JAKARTA, jurnal9.com: Sejak World Health Organization (WHO) mengumumkan wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) menjadi pandemi. Maka wabah penyakit yang menyebar ke seluruh dunia dengan menelan korban meninggal lebih dari 9.867 orang dari 242 ribu kasus yang melumpuhkan perekonomian dunia.
Melihat kondisi darurat tersebut, Badan Pusat Pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) mendesak pemerintah untuk upaya pembatasan. “Dampak wabah Covid 19 ini terhadap sektor ekonomi tidak dapat dielakkan lagi. Pertumbuhan ekonomi dunia diproyeksikan terkontraksi semakin dalam,” kata Mardani H Maming, Ketua Umum BPP HIPMI dalam keterangan tertulisnya di Jakarta belum lama ini.
Menurut mantan Bupati Tanah Bambu Kalimantan Selatan ini, pemerintah harus memperhatikan isu-isu yang memerlukan kebijakan khusus. Terkait ketersediaan stok dan pasokan pangan yang akan mempengaruhi stabilitas harga pangan.
Disrupsi produksi, distribusi, mata rantai pasokan, lanjut Maming, bisa mempengaruhi kinerja sektor manufaktur dan turunannya. Bahkan membuat anjloknya harga minyak dunia akibat menurunnya permintaan, serta perang harga minyak antara Arab Saudi dan Rusia.
“Untuk menjaga agar sektor riil bergerak, menjaga daya beli masyarakat dapat mendorong kinerja ekonomi domestik, maka pemerintah perlu mengeluarkan stimulus fiskal,” ujarnya.
Maming menjelaskan stimulus fiskal dalam rangka penanganan Covid-19, pertama mengenai relaksasi Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Relaksasi diberikan melalui skema PPh Pasal 21 yang ditanggung pemerintah (DTP) sebesar 100 persen atas penghasilan dari pekerja sebesar Rp 200 juta pada sektor industri pengolahan. Termasuk Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE), dan Kemudhan Impor Tujuan Ekspor-Industri Kecil dan Menengah (KITE IKM).
“PPh DTP diberikan selama enam bulan, terhitung April hingga September 2020. Nilai besaran yang ditanggung pemerintah sebesar Rp 8,60 triliun. Diharapkan para pekerja di sektor industri pengolahan tersebut mendapatkan tambahan penghasilan untuk mempertahankan daya beli,” tulis Maming dalam release-nya.
Kedua mengenai relaksasi PPh Pasal 22 Impor. Relaksasi diberikan melalui skema pembebasan PPh Pasal 22 Impor kepada 19 sektor tertentu, Wajib Pajak KITE, dan Wajib Pajak KITE IKM.
“Pembebasan PPh Pasal 22 Impor diberikan selama enam bulan terhitung April hingga September 2020 dengan total pembebasan sebesar Rp 8,15 triliun. Kebijakan ini ditempuh sebagai upaya memberikan ruang cashflow bagi industri untuk kompensasi switching cost atau biaya sehubungan perubahan negara asal impor,” tegas Maming.
Ketiga mengenai relaksasi PPh Pasal 25. Relaksasi diberikan melalui skema pengurangan PPh Pasal 25 sebesar 30 persen kepada 19 sektor tertentu, Wajib Pajak KITE, dan Wajib Pajak KITE-IKM selama enam bulan terhitung April hingga September 2020 dengan total pengurangan sebesar Rp 4,2 triliun.
“Sebagaimana halnya relaksasi PPh Pasal 22 Impor, melalui kebijakan ini diharapkan industri memperoleh ruang cashflow sebagai kompensasi switching cost atau biaya sehubungan perubahan negara asal impor dan negara tujuan ekspor. Selain itu, dengan upaya mengubah negara tujuan ekspor, diharapkan akan terjadi peningkatan ekspor,” jelasnya.
Keempat mengenai relaksasi restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Relaksasi diberikan melalui restitusi PPN dipercepat (pengembalian pendahuluan) bagi 19 sektor tertentu, WP KITE, dan WP KITE-IKM. Restitusi PPN dipercepat diberikan selama enam bulan, terhitung April hingga September 2020 dengan total besaran restitusi Rp 1,97 triliun.
“Tidak ada batasan nilai restitusi PPN khusus bagi para eksportir. Sementara bagi para non-eksportir besaran nilai restitusi PPN ditetapkan sebesar Rp 5 miliar. Dengan adanya percepatan restitusi, Wajib Pajak dapat lebih optimal menjaga likuiditasnya,” ungkapnya. (Mulia Ginting)