguatan kerja sama dengan otoritas pengawas lain seperti Ombudsman, BI, PPATK, OJK, KPPU, dan POLRI. Kerja sama ini perlu peningkatan kewaspadaan terhadap penyalahgunaan transaksi Ilegal.
Dr. Tongam L. Tobing, Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI) dan antisipasi perkembangan kejahatan bermodus koperasi, menyampaikan data entitas ilegal tahun 2017-2020: terdapat 158 fintech yang telah terdaftar di OJK dan semuanya tidak ada yang berbadan hukum koperasi.
“Apabila terdapat koperasi yang melakukan fintech, maka hal tersebut adalah ilegal. Bahwa beberapa tahun belakangan jumlah lembaga keuangan ilegal berbasis digital mengalami tren perkembangan dengan perkiraan total kerugian masyarakat (tahun 2009 hingga 2019) mencapai angka Rp 92 triliun,” katanya.
Kerugian masyarakat tersebut tidak di-cover oleh aset yang disita dalam rangka pengembalian dana masyarakat. “Maraknya investasi ilegal disebabkan banyaknya permintaan masyarakat akan jasa keuangan yang diikuti dengan rendahnya pengetahuan masyarakat akan investasi ilegal,” tegasnya.
Penawaran bunga tinggi, dan penggunaan tokoh agama, tokoh masyarakat serta selebriti sebagai media propaganda agar masyarakat bergabung dalam investasi tersebut. Modus penipuan berkedok koperasi memiliki berbagai ciri.
Di antaranya penawaran melalui berbagai media seperti SMS (link atau nomor telepon), situs, media sosial, Google Play Store, atau Apps Store), menggunakan nama “KSP” atau “koperasi”, namun tidak memiliki pengesahan Badan Hukum dan/atau izin usaha dari kementerian yang berwenang.
Widodo Rahino Kasubdit V (IKNB) Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim menjelaskan perkembangan kejahatan bermodus koperasi, antara lain karena tidak adanya sanksi hukum pada regulasi koperasi yang digunakan oknum yang mencatut nama koperasi. Selain itu mereka melakukan tindak pelanggaran hukum yang merugikan masyarakat, seperti penghimpunan dana.
Penanganan penipuan berkedok koperasi di daerah diupayakan secara kolaboratif. Pemerintah pusat memberikan asistensi apabila diperlukan. Daerah didorong bertindak cepat dan tegas terhadap praktik penipuan berkedok koperasi guna menghindari meluasnya permasalahan dan semakin besarnya kerugian masyarakat.
SWI mendorong daerah mengambil langkah mendatangi atau mengundang koperasi/oknum untuk mendapatkan klarifikasi (shock therapy). Melakukan penghentian operasional dan melakukan tindakan represif berupa pelaporan kepada kepolisian atas tindakan melanggar hukum sehingga menimbulkan efek jera.
MULIA GINTING