Ir. Muti Arintawati, M.Si, Direktur Audit Halal LPPOM MUI
JAKARTA, jurnal9.com – Vaksin corona yang dipesan dari China akan tersedia di Indonesia mulai November 2020 ini. Kemenkomarives dalam siaran persnya menyebutkan produsen vaksin asal negeri tirai bambu itu menyanggupi 100.000 dosis vaksin (single dose) dalam tahap pertama.
Sementara dari Produsen G42/Sinopharm juga memasok 15 juta dosis vaksin (dual dose). Dari jumlah itu sekitar 5 juta dosis mulai didatangkan pada November 2020 ini. Sedangkan Sinovac ada 3 juta dosis vaksin hingga akhir Desember 2020. Selanjutnya pada 2021 akan dipasok sebanyak 15-20 juta dosis vaksin.
Menko Perekonomian yang juga Ketua Komite Penanganan Covid 19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN) Airlangga Hartarto mengatakan, total ada 160 juta orang yang akan menerima vaksin corona. “Jadi total sekitar kurang lebih 160 juta orang,” ujar Airlangga.
Upaya pemerintah mempercepat penyediaan vaksin corona di Indonesia. Namun banyak dari umat Islam yang menanyakan hukum kehalalan dari vaksin tersebut. “Pemerintah mau mendatangkan vaksin pada November 2020 ini. Lalu bagaimana vaksin ini sudah diteliti kehalalannya? Karena orang-orang di Indonesia yang bakal menerima vaksin kebanyakan beragama Islam,” tutur seorang tokoh agama di Surabaya.
Wakil Sekjen MUI Najamudin Ramli menjelaskan saat ini vaksin corona masih dalam proses diteliti kehalalannya. “Vaksin baru pekan ini sampelnya diserahkan ke LPPOM MUI, jadi baru dalam proses pemeriksaan di Laboratorium LPPOM MUI di Bogor,” ujarnya.
Dia belum dapat memberikan penjelasan mengenai hukum kehalalan vaksin tersebut. “Belum tahu apakah halal atau haram, kita tunggu saja hasilnya,” ungkapnya.
LPPOM MUI sendiri saat ini masih mendaftar data vaksin corona yang dibuat di China itu. Berikutnya baru dilakukan proses audit atau uji laboratorium sampai terpenuhi semua unsur yang dibutuhkan.
“Setelah semua terpenuhi, LPPOM melaporkan ke Komisi Fatwa untuk diputuskan status kehalalannya,” tutur Ir. Muti Arintawati, M.Si, Direktur Audit Halal LPPOM MUI.
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengetahui hasilnya, Muti Arintawati tidak bisa memastikan. “Lamanya proses sangat tergantung temuan hasil audit dan seberapa cepat perusahaan dapat memenuhi kekurangannya,” ujarnya.
Dia menjelaskan kehalalan vaksin itu harus memenuhi ketentuan bahan harus bebas dari barang haram dan najis. Fasilitas yang dipakai untuk memproduksi harus bebas dari bahan haram dan najis, tidak boleh digunakan bersama produk lain yang [kemungkinan] mengandung babi karena dibuat di China. “Kehalalannya harus dijaga sesuai prosedur hukum tertulis dalam syariat Islam.”
Sementara itu Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional Republik Indonesia (Menristek/BRIN) Bambang Brodjonegoro mengatakan, secara umum penentuan halal dan tidaknya sebuah vaksin melalui dua tahap.
“Tentunya ada tahap pengembangan atau riset, dan tahap produksi,” kata Bambang.
Menristek juga menjelaskan vaksin Sinovac merupakan hasil kerjasama dengan podusen asal China, yang saat produksi dilakukan bersama Biofarma (perusahaan BUMN) serta berkonsultasi dengan MUI.
“Biofarma sudah punya pengalaman panjang untuk mendapatkan status kehalalan dari Dewan Syariah atau Dewan MUI,” ujarnya.
ARIEF RAHMAN MEDIA