JAKARTA, jurnal9.com – Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah mengatakan RUU Cipta Kerja yang baru saja disetujui pengesahannya oleh DPR, berpotensi melemahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Agama dalam konteks perannya pada Sistem Jaminan Halal.
“UU Cipta Kerja memungkinkan produsen dapat menentukan sendiri bahwa produknya halal. Berarti peran Kementerian Agama dan lembaga MUI yang semestinya mengurusi sertifikasi halal sudah tak punya wewenang lagi,” ungkapnya.
Ikhsan menegaskan sangat tidak tepat di dalam Omnibus ini Jaminan Produk Halal sudah ada ketentuan ‘self declare’ (menyatakan sendiri) yang diatur dalam Omnibus Law.
Jika Omnibus Law mengatur Sistem Jaminan Halal yang semula tergolong ketat dalam memberi sertifikasi halal suatu produk. Tetapi dengan adanya UU Cipta Kerja ini justru memungkinkan peluang banyaknya produsen dapat melakukan menetukan sendiri produknya halal.
“Ini melemahkan MUI dan Kementerian Agama yang secara struktur dan kelembagaan telah mempunyai organ sampai di tingkat kecamatan di seluruh Indonesia,” katanya.
MUI dan Kemenag, kata dia, sejatinya dapat diberdayakan untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan edukasi kepada dunia usaha tentang berbagai hal terkait produk halal seperti cara memproduksi barang yang halal.
“Karena halal itu mata rantainya dari ladang sampai ke meja makan, yang harus dijamin kehalalannya. Lalu bagaimana bila halal bisa hanya dinyatakan sendiri oleh pelaku usaha UKM?,” kata dia.
Ikhsan mengatakan tidak semua UKM menggunakan bahan produksi yang termasuk kategori daftar positif seperti bahan-bahan alam misal beras, tepung ketela dan sagu.
Tetapi banyak UKM yang produknya menggunakan bahan utama dari daging, margarin, room butter, bahan penolong serta bahan artifisial yang memiliki titik kritis tinggi (berpotensi terkontaminasi materi tidak halal) yang masih harus ditelusuri kehalalannya.
“Bila halal hanya dengan ‘self declare’ maka akan menjadi tidak jelas kehalalanya. Dan yang menjadi persoalan utama, halal itu bukan masalah perizinan yang sudah diatur dalam Omnibus Law, hanya dimasukkan di dalam kluster perizinan dan kemudahan berusaha. Tetapi halal itu adalah hukum syariah Islam yang menjadi domain dan kewenangan ulama,” katanya.
Ikhsan menyatakan pendekatan kehalalan produk bukan hanya didekati dengan ilmu fiqih saja melalui deklarasi (menentukan) sendiri kehalalannya. Tetapi kehalalan produk harus menggunakan pendekatan fiqih dan teknologi pangan yang kini sudah tergolong canggih dalam mengecek kandungan hasil produksi.
Jika kehalalan hanya menggunakan pendekatan fiqih saja, kata dia, dapat menjadikan produk tidak jelas riwayat kandungan materinya.
“Karena itu, tetap diperlukan pemeriksaan atas suatu produk sebelum dilakukan penetapan Fatwa oleh MUI. Jadi ‘halal self declare’ tidak sejalan dengan maksud ajaran syariah, disamping tidak sesuai prinsip perlindungan konsumen yang menjadi tujuan utama,” katanya.
Sumber: Ant/MUI I ARIEF RAHMAN MEDIA