Petugas saat akan menguburkan jenazah covid di pemakaman Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara
Waduh! kacau, pelaporan kasus kematian akibat covid-19 yang tinggi selama beberapa hari ini, tidak bersifat real time. Tapi merupakan akumulasi dari bulan-bulan sebelumnya. Padahal Pemerintah melaporkan sebagai kasus kematian harian.
JAKARTA, jurnal9.com – Pernyataan Luhut Binsar Pandjaitan yang menyampaikan bahwa pemerintah akan mengeluarkan indikator kematian dari penilaian PPKM atas kasus covid setiap daerah, mengundang banyak kontroversi dari para ahli epidemiolog dan DPR. Karena dianggap akan mengacaukan kondisi dan kasus angka kematian yang sesungguhnya.
Alasan pemerintah, kata Luhut, karena adanya ketidakakuratan data kematian yang dilaporkan dari setiap daerah. berdasarkan evaluasi PPKM dari waktu-waktu sebelumnya.
Indikator kematian dalam penilaian PPKM level yang dikeluarkan pemerintah selama ini, tegas Luhut, ditemukan adanya input data yang tidak update, sehingga menimbulkan distorsi dalam penilaian.
“Karena kami temukan adanya input data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang (bukan data kematian harian), sehingga menimbulkan distorsi dalam penilaian,” ungkapnya.
Upaya solusi, lanjut Luhut, pemerintah tengah bekerja keras untuk melakukan harmonisasi data dan perbaikan Sistem Informasi Pelacakan atau Silacak.
Pernyataan Luhut itu mendapat kritik dari para ahli epidemiologi dan DPR. “Jika terjadi ketidakakuratan data kematian, semestinya tidak mengabaikan indikator kematian dari penilaian PPKM atas kasus covid setiap daerah, tetapi harus diperbaiki pelaporan input datanya,” kata pendapat mereka.
Epidemiolog Griffith University Dicky Budiman menilai mengabaikan indikator kematian dampaknya akan sangat serius. Masyarakat dan pemerintah akan menjadi buta situasi. “Indikator kematian itu harus ada datanya untuk memantau kondisi pandemi.”
“Kematian adalah indikator valid untuk melihat derajat keparahan situasi wabah. Kalau banyak berarti parah banget. Di awal untuk menilai ya pakai positivity rate, kalau akhir pakai kematian. Ini wajib ada, kalau tidak ada ya kita kehilangan, seperti mobil kehilangan kaca spion. Saya nggak bisa melihat ke belakang, dan itu bahaya banget,” kata Dicky.
Telat update data
Kementerian Kesehatan mencatat angka kematian akibat covid-19 selama tiga minggu terakhir ini memang cenderung tinggi. Terutama dari Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Sementara itu Tenaga Ahli Kemenkes Panji Fortuna Hadisoemarto menjelaskan berdasarkan analisis dari data National All Record (NAR) Kementerian Kesehatan, ditemukan pelaporan kasus kematian yang dilakukan Satgas Penanganan Covid-19 di daerah tidak bersifat real time. Tetapi merupakan akumulasi dari bulan-bulan sebelumnya.
“Kota Bekasi, contohnya, laporan kemarin [10/8/2021] dari 397 angka kematian yang dilaporkan, 94 persen di antaranya bukan merupakan angka kematian harian (pada hari tersebut), melainkan rapelan angka kematian dari bulan Juli sebanyak 57 persen dan bulan Juni dan sebelumnya sebanyak 37 persen. Lalu 6 persen sisanya merupakan rekapitulasi kematian di minggu pertama bulan Agustus,” kata Panji dalam keterangan resmi, Rabu (11/8/2021).
Hal ini juga terjadi dalam data kasus kematian nasional pada hari yang sama, yaitu dari 2.048 kematian yang dilaporkan, sebagian besar di antaranya merupakan kasus pada pekan sebelumnya.
“Bahkan sebanyak 10,7 persen dari total kasus tersebut berasal dari kasus pasien positif yang sudah tercatat di NAR lebih dari 21 hari, tapi baru terkonfirmasi dan dilaporkan bahwa pasien telah meninggal,” lanjut Panji.
“Contoh lain, Kalimantan Tengah dimana 61 persen dari 70 angka kematian yang dilaporkan kemarin itu adalah kasus aktif yang sudah lebih dari 21 hari, namun baru diperbaharui statusnya,” tegasnya lagi.
Terkait hal itu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Widyawati menyebutkan keterlambatan pelaporan dari daerah itu terjadi karena keterbatasan tenaga kesehatan dalam melakukan input data, akibat tingginya kasus kematian di daerah beberapa yang minggu lalu.
“Petugas di daerah belum sempat memasukkan atau memperbarui data ke sistem NAR Kemenkes. Sehingga lonjakan-lonjakan anomali angka kematian seperti ini akan tetap kita lihat setidaknya selama dua minggu ke depan,” kata Widyawati.
Panji sendiri juga mengakui bahwa lebih dari 50.000 kasus aktif yang ada saat ini adalah kasus yang sudah lebih dari 21 hari tercatat, namun belum dilakukan pembaharuan data.
Juru bicara Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi mengatakan pemerintah sedang memperbaiki input data kematian akibat covid-19. “Sedang dilakukan clean up data, diturunkan tim khusus untuk ini. Nanti akan di-include indikator kematian ini jika data sudah rapi,” kata Jodi dilansir Tempo, Rabu (11/8/2021).
RAFIKA ANUGERAHA M I ARIEF RAHMAN MEDIA