Prabowo Subianto
JAKARTA, jurnal9.com – Wacana Presiden terpilih Prabowo Subianto akan meningkatkan rasio utang sebesar 2 persen dalam setiap tahunnya hingga mendekati 50 persen.
Prabowo mengatakan pemerintahannya akan mengerek rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) karena untuk mendanai program-program yang dijanjikan sesuai kampanyenya pada Pilpres lalu.
Rencana Prabowo itu dikritik oleh Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira. Ia menyebutkan kenaikan rasio utang yang dicanangkan pemerintahan Prabowo itu tentu akan berdampak terhadap rasio pembayaran utang (debt to service ratio) yang meningkat.
“Karena semakin besarnya kebutuhan pemerintah untuk membayar bunga serta pokok utang. Ini diyakini akan membuat rupiah semakin tertekan,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Selasa (18/6/2024).
“Dan kekhawatiran peningkatan utang yang direncanakan pemerintah mendatang itu bisa berdampak terhadap berbagai hal. Di antaranya menimbulkan kekhawatiran para investor akan menarik modalnya di pasar keuangan Indonesia. Dan ini akan membuat rupiah terperosok kian dalam,” lanjut dia.
Bhima mengutip data Bloomberg, kalau kurs rupiah terhadap dollar AS melemah 0,87 persen ke level Rp 16.412 sejak Jumat (14/6/2024). Dan ini menunjukkan posisi rupiah yang terlemah sejak April 2020 lalu.
Salah satu pemicu depresiasi itu, menurut dia, kekhawatiran investor terhadap kondisi fiskal Indonesia pada pemerintahan mendatang.
“Dan kondisi ini menimbulkan kekhawatiran tentang keuangan Indonesia pada pemerintahan Prabowo Subianto yang mendatang,” ia menegaskan.
Kenaikan rasio utang itu, lanjut dia, akan berdampak terhadap rasio utang PDB (Pendapatan Domestik Bruto) dari 39 persen saat ini menjadi 50 persen pada periode pemerintahans berikutnya.
Kritik senada juga disampaikan Alfian Banjaransari, Country Manager Center for Market Education Indonesia (CME-ID). “Dalam beberapa tahun terakhir, defisit anggaran secara signifikan meningkatkan rasio utang terhadap PDB. Dari semula berada di bawah 25 persen pada 2013, dan sekitar 30 persen sebelum pandemi, kemudian melonjak menjadi 39,7 persen pada 2020,” paparnya.
“Kemudian pada 2021 naik menjadi 41,1 persen. Dan rasio utang terhadap PDB saat ini berada di kisaran 39 persen,” ia menambahkan.
Kalau melihat defisit itu, Alfian mengingatkan pemerintahan Prabowo agar lebih berhati-hati dengan rencana wacana untuk meningkatkan rasio utang tersebut.
Pertama, peningkatan utang dapat menyebabkan inflasi yang lebih tinggi dan mengurangi daya beli masyarakat.
“Sekali pun masyarakat mendukung pengeluaran pemerintah yang dibiayai utang, tapi defisit anggaran ini meningkatkan jumlah uang yang beredar di masyarakat,” ujarnya.
“Ketika jumlah uang beredar tumbuh melampaui pertumbuhan PDB, hal ini akan menyebabkan inflasi yang mengakibatkan masyarakat menjadi lebih miskin,” ia menambahkan.
Kedua, terkait dengan reaksi pasar modal. Ketika pemerintah mengeluarkan lebih banyak utang, hal ini bisa meningkatkan permintaan dana pinjaman, dengan demikian akan menaikkan suku bunga.
“Suku bunga yang lebih tinggi menyebabkan lebih banyak dana yang disediakan, tapi mengurangi jumlah yang terserap oleh sektor swasta. Akibatnya investasi yang terjadi bisa berkurang,” ungkap Alfian.
Berkurangnya investasi dan peningkatan konsumsi, kata dia, mengarah pada suku bunga yang tinggi mengurangi profitabilitas investasi jangka panjang.
“Ketika lebih banyak output ekonomi yang dikonsumsi sekarang, dan lebih sedikit yang diinvestasikan, maka ekonomi akan tumbuh lebih lambat, mengurangi output masa depan. Sehingga ini akan menggeser beban utang ke generasi mendatang,” ia menjelaskan.
Sementara itu perusahaan jasa keuangan AS, Morgan Stanley menyoroti arah kebijakan fiskal yang terefleksikan dari APBN pada pemerintahan Prabowo mendatang.
Perusahaan jasa keuangan AS itu telah menurunkan peringkat saham-saham Indonesia menjadi ‘underweight’ untuk pasar Asia dan emerging markets.
Salah satu pemicu diturunkannya peringkat saham-saham Indonesia itu karena kekhawatiran terhadap arah kebijakan fiskal pada era pemerintahan Prabowo.
“Kami melihat ketidakpastian jangka pendek terkait arah kebijakan fiskal ke depan,” tulis Morgan Stanley.
Selain itu Morgan Stanley juga menyoroti potensi beban APBN pemerintahan Prabowo yang semakin besar, seiring dengan adanya program makan siang gratis. Wow.. anggarannya mencapai Rp 71 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan Kemenkeu terus berkomunikasi dengan Presiden terpilih Prabowo Subianto. “Program makan siang gratis yang digagas Bapak Prabowo bakal direalisasikan secara bertahap mulai tahun 2025. Anggaran sudah disetujui sebesar Rp 71 triliun,” ujarnya dalam keterangan pers di Jakarta, Senin (24/6/2024).
“Dan kami terus berkomunikasi dengan Presiden terpilih untuk memberikan clarity (kejelasan) mengenai bagaimana makanan bergizi gratis akan fit sesuai dengan RAPBN 2025,” lanjutnya lagi.
ARIEF RAHMAN MEDIA