Ilustrasi proses pembuatan vaksin di laboratorium di Inggris
JAKARTA, jurnal9.com – Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa vaksin AstraZeneca yang diproduksi perusahaan farmasi asal Inggris dinyatakan mengandung unsur babi dalam pembuatannya.
Namun MUI membolehkan penggunaan vaksin AstraZeneca yang mengandung babi itu untuk keadaan darurat (dhorurat) suntik vaksinasi. Karena vaksin merupakan salah satu upaya untuk mencegah penularan pandemi virus corona (SARS-CoV-2) di Indonesia.
“Intinya vaksin AstraZeneca mengandung unsur babi yang hukumnya haram. Tapi boleh digunakan karena dalam kondisi darurat untuk mencegah bahaya pandemi covid-19,” jelas Ketua Komisi Fatwa MUI, Hasanuddin Abdul Fatah di Jakarta, Jumat (19/3).
Dia menegaskan, meski pihak MUI mengeluarkan fatwa membolehkan penggunaan vaksin yang bahannya dari unsur babi, namun jika nantinya ada vaksin lain yang hasil kajiannya suci dan halal, maka fatwa MUI tersebut akan dicabut. “Ini kan diperbolehkan penggunaan vaksin AstraZeneca hanya untuk kondisi darurat,” tegasnya.
Hasanuddin mengaku kini MUI sedang melakukan kajian vaksin lain dari perusahaan Pfizer atau Novavax. “Jika hasil kajian bahannya halal, maka fatwa penggunaan vaksin AstraZeneca yang berbahan unsur babi itu akan dicabut,” jelasnya.
“Atau dalam vaksin AstraZeneca ada pembaruan penggunaan bahannya, bisa jadi fatwa hukumnya berubah jadi halal,” cetus Ketua Komisi Fatwa MUI itu.
“Jelas ya hukum bolehnya [AstraZeneca] sudah hilang, kalau sudah ada vaksin halal yang lain,” tegas Hasanuddin lagi.
Diperbolehkannya penggunaan AstraZeneca itu, menurutnya, terus terang diakui diputuskan Tim Fatwa MUI dengan banyak pertimbangan. Salah satunya menimbang ketersediaan vaksin yang sangat terbatas di Indonesia.
“Bahkan, Tim Fatwa MUI mencontohkan bukti keterbatasan ketersediaan vaksin itu bisa dilihat di banyak negara yang kesulitan untuk mendapatkan vaksin,” ungkapnya.
Pertimbangan lain, kata Hasanuddin, angka orang yang jadi korban sakit karena terinfeksi virus dan kematian, dinilai masih cukup tinggi di Indonesia. “Ini menjadi alasan MUI ang ymembolehkan penggunaan vaksin AstraZeneca,” jelas dia.
Kebijakan serupa, menurut Hasanuddin, pernah dilakukan MUI saat memutuskan diperbolehkannya vaksin meningitis yang juga berbahan unsur babi, digunakan untuk jemaah haji dan umroh pada 2010 lalu, dan vaksin campak dan rubella (MR) pada 2018 silam.
“Iya dulu sudah pernah ada, vaksin meningitis dan MR. Namun saat ada vaksin yang halal, maka vaksin yang lama sudah tidak dipakai lagi,” ujarnya.
RAFIKI ANUGERAHA M I ARIEF RAHMAN MEDIA