YOGYAKARTA, jurnal9.com – Dokter Spesialis Telinga, Hidung, Tenggorokan dan Kepala Leher (THT-KL) Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM dr. Anton Sony Wibowo, Sp.T.H.T.K.L.,M.Sc., FICS menguatkan temuan beberapa penelitian di luar negeri yang menyebut penyakit parosmia sebagai gejala baru covid-19.
“Parosmia adalah gejala gangguan penciuman yang membuat seseorang merasa mencium bau secara berbeda dari biasanya,” ungkap dr. Anton Sony Wibowo dalam keterangan tertulisnya di Yogyakarta, Senin (4/1/2021).
“Pasien parosmia atau orang yang mengalami gangguan penciuman yang mempersepsikan bau yang tidak sesuai dengan kenyataan benda yang diciumnya,” tegas dia.
Anton mencontohkan, bunga mawar yang seharusnya berbau harum, tetapi pasien merasakan bau yang lain, seperti bau tidak enak atau bau lainnya.
Persepi bau yang muncul akibat parosmia ini, kata dia, dari hasil penelitian sangat beragam. Mulai dari gangguan penciuman cacosmia yang membuat seseorang mencium bau tidak enak secara terus menerus.
Dari penelitian di luar negeri diketahui kemunculan parosmia cukup banyak, yakni berkisar antara 50,3 sampai 70 persen. Sedangkan di Indonesia penelitian terkait parosmia ini belum banyak dilakukan.
Karena di luar negeri sudah banyak dilakukan peneltian, maka Dosen FKKMK UGM ini mengatakan gejala parosmia cukup banyak dijumpai pada pasien covid-19 di luar negeri.
Ia menjelaskan parosmia dapat terjadi pada pasien covid-19 akibat virus SARS Cov-2 mempengaruhi jalur proses penciuman seseorang. Hal tersebut bisa dari reseptor saraf penciuman (saraf kranial 1), saraf penciuman, atau sampai ke pusat persepsi saraf penciuman.
Selain akibat virus, kata Anton, kemunculan parosmia juga disebabkan oleh hal yang beragam, beberapa di antaranya infeksi saluran pernapasan atas, cidera kepala, atau kelainan otak, seperti tumor otak.
Anton juga menjelaskan gangguan penciuman akibat infeksi virus covid-19 tidak hanya berupa hilangnya kemampuan mencium bau atau anosmia yang telah muncul di awal pandemi dan kini parosmia.
Namun, terdapat beberapa gangguan penciuman lain, salah satunya hyposmia berupa menurunnya kemampuan mendeteksi bau. Lalu, cacosmia yang menjadikan seseorang secara terus menerus mencium bau yang tidak menyenangkan.
“Pada infeksi covid-19 terdapat gangguan penciuman atau yang dikenal dengan dysosmia yang bisa berupa anosmia, parosmia, hyposmia maupun cacosmia,” kata dia.
Seperti dikutip Sky News, ahli bedah telinga, hidung dan tenggorokan (THT) dari Inggris, Profesor Nirmal Kumar, menyebut gangguan penciuman yang dialami orang yang terinfeksi virus corona, memang aneh dan unik.
Kumar menceritakan petugas medis yang pertama kali mengidentifikasi anosmia, hilangnya penciuman pada seorang yang telah bergejala virus corona pada Maret 2020 lalu.
Dari temuan gangguan penciuman pada pasien yang sudah menunjukkan gejala virus corona itu, akhirnya Kumar mendesak Kesehatan Masyarakat Pemerintah Inggris untuk memasukkan anosmia ke dalam daftar gejala baru covid-19.
Seorang bankir bernama Daniel Savedki, 24 tahun, mengaku mengalami gangguan penciuman selama dua minggu, setelah dirinya tertular virus corona pada Maret 2020 lalu.
Berbeda yang dialami Simpananki dari West Yorkshire bercerita dirinya mencium tempat sampah dengan berbau tajam. Tapi dirasakan bau tajam itu kadang berbau belerang, atau berbau seperti roti panggang yang hangus.
“Ini mengurangi selera makan saya. Kadang yang menyedihkan saya, kadang tidak bisa mencium apa-apa bau makanan yang di depan hidung,” ujarnya.
SKY NEWS I ANTARA
RAFIKI ANUGERAHA M I ARIEF RAHMAN MEDIA