Pasangan Kaesang Pangarep dan kekasihnya Felicia Tissue yang viral di media sosial karena si anak Presiden Jokowi yang janji mau menikahinya, tiba-tiba Kaesang menghilang tanpa pesan.
Kolom Dhimam Abror:
Dua anak milenial ini beda umur, tapi mewakili generasi milenial yang sering disebut sebagai Gen X, Gen Y, atau Gen Z. Anak-anak muda ini akan menjadi pengendali ketika Indonesia memperingati kemerdekaan emas ke-100 pada 2045 nanti.
Kaesang Pangarep anak bungsu Presiden Joko Widodo, Nadiem Anwar Makarim menteri pendidikan dan kebudayaan, dua-duanya tak dimungkiri adalah bibit-bibit unggul yang akan menjadi generasi andalan bangsa Indonesia dalam percaturan dunia global yang makin rumit dan menantang.
Kaesang, kelihatannya akan beda dari kakak-kakaknya yang sudah dipersiapkan oleh Jokowi masuk ke jalur politik. Kaesang terlihat dipersiapkan untuk masuk ke dunia bisnis. Dalam usia yang masih likuran Kaesang sudah menjadi pengusaha milenial yang bersemangat. Berbagai jenis usaha bisnis ia masuki, mulai dari kuliner sampai pakaian. Bahkan belakangan ia masuk ke industri olahraga dan dikabarkan mengakuisisi saham klub sepakbola Bali United. Nama besar trah Jokowi membuat Kaesang berkibar cepat.
Beberapa hari belakangan ini Kaesang viral di medsos dan media online. Bukan kiprah bisnisnya yang disorot, tapi soal putus cintanya dengan seorang cewek Singapura. Kabarnya Kaesang sudah pacaran lima tahun dan sudah janji mau menikahi sang pacar tahun ini. Tapi ketika janji itu mau jatuh tempo, Kaesang menghilang tanpa pesan.
Berita gosip ala selebritas semacam ini biasa-biasa saja. Tapi karena melibatkan the first family, anak presiden, beritanya jadi besar dan menjalar keman-mana. Keluarga sang pacar mengunggah kasus itu ke media sosial dan menyebut-nyebut nama Presiden Jokowi.
Kaesang dituduh melakukan ghosting, menjadi hantu, ada tapi tidak kelihatan. Ada tapi menghilang dan tidak bisa dihubungi. Kaesang dicurigai telah selingkuh dan punya pacar baru. Ini cara standar yang dilakukan oleh anak-anak milenial yang mau putus pacaran, menghilang, ganti nomor telefon, reject panggilan, unfollow akun, putus.
Tapi karena yang melakukannya Kaesang anak presiden maka tuduhannya melebar kemana-mana mulai soal etika sampai moral. Bagi banyak anak milineal Kaesang adalah idola dan impian, muda, ganteng, kaya, terkenal, dan berkuasa. Tidak ada lagi mimpi yang lebih ideal yang bisa dibayangkan anak-anak milenial lebih dari itu.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim
Nadiem Makarim, meroket namanya dari bos Gojek menjadi menteri pendidikan. Ia representasi generasi masa kini yang menguasai teknologi informasi dan menjadi kaya raya karenanya. Garis tangannya mulus di dunia bisnis dan akhirnya juga mulus membawanya ke dunia politik. Ia dipercaya oleh Presiden Jokowi untuk mendesain masa depan anak-anak muda Indonesia melalui pendidikan. Suatu tugas yang tidak main-main karena pertaruhannya yang amat besar. Kalau salah desain maka masa depan akan ambyar. Tugas ini di masa lalu diserahkan kepada profesor doktor berkepala botak, sekarang diserahkan kepada Mas Nadiem yang muda dan segar.
Dua hari setelah Indonesia merdeka, Presiden Sukarno menunjuk Ki Hadjar Dewantara menjadi menteri pendidikan untuk mendesain masa depan bangsa yang baru merdeka. Ki Hadjar seorang pendidik yang menguasai filsafat pendidikan sampai ngelontok. Ia melahirkan filosofi pendidikan yang sampai sekarang menjadi motto pendidikan nasional, “ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”, yang di depan memberi teladan, yang di tengah memberi bimbingan dan motivasi, yang di belakang memberi dorongan dan motivasi. Pendidikan Indonesia adalah pendidikan komprehensif yang melibatkan semua komponen bangsa, mulai yang di depan, yang di tengah, dan di belakang.
Nadiem tentu memahami motto itu dan menerapkannya sesuai dengan persepsinya sebagan anak zaman. Sebagai anak muda ia punya pandangan dan interpretasi tersendiri terhadap motto itu. Sebagai anak muda yang pernah mengenyam pendidikan universitas top dunia seperti London School of Economics dan Harvard University Nadiem terpengaruh oleh ide-ide pendidikan liberal Eropa dan Amerika. Dalam perspektif liberal pendidikan bertujuan untuk meliberalisasi manusia, membebaskan manusia, dengan memberinya bekal ilmu pengetahuan rasional untuk memberinya kebebasan berpikir.
Pendidikan liberal barat memisahkan agama dari sekolah karena agama dianggap berseberangan dengan akal sebagai sumber ilmu pengetahuan. Di zaman jahiliah Eropa agama menjadi sumber kejumudan dan keterbelakangan yang dipenuhi dengan kepercayaan klenik dan takhayul.
Lalu pada abad ke-17 muncullah para pemikir yang mengadopsi pemikiran Yunani dan melahirkan gerakan kelahiran kembali yang terkenal sebagai Rennasisance, Aufklarung. Gerakan itu menjadi tonggak revolusi karena manusia Eropa bergerak meninggalkan takhayul menuju ilmu pengetahuan berdasarkan akal. Gerakan Renaisans secara langsung memperhadapkan agama dengan akal. Agama dianggap sebagai sumber kebodohan dan karenanya harus disingkirkan untuk memberi tempat kepada akal dan ilmu pengetahuan.
Liberalisasi akal manusia, pembebasan akal manusia dari belenggu agama menjadi tujuan utama Renaisans. Lalu Immanuel Kant memperkenalkan motto yang masyhur “Sapere Aude” yang artinya beranilah berpikir menggunakan akal.
Dengan semboyan itu manusia diberi kebebasan sepenuhnya untuk mempergunakan akalnya secara rasional. Hal-hal yang bisa dicerna akal disebut sebagai rasional, dan yang tidak bisa dicerna akal adalah tidak rasional dan harus ditinggalkan. Dari gerakan Renaisans muncullah filsafat positivisme yang diperkenalkan oleh August Comte yang menegaskan peran akal di atas segala-galanya termasuk agama.
Positivisme menjadi landasan ilmu pengetahuan dan sains Eropa yang membawa Eropa kepada kemajuan peradaban melalui Revolusi Industri dan Revolusi Prancis pada abad ke-18. Dua revolusi itu menjadi tonggak peradaban paling penting dalam sejarah Eropa yang melahirkan liberalisasi politik dalam bentuk demokrasi dan liberalisasi ilmu pengetahuan yang melahirkan industri yang menjadi tulang punggung kapitalisme modern.
Sejak itu Eropa dan Amerika menjadi pendekar dunia yang tidak ada tanding sampai sekarang. Jalan liberalisasi Eropa yang memisahkan agama dari akal dianggap sebagai model yang bisa dijiplak mentah-mentahan di seluruh dunia.
Ide-ide liberal seperti itulah yang masuk ke negara-negara berkembang seperti Indonesia sekarang ini. Jalan pencerahan Eropa melalui renaisans ingin dikopi dan diterapkan di Indonesia. Kalau Eropa maju karena memisahkan agama dari ilmu pengetahuan, maka hal yang sama bisa diterapkan di Indonesia. Begitu logika para penganut paham liberal di Indonesia.
Jalan liberal itu yang sekarang mau diterapkan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Beberapa kali ada usaha untuk menghapuskan pendidikan agama dari kurikulum nasional. Yang paling baru adalah kasus SKB Tiga Menteri yang melarang pewajiban hijab di sekolah. Dan yang lebih baru lagi adalah tidak adanya frasa agama pada Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2035 yang disusun Menteri Nadiem.
Visi 2035 itu menyebutkan tujuan pendidikan Indonesia ‘’Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila’’.
Absennya frasa ”agama” pada mission statement pendidikan Indonesia itu memantik protes keras dari kalangan agama khususnya Islam. Visi itu dicurigai sebagai upaya menghilangkan pendidikan agama dari sekolah sebagai bagian dari liberalisasi pendidikan nasional.
Meniru kemajuan Eropa dan Amerika tidak ada salahnya. Tapi tidak harus menjiplaknya mentah-mentah. Sejarah masa silam Eropa beda dengan Indonesia. Para Bapak Bangsa kita sudah sepakat menjadikan agama sebagai sumber inspirasi tertinggi dan meletakkannya dalam posisi nomor satu dalam sila Pancasila. Indonesia tidak menjadi negara agama, tetapi Indonesia bukan negara sekuler yang memisahkan agama dari negara seperti yang ditempuh oleh Eropa.
Agama menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya bangsa Indonesia, agama telah membuktikan sumbangsihnya yang sangat besar dalam sejarah perjuangan bangsa dan karena itu harus tetap mendapatkan porsi yang besar dalam praktik bernegara.
Anak-anak muda seperti Kaesang dan Nadiem akan menjadi wajah Indonesia masa depan dalam persaingan peradaban global. Anak-anak muda ini jangan cuma copy paste gaya Barat, mereka harus punya gaya khas anak muda Indonesia yang bisa menjadi senjata ampuh untuk memenangkan persaingan. Kaesang dan Nadiem bisa mendapatkannya dari agama dan Pancasila. Makanya harus belajar dulu. (*)
Kolom Dhimam Abror; Kaesang dan Nadiem Perlu Agama