Dhio Daffa (kiri) saat bersama kakaknya, Dhea Chairunisa yang dibunuhnya. Mereka berdua, semasa kecilnya (foto kanan)
MAGELANG, jurnal9.com – Dhio Daffa (22) tersangka pembunuh ayah ibu dan kakaknya ternyata memberikan keterangan palsu kepada polisi. Dia mengaku membunuh keluarganya karena sakit hati sering disuruh cari kerja orang tua untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
“Dhio sering berbohong. Waktu almarhumah adik saya (Heri Riyani) masih hidup, bertemu saya. Ibunya mengeluh pengeluaran untuk Dhio satu bulannya Rp 32 juta untuk kursus bahasa Inggris. Itu belum yang lain-lainnya,” ungkap Sukoco (58), kakak ibunda Dhio, Heri Riyani (54) yang sering kontak telepon dengan keluarga Abbas.
Setelah diselidiki Sukoco, ternyata soal les itu teryata Dhio berbohong. Buktinya, Dhio tak bisa menunjukkan bukti-bukti kalau dia les.
“Lalu, Dhio juga ngaku kerja di PT KAI. Terkait dengan pekerjaannya ini dia bilang ke orangtuanya ikut Diklat ke Malang (Jatim). Baru tiga hari, sudah balik lagi. Masak, diklat tiga hari? Terus saya cek ke PT KAI, ternyata nama Dhio tidak ada,” kata Sukoco.
Sukoco mengatakan Dhio suka menghamburkan uang. Ini atas laporan almarhumah ibunda Dhio, Heri Riyani kepada dirinya.
Dhio setelah lulus SMA, dan tidak mau kuliah. Ketika itu, ayahnya, Abbas, masih menjabat Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Kementerian Keuangan, Kabupaten Grobogan. Kemudian pensiun per 1 Oktober 2022.
Rumah keluarga Abbas tergolong mewah di wilayahnya. Di Jalan Sudiro, Nomor 2, Gang Durian, RT10/RW1, Dusun Prajenan, Desa Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jateng. Rumah dua lantai seluas sekitar 200 meter persegi. Di garasi ada Toyota Innova.
Rumah itu dihuni: Abas, Heri Riyani, Dhea Chairunisa (25) dan Dhio. Tiga nama itu dibunuh Dhio. Sedangkan pembantu rumah tangga, Sartinah (45) tinggal tak jauh dari rumah orang tua Dhio.
Kakaknya, Dhea Chairunisa lulusan Universitas Muhammadiyah Magelang, jurusan Teknik Komputer, 2015-2018. Pernah bekerja sebagai teller bank selama tiga tahun.
Dhio sejak kecil rajin mengaji. Guru ngajinya, Ahmad Anwari, kepada wartawan di Magelang, Selasa (29/11) menceritakan, ia tidak menyangka Dhio membunuh kedua orang tua dan kakak perempuannya. “Saya kaget,” ujarnya.
“Dari ia kecil, saya mengajarinya mengaji. Anaknya itu sebenarnya apik (baik). Orangtuanya juga apik. Tapi, sejak tamat SMA, sampai ia mengalami kecelakaan, tidak pernah ke masjid lagi. Malah tidak pernah kelihatan salat Jumat,” kata Anwari.
Soal penyebab perubahan perilaku Dhio itu, Anwari mengaku kaget. Karena dirinya tidak tahu.
Kenapa Dhio tiba-tiba sadis. Ia tega meracuni keluarganya sampai dua kali. Menurut hasil pemeriksaan polisi, kejadian pada Rabu, 23 November 2022, sekeluarga (Abas, Heri Riyani, dan kakaknya Dhea) keracunan setelah minum es dawet. Mereka sampai berobat ke dokter.
Hasil interogasi polisi, Dhio mengakui, dirinya mencampurkan arsenik ke dalam es dawet itu.
Senin, 28 November 2022 tiga orang keracunan lagi. Dan meninggal dunia. Hasil otopsi, tenggorokan sampai lambung tiga korban terbakar akibat diberi arsenik. Dhio mengaku membeli arsenik via online.
Saat tiga jenazah korban hendak diotopsi, polisi minta persetujuan Dhio. Karena, pemilik wewenang izin keluarga tinggal Dhio. Maka, Dhio menolak otopsi. Tapi, karena pemilik wewenang adalah tersangka pidana terkait otopsi, maka penolakan Dhio tidak berlaku.
Dari pengakuan Dhio terbantahkan oleh keterangan Sukoco, lantas apa motif Dhio membunuh dengan meracuni ayah ibu dan kakaknya itu? Kini masih disidik polisi.
Prof Kent A. Kiehl dalam bukunya bertajuk “The Psychopath Whisperer: The Science of Those without Conscience” (Broadway, 2014) menyebutkan, banyak faktor penyebab pria remaja atau dewasa muda jadi pembunuh.
1) Penghinaan dan frustrasi di masa kecil dalam perspektif pelaku. Artinya, pelaku merasa terhina sehingga frustrasi. Rasa hina dan frustrasi itu mengendap bertahun-tahun sampai ia remaja kemudian dewasa.
Itu dialami pembunuh berantai terkenal di Amerika Serikat, seperti Ted Bundy, Edmund Kemper, Jeffrey Dahmer, masa kecilnya diabaikan ortu.
2) Anak yang merasa tidak aman (terhina, frustrasi) mengagumi kekuatan pada orang lain. Bisa teman, publik figur, tokoh film, atau siapa pun, tapi bukan orang tuanya. Ia justru menghindari ortu.
Anak jenis ini akan mengidolakan orang dengan perangai kasar, pemberang, pemberontok. Hal ini sebagai kompensasi jiwanya yang terhina.
3) Idola pemberang, pemberontak, kasar, itu bagi si anak menjadi citra “tangguh” atau “keren”. Dan idolanya ini yang ditiru.
Dari rasa frustrasi ia merasa pegang kendali. Balas dendam, dari perasaan terhina dan frustrasi di masa lalu, jadi berkuasa mengendalikan nyawa orang.
Prof Kiehl adalah Neuropsikolog, guru besar neuropsikologi di Departemen Psikologi, University of New Mexico, Albuquerque, New Meksiko, Amerika Serikat.
Di kampus itu Kiehl menggunakan teknik pencitraan otak untuk menyelidiki penyakit mental, khususnya, psikopati kriminal. Juga gangguan psikotik (skizofrenia, bipolar, gangguan afektif, cedera otak, penyalahgunaan zat dan paraphilias).
Ia dipercaya negaranya menganalisis pembunuhan brutal terhadap Kimberly Cates (42) dan putrinya, Jaimie (11) di rumah mereka di Mont Vernon, New Hampshire, AS, 4 Oktober 2009.
Kejadiannya begini. Dikutip dari Daily Mail, 7 Desember 2010, bertajuk ” Man admits killing a mother and stabbing her 11-year-old child but pleads insanity”, memberitakan saat persidangan kasus tersebut.
Pelaku empat sekawan, Steven Spader (saat itu 19). Christopher Gribble (21). William Marks (20). Quinn Glover (21). Mereka tidak kenal korban. Mereka masuk rumah korban sebelum fajar, 4 Oktober 2009.
Rumah itu dihuni David Cates dan isteri Kimberly Cates serta anak mereka, Jaimie (11). Saat kejadian, David sedang dinas luar kota.
Empat pemuda itu mencongkel pintu, lalu masuk rumah dalam kondisi gelap. Mereka menemukan ponsel, kemudian dijadikan senter, menuju sebuah kamar. Lalu kamar dibuka, ada Kimberly tidur bersama Jaimie.
Saat Kimberly kaget langsung dihajar bacokan oleh dua pelaku, Spader dan Gribble. Dua pelaku lain cuma menonton.
Kimberly tewas seketika dengan 36 bacokan pedang Spader. Jaimie ditusuk beberapa kali dengan pisau pramuka Gribble. Jaimie pingsan. Kemudian para pelaku kabur.
Ternyata Jaimie masih hidup. Kini jadi gadis cantik usia 24. Itu bukan perampokan, juga bukan dendam, karena korban-pelaku tidak saling kenal. Ini pembunuhan oleh orang gila. Kejadian ini menghebohkan AS. Di tahun itu warga sana masih heran, mengapa ada remaja gila bisa membunuh sekejam itu?
Kiehl menyebutkan, “Perasaan klinis saya, bahwa anak ini salah bergaul. Ia punya pikiran rapuh. Orang dapat menanamkan ide apa saja, ke dalam pikiran yang rapuh, lantas membuat ia melakukan apa saja. Keyakinannya bahwa ia psikopat, adalah delusi. Ia hanya salah bergaul.”’
Satu kunci: Spader dan Grabble terabaikan ortu di masa kecil. Kesimpulan ini banyak ditemui di teori-teori pemikir kriminologi, psikologi, sosiologi. Mereka merujuk akar masalah di masa kecil manusia.
Bagaimana dengan Dhio? Sulit dibayangkan, masa kecilnya diriset psikolog. Dalam budaya kita tidak memungkinkan itu. Sebab, dianggap bisa memalukan pihak keluarga.
Betapa pun, kasus pembunuhan sekeluarga ini bakal diungkap di pengadilan. Kita tunggu hasilnya di sana.
DJONO W OESMAN
(Wartawan Senior)