Venna Melinda
SURABAYA, jurnal9.com – Venna Melinda mengaku trauma dan dihantui rasa takut jika mengingat kejadian kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan suaminya, Ferry Irawan pada 8 Januari 2023 lalu.
Sampai sekarang kejadian KDRT itu terus membekas dalam ingatannya setiap melihat kasur di kamar tidur.
“Setiap kali mau tidur, saya jadi takut. Padahal pintu sudah dikunci. Tapi saya sering cek lagi, cek lagi pintu. Dan nggak bisa tidur,” kata Venna.
Venna tidak bisa lupa detik-detik peristiwa kekerasan itu. Bagaimana suaminya yang begitu kasarnya menganiaya dirinya. Membenturkan dahinya ke wajah Venna dengan sangat kuat. Sampai dari hidungnya mengeluarkan darah.
Saat kejadian itu, Venna berpikir dirinya bisa mati jika tidak buru-buru lari keluar kamar. Karena perlakuan kasar suaminya itu. Matanya melotot memandangi aku seperti kesetanan. Sangat menakutkan.
“Saat itu, dia dorong aku ke sudut tembok. Di situ aku berpikir; ini aku bisa mati. Kalau nggak buru-buru kabur. Aku berupaya melepaskan diri saat aku dipiting kuat-kuat. Matanya Ferry memelototi aku. Dan aku bilang, ‘Bi jangan bunuh aku. Ingat kamu punya ibu, kamu punya adik perempuan,” kata Venna mengingat kejadian itu.
“Ingat kejadian itu. Aku jadi trauma. Kini aku sadar; aku sudah tak mau lagi hidup bersama Ferry. Aku sudah mantap untuk menggugat cerai Ferry. Apalagi dia sudah melalaikan kewajibannya sebagai suami yang tak memberikan nafkah selama 5 bulan,” ujarnya lagi.
Hal itu juga diperkuat pernyataan anak Venna, Verrel “Besok kayaknya proses hukum udah berjalan ya, terus mama besok ngurusin proses perceraian,” kata Verrell kepada wartawan Senin (16/1/2023).
Kuasa hukum Venna, Hotman Paris pun menyatakan klienny sudah mantap untuk bercerai. Dan Venna tidak mau mencabut laporan kasus KDRT ini.
“Venna meminta saya untuk mempersiapkan gugatan cerai. Saya sudah meminta dokumen terkait perkawinannya buat bukti di pengadilan nanti,” tegas Hotman Paris.
Bagaimana KDRT dalam pandangan Islam?
Seperti dikutip dari pendapat KH Munawir, Ketua Lembaga Bahtsul Masail PWNU Lampung, menyebutkan tindakan KDRT yang dilakukan suami terhadap istri hukumnya haram.
“Perilaku suami yang melakukan KDRT pada istrinya bisa menjadi dasar atau alasan istri untuk menggugat cerai suaminya. Bahkan pengadilan bisa menjatuhkan cerai tanpa harus ada gugatan dari istrinya,” jelas KH Munawir.
“Tindakan KDRT yang dilakukan suami terhadap istrinya dalam Islam disebut nusyuz (durhaka). Nusyuz itu salah satu perbuatan yang dilarang dalam Islam (haram),” paparnya lagi.
KH Munawir menjelaskan jika suami berperangai buruk terhadap istri, seperti menyakiti istri, dan memukulnya tanpa sebab, maka pemerintah wajib menghentikan tindakan aniaya suami tersebut.
“Kalau suami mengulangi perbuatan aniaya berulang-ulang, pemerintah wajib menjatuhkan sanksi kapada suaminya,” kata kiai ini mengutip dari kitab Tatimmah.
Konsekuensi dari nusyuz, kata KH Munawir, istri diperbolehkan khulu’ (gugat cerai suami) terhadap suaminya. Bahkan kalau KDRT tersebut bisa membahayakan si istri, maka pengadilan pun bisa menjatuhkan talak tanpa harus adanya khulu’ (gugatan cerai) dari istri.
“Disebutkan dalam Al-Mausuah Al-Fiqhiyah bahwa disebabkan perilaku suami yang membahayakan istri, misalnya suami melakukan kekerasan (KDRT) pada istri, maka hakim dapat menceraikan keduanya,” tegasnya
Hukumnya suami tak memberi nafkah
Menurut Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm menyebutkan Al-Quran maupun As-Sunah telah menyatakan bahwa tanggung jawab suami wajib mencukupi kebutuhan istrinya.
Termasuk memberikan nafkah. Konsekuensinya kalau suami tidak hanya diperbolehkan menikmati [hubungan badan] dengan istrinya. Tapi juga tak boleh melalaikan apa yang menjadi haknya.
Karena itu jika suami tidak memberikan [nafkah dan kebutuhan lain] apa yang menjadi hak istrinya, maka istri boleh memilih dua opsi; mau tetap melanjutkan rumah tangganya atau berpisah dengan suami.
Imam Syafi’i menyebutkan dalam Al-Qur`an maupun As-Sunah bahwa kewajiban suami terhadap istri harus mencukupi kebutuhannya.
Konsekuensinya suami tidak boleh hanya sekedar berhubungan badan dengan istrinya, tetapi tidak memberikan haknya kepada istri, maka diperbolehkan si istri menggugat cerai.
“Karena tidak memenuhi hak istri, maka isteri boleh memilih mau tetap Bersama suaminya atau pisah dengannya,” (Lihat Imam Muhammad Idris Asy-Syafi’i, Al-Umm, Beirut, Darul Ma’rifah, 1393 H, juz VII, halaman 121).
Jika terjadi perceraian, lalu bagaimana dengan nafkah yang belum diberikan? Dalam konteks ini suami tetap berkewajiban harus memberikan nafkah yang belum diberikan saat menjadi istrinya.
Pendapat ini mengacu pada riwayat yang menyatakan bahwa Sayyidina Umar bin Khaththab RA yang pernah mengirimkan surat kepada para panglima perang agar mengultimatum para suami yang jauh dari istrinya dengan dua opsi; segera mengirimkan nafkah atau menceraikan istrinya. Jika pilihannya menceraikan istri, maka suaminya masih harus berhutang nafkah yang belum diberikan.
Atas dasar ini, maka istri boleh mengajukan gugatan cerai kepada suaminya dengan alasan suami tidak pernah memberikan nafkah. Dan nafkah yang belum diberikan selama belum bercerai, suaminya tetap berkewajiban untuk memberikannya meski sudah cerai. Karena ini masih merupakan hak istri.
Jadi nafkah yang belum diberikan suami dianggap utang meski kemudian istrinya menggugat cerai suaminya. Bahkan Imam Syafi’I menyebutkan dalam Islam memberikan ketentuan besaran nafkah setiap hari untuk istri.
Sementara menurut Madzhab Hanafi, nafkah yang belum sempat diberikan tidak tergolong utang suami kepada istri; dengan argumen tidak ada ketentuan untuk besaran nafkah setiap harinya.
ARIEF RAHMAN MEDIA