Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Brigjen Pol. Slamet Uliandi
JAKARTA, jurnal9.com – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam rapat pimpinan TNI-Polri beberapa waktu lalu mengakui masih ada pasal-pasal dalam UU ITE yang punya pemahaman multitafsir, sehingga berpotensi dipakai untuk mengkriminalisasi para aktivis atau masyarakat yang mengkritik pemerintah berisiko ditangkapi.
Untuk mencegah kejadian itu kepolisian di bawah Kapolri baru ini akan mengaktifkan polisi virtual untuk mengawasi konten media sosial yang terindikasi melanggar UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terkait pencemaran nama baik ataupun penghinaan.
Hal itu disampaikan Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Pol. Slamet Uliandi kepada awak media di Jakarta, pada Selasa (23/2/2021) malam.
Pengawasan polisi virtual tersebut dilakukan di aplikasi ataupun platform media sosial yang banyak digunakan masyarakat. Di antaranya ialah platform Facebook, Twitter, dan Instagram.
Menurut Slamet, pengguna media sosial yang diduga melanggar UU ITE langsung dilakukan pendekatan dengan memberikan edukasi berupa pesan direct message (DM) melalui WhatsApp atau media lainnya sebagai upaya peringatan.
“Peringatan virtual itu sifatnya begini. Ketika orang itu melakukan kira-kira kesalahan, kita anggaplah si Badu. ‘Saudara Badu hari ini anda meng-upload konten jam sekian tanggal sekian, konten ini berpotensi pidana SARA dengan ancaman hukuman penjara’,” jelas Slamet.
Kemudian tim patroli siber bakal memberikan pesan peringatan sebanyak 2 kali kepada pelanggar UU ITE tersebut. Dalam peringatan itu, tim akan menjelaskan terkait pasal yang dilanggar jika pelaku mengunggah kontennya.
“Bentuk pesan peringatannya itu kita akan sampaikan secara lengkap dengan informasi mengapa konten tersebut dianggap pelanggaran atau kata-katanya mengandung hoaks,” tutur dia.
Polisi juga meminta kepada pelanggar itu untuk menurunkan kontennya paling lama 1×24 jam. Jika menolak, pelanggar akan dipanggil untuk dimintai klarifikasi.
“Pada saat dia tidak turunkan, kita ingatkan lagi. Kalau tidak diingatkan, kita klarifikasi. Undangan klarifikasinya pun sifatnya tertutup, jadi orang tidak usah tahu karena ini privasi,” ungkap Slamet.
“Namun kalau sudah dilakukan tahapan itu, kemudian si pelanggar tidak mau kooperatif, kira-kira bagaimana? Sesuai perintah Bapak Kapolri, cara-cara humanis seperti itu yang harus dikedepankan,” ucap Slamet.
Sebelumnya Komnas HAM juga telah melakukan pertemuan dengan Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri di Kantor Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Jakarta pada Selasa sore. Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan pertemuan tersebut membahas gagasan tata kelola penanganan kasus-kasus terkait penerapan UU ITE dalam kaitan hak asasi manusia (HAM) dan alternatif mediasi dalam penyelesaiannya.
Pertemuan tersebut, kata Anam, menghasilkan sebuah kesepahaman awal bersama yakni Komnas HAM dan Bareksrim Polri akan menindaklanjuti dengan pertemuan konkret terkait mekanisme penanganan dan kontribusi masing-masing dalam penanganan kasus berbasis ITE.
Penanganan Perkara Kerangka kerja bersama kedua lembaga, kata Anam, akan dibahas lebih lanjut dalam tim bersama yang akan mendalami prinsip HAM dan mekanisme penegakan hukum, termasuk koordinasi antarlembaga.
“Penting menjaga prinsip HAM guna kepentingan publik dalam memanfaatkan ruang sosial media, termasuk di dalamnya skenario penegakan hukum, termasuk bagaimana menggunakan Rabat Plan of Action,” kata Anam.
RAFIKI ANUGERAHA M I ARIEF RAHMAN MEDIA