Jurnal9.com
Headline News

RUU HIP Ditolak Umat Islam, Ada Kecurigaan Dibalik UU ini

RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang digagas Fraksi PDI-P mendapat penolakan keras dari sejumlah umat Islam.  (Foto: Dok Or Islam)

JAKARTA, jurnal9.com – RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang digagas DPR secara diam-diam karena pembahasannya tanpa melibatkan kalangan ulama, kiai, dan umat Islam, membuat MUI menolak keras.

MUI menganggap apa yang dilakukan anggota DPR RI  itu disebutnya sebagai upaya ‘pencurian’  ideologi negara pada saat senyap dalam waktu yang sangat singkat. Ketika masyarakat sedang perhatiannya dihadapkan pada kondisi darurat pandemi corona.

“Mencuri di saat senyap, mengganti ideologi negara. Jika RUU HIP dilanjutkan akan berpotensi mendapat tantangan keras dari masyarakat, khususnya umat Islam yang berjuang hidup mati mempertahankan Pancasila,” kata Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI, Ikhsan Abdullah.

RUU HIP ini mulanya diusulkan PDI-P,  yang kemudian  menjadi usul inisiatif Baleg DPR.  Apa saja isi dari RUU HIP yang diusulkan PDI-P ini, sehingga menjadi polemik dan kontroversial?

Berikut ini ulasan dari 60 pasal RUU HIP ini yang dinilai bermasalah dan berpotensi menimbulkan kontroversi, serta mereduksi  sila-sila dalam pancasila sebagai dasar negara:

Salah satu pasal yang dinilai bermasalah adalah Pasal 7 yang memiliki tiga ayat, yaitu:

(1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/ demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.

(2) Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.

(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.

“Rumusan di Pasal 7 ini seperti mengulang kembali perdebatan lama yang sudah selesai dan bertentangan dengan UUD 1945. Padahal rumusan Pancasila sebagai dasar negara sudah final dengan lima sila,” ungkap MUI.

Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI, Ikhsan Abdullah, mengatakan jika menyimak isi pasal-pasal tersebut, ada beberapa kecurigaan di balik kemunculan RUU ini.  “Anggota dewan yang tidak paham, atau ada pihak yang mau menyusupkan ideologi tertentu? atau ingin mencuri dasar negara Pancasila dan menggantikannya dengan tafsir lain,” urainya.

Ikhsan menyatakan, “ MUI tegas menolak RUU HIP ini. Karena Pancasila yang menjadi landasan negara dan tercantum dalam UUD 1945 tidak bisa ditafsirkan oleh peraturan undang-undang organik atau pelaksanaan di bawahnya,”  tegas dia.

“Jangan malah RUU organik ini menafsirkan Pancasila yang artinya mendegradasikan atau merendahkan falsafah negara dan menjadikan Pancasila mati dalam rumusan norma. Ini bahaya,” katanya.

Selain itu, yang menjadi polemik dalam RUU ini adalah tidak dimasukkannya TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI sebagai konsiderans ‘mengingat’.

Konsiderans adalah pertimbangan yang menjadi dasar penetapan keputusan, peraturan, dan sebagainya.

“Dengan tidak dicantumkan TAP MPRS yang di dalamnya ada tentang pembubaran PKI, akan menggores kembali sejarah masa lalu yang ingin diperdebatkan,”  cetus Ikhsan

MUI meminta agar RUU ini harus segera ditarik untuk kemudian diperbaiki naskah akademiknya. Setelah itu, dilakukan diskusi dan dialog secara luas yang melibatkan semua pihak untuk mencari bentuk aturan terbaik.

Muhammadiyah

Selain MUI dan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) dan Front Pembela Islam  juga menolak RUU HIP tersebut.

Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin memberikan tanggapan bahwa RUU HIP dinilai menurunkan derajat Pancasila. “Hal ini berbahaya bagi eksistensi Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila,” ujarnya..

“RUU HIP dinilai menurunkan derajat Pancasila untuk diatur dengan Undang-Undang, memeras Pancasila ke dalam pikiran-pikiran yang menyimpang, dan memonopoli penafsiran Pancasila yang merupakan kesepakatan dan milik bersama,” kata Din dalam keterangan tertulisnya.

Baca lagi  Zulkifli Hasan Ungkap Isu Amandemen 1945 Dibahas dalam Pertemuan di Istana

Din Syamsudin yang  juga menjabat Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk menghentikan pembahasan RUU HIP tersebut. Karena akan memecah belah bangsa.

Apalagi  pembahasan RUU  HIP ini, menurut dia, dilakukan  saat masyarakat menghadapi keprihatinan nasional karena dilanda wabah corona. “Ini sangat tidak bijaksana. Apalagi  dilakukan secara diam-diam dengan menutup aspirasi dari masyarakat madani,” ungkapnya.

Nahdlatul  Ulama (NU)

Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia NU (Lakpesdam NU) meminta DPR tak lagi melanjutkan pembahasan RUU HIP ini.  “Kami menolak dan DPR tak perlu lagi melanjutkan pembahasan RUU HIP, karena tidak memiliki urgensi,” ungkap Ketua Lakpesdam NU, Rumadi Ahmad.

Rumadi khawatir RUU HIP ini dapat memicu trauma konflik ideologi yang pernah terjadi. “Indonesia sudah tidak lagi membutuhkan UU model baru untuk menafsirkan Pancasila, yang justru akan menurunkan nilai Pancasila itu sendiri. Mestinya kita menafsirkan Pancasila  dalam tindakan dan kehidupan sehari-hari,” cetusnya.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, menegaskan bahwa pemerintah akan menolak RUU ini jika Pancasila diperas menjadi Trisila atau Ekasila.

“Pemerintah juga akan mengusulkan pencantuman TAP MPRS dalam konsiderans,” kata Mahfud.

Mahfud mengaku pemerintah belum terlibat pembahasan dalam RUU HIP untuk kemudian dipelajari secara seksama. “Presiden belum mengirimkan Supres [Surat Presiden] untuk membahasnya dalam proses legislasi,” ujarnya.

Mengenai komunisme, Mahfud menegaskan pelarangan komunis di Indonesia bersifat final dan tidak ada ruang hukum untuk merubah atau mencabut TAP MPRS XXV Tahun 1966 tersebut.

Partai menolak

Sejumlah partai yang menjadi koalisi dan oposisi pemerintah, seperti PPP, PKS, PAN dan NasDem secara bersama meminta agar TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dimasukkan sebagai konsiderans (‘mengingat’).

NasDem yang berkoalisi dengan pemerintah, kata Wakil Ketua Fraksi Nasdem di DPR Willy Aditya, menolak melanjutkan pembahasan RUU HIP,  jika TAP MPRS tidak dimasukkan dan proses pembahasan dilakukan ekslusif.

“Kami juga meminta prosesnya lebih inklusif dan melibatkan banyak pihak, dan bukan pemaksaan kehendak seperti yang terjadi sekarang yang tidak mencerminkan bagaimana lahirnya Pancasila sebagai ideologi bangsa,” katanya.

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR yang menjadi oposisi pemerintah menolak RUU HIP. “Jangan abaikan bahaya laten komunisme. TAP MPRS XXV/1966 secara resmi masih berlaku karena bahayanya mengancam bangsa Indonesia sampai dengan saat ini,” kata Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini dalam keterangan tertulis.

“TAP MPRS tersebut dalam hierarki perundang-undangan berada di atas UU dan di bawah UUD, jadi sudah semestinya menjadi rujukan,” lanjut Fraksi PKS itu.

Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Cecep Hidayat, menyebutkan ada beberapa faktor RUU HIP yang merupakan inisiatif dari Fraksi PDIP ini dapat dengan cepat disetujui.

“Pertama, mayoritas fraksi itu koalisi pemerintah. Jadi lebih lancar dan cepat menggolkan RUU HIP yang diiniasi PDIP ini,” kata Cecep.

Kedua, RUU ini, menurut Cecep bertujuan untuk memperkuat kedudukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang ketua dewan pengarahnya adalah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

Fraksi PDIP,  Aria Bima akan memutuskan untuk menarik pasal-pasal yang dianggap kontroversial.

RAFIKI ANUGERAHA M  I  ARIEF RAHMAN MEDIA

Related posts

Cuti Bersama Natal 2021 dan Tahun Baru 2022 Dihapus

adminJ9

Rishi Sunak, PM Inggris Termuda, Keturunan India yang Nikah dengan Anak Konglomerat

adminJ9

Long Term Visa dengan Waktu 5 Tahun untuk Wisman Segera Diimplementasikan

adminJ9