Anggota DPR RI sidang bahas RUU menjadi UU Pilkada
JAKARTA, jurnal9.com – Baleg DPR RI akhirnya menyepakati kalau Revisi Undang-Undang (RUU) Pilkada untuk disahkan menjadi Undang-Undang di Rapat Paripurna, Kamis (22/8/2024), mengingat sudah diambil keputusan tingkat I pada Rabu (21/8/2024).
“Kita minta persetujuan dulu. Apakah hasil pembahasan RUU mengenai perubahan keempat atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, wali kota menjadi UU dapat diproses lebih lanjut sesuai peraturan perundang-undangan. Apakah setuju?,” kata Achmad Baidowi (Awiek), Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, di Gedung DPR RI Jakarta, Rabu (21/8/2024).
“Setuju…!,” dijawab mayoritas anggota.
Sebanyak 8 fraksi di DPR RI menyatakan setuju. Kecuali Fraksi PDIP yang menyatakan penolakannya terhadap RUU Pilkada untuk disahkan di Rapat Paripurna.
Pengambilan keputusan ini dihadiri langsung dari perwakilan pemerintah, yakni Menkumham Supratman Andi Agtas dan Mendagri Tito Karnavian. Adapun perwakilan DPD RI juga turut hadir.
Perubahan RUU
Ada sejumlah perubahan dalam RUU Pilkada ini, Pertama soal aturan syarat batas minimal usia calon kepala daerah dengan mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA).
Kedua, perubahan pada Pasal 40 disebutkan kelonggaran ambang batas pencalonan di Pilkada hanya untuk Parpol non Parlemen. Pasal ini yang menjadi sorotan, setelah adanya putusan MK.
Ketentuan Pasal 40 berbunyi:
- Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang memiliki kursi di DPRD dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
- Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang tidak memiliki kursi di DPRD Provinsi dapat mendaftarkan calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur dengan ketentuan:
a. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada dftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di provinsi tersebut.
b. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai 6.000.000 (enam juta) jiwa, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik pesrta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5% di provinsi tersebut.
c. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5% di provinsi tersebut.
d. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 6,5% di provinsi tersebut.
2. Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang tidak memiliki kursi di DPRD kabupaten/kota dapat mendaftarkan calon Bupati dan calon Wakil Bupati atau calon Wali Kota dan calon Wakil Wali Kota dengan ketentuan:
a. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di kabupaten/kota tersebut.
b. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen) di kabupaten/kota tersebut.
c. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai 1.000.000 (satu juta) jiwa, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen) di kabupaten/kota tersebut.
d. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 6,5% (enam setengah persen) di kabupaten/kota tersebut.
Putusan MK
Sementara itu anggota DPR RI Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu menyatakan partainya akan mengabaikan RUU Pilkada. Dan tetap memilih untuk mengikuti putusan MK.
“Kami akan mendaftarkan, dan bahkan bukan hanya kami, partai lain lain yang memenuhi syarat berdasarkan kluster yang diputuskan MK. Kami tak ikut aturan yang dirubah-rubah,” ujar Masinton kepada wartawan di Gedung DPR RI Jakarta, Rabu (21/8/2024).
Kalau PDIP jadi mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta, pihaknya akan mengajak masyarakat pendukung Anies untuk mengawal pendaftaran ke KPUD Jakarta.
“PDIP tetap akan memegang putusan MK. Karena dengan putusan itu PDIP bisa mengusung calon sendiri di Pilkada Jakarta,” ia menegaskan.
Alasannya putusan MK, kata Masinton, merupakan konstitusi hukum tertinggi. Sehingga harus mematuhinya.
Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia, Bivitri Susanti menyebutkan KPU akan menjadi penentu di antara putusan MK dan hasil revisi UU Pilkada tentang syarat calon kepala daerah yang baru selesai dan akan disahkan Kamis (22/8/2024) besok.
“Apakah KPU ikut menjadi penentang konstitusi atau tetap menjaga konstitusi? KPU lah yang akan menjadi penentu,” tegasnya lagi.
Dia menyebut memang KPU itu adalah lembaga independent. Tapi semestinya harus mengikuti putusan MK. Karena putusan MK bersifat final dan mengikat. “Dan sudah berlaku sejak putusan itu dibacakan,” ujarnya.
“DPR RI sudah merevisi RUU menjadi UU. Tapi semestinya mengikuti putusan MK. Kalau DPR RI tetap mengesahkan UU Pilkada yang baru itu, berarti mengabaikan putusan MK,” Bivitri menegaskan.
Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan KPU sebagai penyelenggara yang menerima pendaftar peserta Pilkada harus mematuhi putusan MK. “Kalau tidak menjalankan putusan MK, maka hasil pilkada berpotensi tidak sah,” ujarnya.
“Jika KPU tidak mengikuti putusan MK a quo, sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang berwewenang menyelesaikan sengketa hasil pemilihan, calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah, bisa dinyatakan tidak sah oleh MK,” ia menegaskan lagi.
RAFIKI ANUGERAHA M I GEMAYUDHA M I ARIEF RAHMAN MEDIA