Anggota Komisi II DPR RI, Ihsan Yunus, dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) yang namanya hilang dalam surat dakwaan kasus korupsi bansos Menteri Sosial Juliari P Batubara.
JAKARTA, jurnal9.com – Hilangnya nama anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Ihsan Yunus dalam surat dakwaan Harry Van Siddanbuke dan Ardian Iskandar Maddanatja menjadi pertanyaan besar. Karena kasus korupsi bansos ini seperti disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW) menjadi perhatian publik.
ICW bertanya-tanya kenapa bisa terjadi penghilangan nama Ihsan Yunus dalam dakwaan suap pemberi suap kepada mantan Menteri Sosial Juliari P Batubara dalam surat dakwaannya?
Padahal dalam dakwaan, menurut ICW, sudah dijelaskan peran terdakwa dari pihak swasta yang memberikan uang untuk mendapatkan bagian dari proyek bansos.
“Namun, tatkala surat dakwaan itu dibaca lebih lanjut, maka ditemukan ada banyak kejanggalan yang sangat signifikan, terutama terkait hilangnya nama-nama dan peran-peran pihak tertentu,” demikian keterangan ICW di Jakarta, pada Jumat (26/2)
ICW menjelaskan, penyusunan surat dakwaan sudah diatur dalam Pasal 143 KUHAP yang berbunyi “surat dakwaan mesti diuraikan secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan”. Namun aturan ini tak diterapkan penuntut umum KPK saat menyusun surat dakwaan untuk terdakwa Harry Van Sidabukke.
“ICW menemukan dua kejanggalan dalam dakwaan tersebut. Pertama, dalam dakwaan tidak disebutkan nama Ihsan Yunus. Padahal pada tanggal 1 Februari lalu, tepatnya dalam forum rekonstruksi, nama yang bersangkutan mencuat karena diduga menerima aliran dana sebesar Rp 6,7 miliar dan dua sepeda Brompton melalui Agustri Yogasmara,” tegas ICW.
Kedua, pada halaman lima surat dakwaan, penuntut umum hanya menyebut Agustri Yogasmoro sebagai pemilik kuota paket bansos sembako. Padahal dalam rekonstruksi kasus, KPK menyebutkan Agustri Yogasmoro bertindak sebagai “Operator Ihsan Yunus”.
“Pertanyaannya, mengapa hal ini tidak disebutkan dalam surat dakwaan? Maka dari itu, tidak salah rasanya jika publik menduga ada upaya dari internal KPK-pimpinan, deputi, atau direktur-yang tidak ingin mengembangkan perkara ini,” ungkap ICW.
ICW menekankan pada rekonstruksi perkara sebagai upaya KPK menguatkan sangkaan tindak pidana korupsi terhadap Harry Van Sidabukke.
“Jika dalam kegiatan tersebut Harry diduga memberikan sejumlah uang dan barang kepada seorang penyelenggara negara, bukankah itu merupakan sebuah tindak pidana? Lalu dikaitkan dengan surat dakwaan, apakah tindakan Harry tersebut tidak dianggap penting untuk dibuktikan dalam forum persidangan?,” lanjut penjelasan ICW.
Karena itu, ICW meminta Dewan Pengawas (Dewas) KPK memanggil pimpinan KPK terkait hilangnya nama Ihsan Yunus.
“Jika ditemukan unsur kesengajaan, maka Dewan Pengawas harus menjatuhkan sanksi terhadap oknum yang melakukan tindakan tersebut,” tutur ICW.
Menanggapi hal tersebut, Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan surat dakwaan itu disusun Jaksa Penuntut berdasarkan perbuatan Harry dan Ardian yang diperoleh selama proses penyidikan.
“Surat dakwaan JPU (Jaksa Penuntut Umum) KPK tentu disusun berdasarkan fakta-fakta rangkaian perbuatan para tersangka yang diperoleh dari keterangan pemeriksaan saksi-saksi pada proses penyidikan,” jelas Ali Fikri dalam keterangannya, Jumat (26/2).
Ali juga menegaskan dalam merampungkan berkas penyidikan Harry dan Ardian, Ihsan Yunus saat itu belum dilakukan pemeriksaan oleh tim penyidik. Sehingga Ihsan baru diperiksa pada Kamis (25/2/2021) untuk melengkapi berkas penyidikan dengan tersangka pihak penerima suap, termasuk Juliari.
“Pemeriksaan saksi saat itu, tentu diprioritaskan dan fokus pada kebutuhan penyidikan dalam pembuktian unsur pasal sangkaan para tersangka pemberi suap yang telah ditetapkan dari hasil tangkap tangan,” kata Ali.
Apalagi, menurut Ali, untuk merampungkan berkas penyidikan Harry dan Ardian, tim penyidik memiliki keterbatasan waktu hanya 60 hari untuk merampungkan berkas penyidikan tersangka pemberi suap.
“Tentu juga menjadi pertimbangan tim penyidik dalam mengumpulkan bukti sangkaan terhadap para tersangka tersebut,” tuturnya.
KPK mengajak ICW dan masyarakat mengikuti, mencermati, dan mengawasi setiap proses persidangan yang terbuka untuk umum ini. Dengan demikian dapat memahami kontruksi perkara tersebut secara utuh dan lengkap.
Ali menegaskan bahwa KPK sebagai penegak hukum bekerja berdasarkan aturan hukum, bukan atas dasar asumsi dan persepsi, apalagi desakan pihak lain.
“Kami memastikan, sejauh ditemukan fakta hukum keterlibatan pihak lain, tentu akan dikembangkan dan ditindaklanjuti dengan menetapkan pihak lain tersebut sebagai tersangka baik dalam pengembangan pasal-pasal suap-menyuap maupun pasal lainnya,” jelas Ali.
Sementara itu peneliti ICW, Kurnia Ramadhana menyatakan surat dakwaan yang disusun Jaksa, sudah sepatutnya menyasar pada tindak pidana yang dilakukan oleh Harry. Namun, ICW mempertanyakan apakah uang miliaran rupiah dan dua unit sepeda yang diberikan Harry kepada yang diduga sebagai perantara seorang penyelenggara negara tidak dianggap sebagai perbuatan pidana.
“Penting ditegaskan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP disebutkan bahwa surat dakwaan mesti ditulis secara cermat, jelas, dan lengkap,” ujarnya.
ICW mengingatkan kepada jajaran pimpinan, deputi, maupun direktur di KPK agar tidak melakukan tindakan melanggar hukum.
“Misalnya melindungi atau menghalang-halangi kerja penyidik untuk membongkar tuntas perkara ini,” kata Kurnia.
ICW meminta Dewan Pengawas KPK mencermati proses alih perkara dari penyidikan ke penuntutan serta pembuatan surat dakwaan untuk terdakwa Harry. Dan pemerintah juga harus mengawasi penanganan perkara ini, karena yang menjadi korban adalah hajat hidup masyarakat yang terdampak pandemi yang kemudian dicederai oknum pelaku korupsi.
“Maka dari itu, harapan publik bahwa KPK tidak melakukan tebang pilih dalam menangani perkara ini,” tegas Kurnia.
ARIEF RAHMAN MEDIA