Jurnal9.com
Headline Inspiration

Oh! Dalam Sejarahnya: Pulau Madura itu Dulu Pernah Menjadi Negara

Tentara Belanda melakukan penggeledahan pada rakyat saat menjelang kemerdekaan RI 

PAMEKASAN, jurnal9.com – Oh! Pulau Madura itu pada kemerdekaan RI dulu pernah menjadi sebuah negara.  Generasi ‘kacong’ dan ‘jebing’ yang lahir setelah kemerdekaan, mungkin masih banyak yang belum tahu kalau Madura itu dulu adalah negara.

Sejarah Madura pernah menjadi sebuah negara memang terbilang sangat singkat. Awalnya pada 20 Februari 1948, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Hubertus Johannes Van Mook menyebutkan negara Madura menyelenggarakan pemilihan umum (Pemilu).

Seperti dikutip dari buku ‘Pamekasan dalam Sejarah’ yang ditulis Kutwa Fath dkk, sebelum pemilihan umum dilaksanakan, 14 Januari 1948, pemerintah pendudukan Belanda di Madura mengadakan pertemuan dengan tokoh seluruh Madura.

Dalam pertemuan atas desakan Belanda itu dibentuk anggota pelaksana Pemilu. Dan dibahas pula mengenai status Madura setelah persetujuan Linggarjati pada 25 Maret 1947. Akhirnya dari pertemuan itu Belanda memutuskan bahwa secara de facto wilayah Madura masuk negara Republik Indonesia bersama Pulau Jawa dan Sumatra.

Meski Belanda telah mengakui Pulau Madura adalah bagian dari wilayah RI. Namun Pemilu untuk menentukan nasib Pulau Madura itu tetap dilaksanakan. Pemilu digelar pada 23 Januari 1948. Namun Pemilu penentuan nasib Pulau Madura itu kabarnya penuh tekanan dari Belanda.

Dalam Pemilu itu ada 305.546 orang yang berhak ikut serta dalam pemilihan tersebut. Namun yang memberikan hak pilih hanya 219.660 orang. Dari jumlah tersebut, 199.510 orang setuju dengan negara Madura. Dan 9.923 orang tidak setuju dengan negara Madura.

Sedangkan yang tidak memberikan hak suara 10.230 orang. Berdasarkan hasil Pemilu tersebut, R. A. A Cakraningrat ditunjuk sebagai Wali Negara.

Menurut Kutwa Fath, Pemilu penentuan nasib Madura dibayang-bayangi dengan ancaman dari pihak Belanda. Bahkan banyak warga; para kacong yang ditahan dan kaum perempuan; para jebing tidak memiliki hak suara.

Setelah negara Madura itu terbentuk, menuai penolakan dari tokoh-tokoh pro-republik. Sebab jauh sebelum Pemilu dilaksanakan, kaum pro-republik sudah merencanakan pemberontakan terhadap Belanda.

Dari kalangan rakyat yang menentang Belanda itu telah membentuk pemerintahan bayangan Madura. Pembentukan pemerintahan bayangan Madura ini mendapat restu dari Negara Kesatuan RI di Yogyakarta.

Ketua pemerintahan bayangan Madura langsung dipimpin R. P. Mohammad Noer, sedangkan KH. Amin Jakfar ditunjuk sebagai koordinator kelaskaran, dan Mayor Abu Djamal ditunjuk sebagai komandan tentara.

Pasukan dari pemerintahan bayangan Madura ini bergerak dan membangun konsolidasi di luar Pulau Madura. Di antaranya di Blitar, Lamongan, Jombang dan Kediri.

Pemerintahan bayangan tersebut, menurut sejarawan Madura, Mohammad Ghazi, bergerak menjaga kepercayaan rakyat Madura untuk lepas dari penjajahan Belanda. Sekaligus untuk membuktikan bahwa pemimpin rakyat Madura masih ada dan tidak sepenuhnya tunduk kepada Belanda.

“Ada tokoh-tokoh yang disusupkan ke dalam parlemen negara Madura. Ada yang membangun organisasi tanpa sepengetahuan pemerintahan Belanda,” kata Mohammad Ghazi dalam perbincangan kepada media, akhir pekan lalu.

Ternyata sejumlah tokoh yang disusupkan Belanda ke dalam parlemen itu, menurut  Ghazi, ada banyak dari kalangan ulama. Belanda mengetahui betul jika masyarakat Madua itu sangat menghormati ulama. Sehingga peran ulama yang disusupkan itu mampu mempengaruhi masyarakat Madura untuk mengakui negara Madura sebaiknya kembali ke pangkuan NKRI.

Bekas barisan Sabilillah membentuk organisasi bernama Persatuan Alim Ulama Madura (PAUM) yang dipimpin KH. Abdul Hamid dan KH. Moh. Thoha Jamaluddin. Bekas barisan Hizbullah membentuk Gerakan Rahasia Tentara Hizbullah (Grathiz) yang dipimpin R. H. Eksan dan H. Muhammad Syafii Munir.

Baca lagi  Beredar Skema Bisnis Judi Online 303 Di Bawah Komando Sambo, Benarkah Libatkan Pejabat Polri?

“Dua organisasi itu yang membangun konsolidasi antara pejuang di Madura dan di luar Madura. Sehingga organisasi gerakan bawah tanah itu telah membuat kekacauan pada pemerintahan negara Madura,” tutur Ghazi.

Namun gerakan bawah tanah itu akhirnya terbongkar yang informasinya dibocorkan oleh orang Madura yang bekerja kepada Belanda. Sejak itu barisan sabilillah itu ada yang ditangkap dan dipenjara. Bahkan ada di antara mereka yang dikirim ke penjara Kalisosok Surabaya.

Pada Juli 1948, Dewan Rakyat Madura dilantik. Mereka harus bekerja sama dengan pemerintahan Recomba. Di lain pihak, Dewan Rakyat Madura terus didesak oleh rakyat agar Madura kembali lagi bergabung dengan NKRI.

Pada saat Agresi militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948, banyak pejuang dari barisan Hizbullah dan Sabilillah Madura yang ikut berperang ke wilayah Malang, Blitar, Mojokerto, Jombang, Madiun, Gresik, Lamongan dan Bojonegoro.

Ketika mereka hendak kembali ke Madura, banyak yang ditangkap Belanda, dan banyak yang berhasil lolos balik ke Madura. “Mereka yang lolos balik ke Madura mengadakan pawai besar-besaran sebagai protes atas agresi militer Belanda II,” ungkap Ghazi.

Bergabung dengan NKRI

Sesuai perkembangan politik pada waktu itu, Belanda mengadakan perundingan meja bundar di Deen Haag, 23 Agustus – 2 November 1949. Dari hasil perundingan itu disepakati bahwa Pulau Madura harus bergabung ke pangkuan NKRI.

Pada 19 Desember 1949, pemerintah negara Madura mengeluarkan pengumuman Nomor 7 tahun 1949 yang berbunyi :

1) Pemerintah Daerah sama sekali tidak berhak untuk mengubah status lain dari daerahnya,

2) Penentuan status Madura kelak di kemudian hari sepenuhnya akan tunduk kepada kehendak rakyat asal dinyatakan terang-terangan dan bebas menuntut peraturan yang sah.

Setelah Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia sebagai negara yang merdeka, dan berdaulat selambat-lambatnya 30 Desember 1949, maka pada 10 Januari 1950 Dewan Rakyat Madura menyatakan bahwa negara Madura harus menjadi negara kesatuan RI.

Dewan Rakyat Madura kemudian membentuk panitia pembubaran negara Madura, dan menuntut pemerintah RIS untuk memenuhi tuntutan rakyat. Tuntutan rakyat Madura itu mendapat hambatan dari pemerintah RIS. Kemudian pada 15 Februari 1950 terjadi demonstrasi besar-besaran. Mereka menyerbu kantor Dewan Rakyat Madura.

Seketika itu pula, Dewan Rakyat Madura menyatakan membubarkan diri. Demonstrasi juga dilakukan di rumah wali negara Madura dengan tuntutan pembubaran negara Madura.

Tuntutan pembubaran negara Madura semakin membesar. Sehingga pada 23 Februari 1950 Bupati di Pamekasan R. T. A Notohadikoesomo yang diangkat oleh rakyat melaporkan perkembangan situasi Madura ke pemerintah RI di Yogyakarta. Sejak itu negara Madura telah bergabung dengan NKRI.

Akhirnya, pembubaran negara Madura dikabulkan yang diperkuat dengan surat keputusan Presiden RI tanggal 9 1950. Sebelum keputusan Presiden diterbitkan, Gubernur Jawa Timur telah mengangkat R. Soenarto Hadiwidjojo sebagai residen Madura melalui surat keputusan tanggal 7 Maret 1950 nomor: 24/A/1950. Dengan demikian, Madura resmi bubar dan bergabung kembali ke pangkuan NKRI.

Sumber: Buku ‘Pamekasan dalam Sejarah’ ditulis Kutwa Fath dkk.

ARIEF RAHMAN MEDIA

Related posts

Abdul Qadir Baraja Ingin Mengganti Pancasila? Kok Baru Ditangkap

adminJ9

UU Ciptaker Inkonstitusional karena Tak Sesuai UUD 1945, Apa Saja yang Kontroversial?

adminJ9

Badan Lemas Sering Lelah, Haus Terus: Hati-Hati! Gula Darah Tinggi, Ini Ciri-cirinya

adminJ9