Menteri Keuangan Sri Mulyani memberi penjelasan hasil utangnya (Foto: Dok. Menkeu)
JAKARTA, jurnal9.com – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan temuan utang pemerintah yang menumpuk mencapai US$ 407,5 miliar atau setara Rp 6.316 triliun dinilai kurang efektif. Apalagi pemerintah akan berhutang lagi untuk pembiayaan pembangunan dan menutup defisit APBN yang terus membengkak.
Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agus Joko Pramono mengatakan utang pemerintah yang terus bertambah setiap tahun harus dilakukan secara hati-hati. Karena menambah utang sebenarnya harus mempertimbangkan metodologi keseimbangan antara penerimaan dan belanja.
“Terkait dengan pembaginya, income itu sebetulnya metodologi saja. Kalau kita punya utang, yang penting adalah kemampuan membayar, dan itu tidak diukur sekarang, tetapi diukur fiscal sustainability-nya,” ungkap Agus.
Hal ini, menurut dia, perlu dilakukan agar tidak mengganggu keuangan negara di masa mendatang. Apalagi, pemerintah masih akan terus jor-joran dalam belanja untuk pembangunan infrastruktur.
“Jadi itu per definisi adalah kita meng-assess kemampuan, solvabilitas, kemampuan jangka panjang agar kita tidak terhambat dan membuat utang tersebut menjadi ancaman di dalam melakukan belanja di masa mendatang,” tegasnya.
Agus menjelaskan, sebenarnya ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian pemerintah dalam pengelolaan utang. Misalnya saja angka tax ratio atau rasio pajak yang masih sangat rendah ini sangat timpang.
Sebelumnya, Auditor Utama, BPK, Laode Nusriad memaparkan, pembagian tugas dan wewenang antara Kemenkeu, Bank Indonesia dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dalam menetapkan kebijakan Surat Berharga Negara (SBN). Karena BI sekarang masuk ke pasar perdana untuk dana penanganan covid-19.
“Bagaimana menyempurnakan kebijakan, khususnya private placement, karena yield-nya tidak bisa diukur. Jadi perlu ada ukuran yang jelas terkait private placement ini,” cetus Laode.
Kemudian melakukan monitoring untuk mencegah terhadap pembayaran kupon, terkait pelunasan utang. “Terakhir masalah risiko manajemen keuangan negara. Ini harus mulai dibuat kerangkanya. Termasuk parameter pemanfaatan utang untuk belanja produktif,” tegasnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan tanggapan terkait temuan BPK tentang pengelolaan utang pemerintah yang dinilai kurang efektif. “Penambahan utang pemerintah itu untuk pembangunan infrastruktur dan penurunan angka kemiskinan,” ungkapnya.
“Walaupun nambah utang, tapi sudah bisa dilihat hasilnya. Seperti infrastruktur jadi baik, kemiskinan menurun, sampai akhirnya (penanganan) covid-19 ini,” ujarnya dalam video conference.
Sri Mulyani menegaskan, pihaknya sangat menghormati hasil temuan BPK tersebut. Pemerintah juga memastikan, bahwa penggunaan utang dilakukan secara hati-hati dan bertanggung jawab.
Menurut Menkeu, analisa BPK tersebut sebagai pengingat agar pemerintah semakin berhati-hati. “Fiskal adalah instrumen. Tapi bukan berarti kita ugal-ugalan. Jadi, ya kita hormati saja,” ucap Sri Mulyani lagi
Bank Indonesia mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia per Februari 2020 mencapai US$ 407,5 miliar atau setara dengan Rp 6.316 triliun (kurs Rp 15.500).
Utang Luar Negeri ini terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar US$ 203,3 miliar atau setara Rp 3.151 triliun. Dan utang swasta termasuk BUMN mencapai US$ 204,2 miliar atau setara Rp 3.165 triliun.
Utang ini digunakan untuk kegiatan sosial sebesar 23,4 persen dari total utang luar negeri pemerintah, jasa pendidikan 16,3 persen, konstruksi 16,8 persen, sektor administrasi pemerintah, pertahanan dan jaminan sosial wajib 11,6 persen.
ARIEF RAHMAN MEDIA