Cerita Fiksi Celly
Ilustrasi klipsastra
Kala aku sampai di sana, tempat itu gelap. Aku bertanya kepada Satpam penjaga, “Bazarnya sudah selesai?”
Satpam itu tersenyum ramah, karena ia mengenaliku. “Oh, itu harus lewat supervisor. Sebentar ya, aku panggilkan.”
Dua orang mbak berseragam menatapku, dengan pandangan yaa, aku ngertilah. Aku hanya bersandal jepit dan berkaos rumah. Sementara rambutku berantakan terkena angin dan helm, lagi-lagi aku lupa membawa sisir di tasku. Supervisor wanita itu datang, ia pun mengenaliku. “Oh, si mbak. Hayo, nyalain lampunya!” Katanya pada mbak berseragam itu.
“Silakan milih ya mbak,” ujarnya ramah padaku. Aku tersenyum dan segera mengaduk-aduk pakaian bermerk di box-box besar itu. Ada juga beberapa tas yang dipajang. Aku mengambil satu yang berwarna biru tua, untuk mamaku. Mall itu akan tutup. Kabarnya akan pindah ke lain kota, dan hanya yang berbelanja minimal tertentu yang akan dilayani.
Dengan ceria aku mendorong troly berisi pakaian yang menggunung pilihanku. Mbak berseragam itu ternganga kala aku mengulurkan kartu debitku, ‘Ini, semuanya, mbak?” tanyanya hati-hati.
Aku mengangguk dengan ceria. Aku sudah begitu sering bertemu dengan orang seperti si mbak begini. Tipe yang suka menilai seseorang dari fisik penampilan luarnya saja.
Aku menyeringai puas menatap kantong-kantong belanjaanku. Aku berlalu dari sana dengan gembira. Dalam benakku sudah merancang blus kuning itu untuk Pia kawan baikku yang dua hari lagi ultah. Blus bunga-bunga kecil serta jeans ukuran 28 itu untuk adikku semata wayang. Sisanya yang lain untukku….horee…
Sampai di rumah, mama menatapku dengan serius. “Adele, lagi ada corona begini kok kamu pergi-pergi terus?”
‘Habis ke bazaar, Ma”
Mama tetap berekspresi serius. Ia juga tidak tergoda membuka kantung-kantung belanjaan yang aku tenteng seperti biasanya. Aku memberikan tas biru itu padanya.
Mama tersenyum sedikit lalu menyerahkan setumpuk berkas padaku.
“Apa ini, Ma?”
‘Kamu sebentar lagi 27 tahun. Usia yang cukup matang untuk berumah tangga. Pilihlah satu dari empat itu. Sisanya biar Mama yang urus.”
Jadi…aku akan dijodohkan? Doeeeng….
‘Aduh, jangan sekarang, Ma, aku masih..”
‘Mama nggak selamanya ada buat nemenin kamu, Del. Suatu saat Mama bisa dipanggil pulang seperti papamu. Pilihlah satu pangeran untuk menjagaimu,’ “Mama bangkit berdiri dan melambaikan tas biru barunya, ‘Trims untuk tasnya ya. Cakep. Mama suka.”
Aku menelpon Pia. Pia cekikikan mendengar aku akan dijodohkan. Lima menit kemudian, Pia sudah sampai di rumahku. Berdua kami mencermati berkas-berkas lamaran itu.
‘Yang ini kakak kelasku, Del. Dia suka main ke club, juga merokok. Memang cakep sih, tapi sebaiknya kita lihat yang lain.”
‘Yang ini aku kenal, Pia. Dia ini yang mukul Desi kan?” tanyaku.
Pia mengangguk, ‘Mereka berantem cukup hebat. Tapi aku sih ngeri kalo baru pacaran aja sudah mukul-mukul, Del. Apapun alasannya.”
Aku mengangguk setuju. Masih ada dua kandidat. Aku dan Pia sama-sama tidak mengenal mereka. Pia menyarankan agar aku mencoba berkenalan dulu dengan mereka.
Kencanku dengan pria muda, tampan, necis, bersepatu mengkilap bernama Richard itu sama sekali tak menyenangkan. Pria itu lebih banyak diam, sesekali matanya menerawang jauh ke jendela. Ia sama sekali tak berusaha untuk mengenalku, ia sibuk dengan dunianya sendiri. Aku berpamitan dengan sopan.
Aku menanti dengan berdebar pada jadwal kencanku yang kedua, yakni kandidat terakhir dari 4 calon yang diajukan Mama. Aku sungguh terkejut saat berjumpa dengannya. Pria itu rambutnya berantakan serta duduk di atas kursi roda!
Karyawan resto segera menyingkirkan kursi di depanku, agar pria itu bisa duduk berhadapan denganku.
Aku tersenyum padanya, “Hello, aku Adele. Kadang aku juga lupa tidak bawa sisir di tasku. Kamu tahu, aku nyaris ditolak pramuniaga saat aku mau belanja di bazaar kemarin gara-gara rambutku kusut kena helm dan angin.” Aku tertawa dan mencari sisir di tasku lalu mengulurkannya padanya.
Pria itu tersenyum. Ia menerima sisir itu.
“Aku senang saat melihat fotomu, Del. Saat bertemu begini, aku lebih senang lagi. Kamu ini ceria ya,” katanya.
Aku tersenyum. “Yuk, dipilih menunya. Ada nasi goreng, steak…” Aku mencermati daftar menu di tanganku.
Kami berdua memilih menu kami, dan menikmatinya bersama dengan tenang. Percakapan kami mengalir lancar.
“Del, kamu nggak ingin bertanya tentang, ngg…kakiku?” tanyanya dengan perlahan.
“Ah iya. Kakimu kenapa, Will? Kamu habis kecelakaankah?” tanyaku.
Willy mengangguk. Setelah itu Willy bercerita tentang pekerjaannya, kehidupan sehari-harinya, dan lain-lain. Setelah itu kami sering bertemu dan akhirnya keluarga Willy melamarku.
Aku dan Willy sepakat memilih souvenir pernikahan kami adalah sisir. Benda tersebut mengingatkan akan pertemuan pertama kami di resto. Willy bilang, beberapa wanita sudah menolaknya duluan sebelum ia sempat membuka percakapan, saat ia datang dengan rambut berantakan plus duduk di kursi roda pula.
Kaki Willy sudah lama sembuh, tapi ia sengaja tetap berkursi roda kemana-mana untuk menguji calon pasangannya.
Aku terkejut, “Jadi, kamu bisa berjalan?”
‘Tentu saja bisa. Berjalan, melompat, berenang, aku bisa semuanya. Dan selamat, kamu lulus dari ujianku, ” sahut Willy ceria.
Willy bilang, hanya akulah wanita yang tak memandang rambut berantakannya, justru tertawa dan mengulurkan sisir padanya. Kaki cacat pura-puranya tak menghalangiku untuk menerimanya.
Uhukk…aku nyaris keselek mendengarnya. Aku memberitahunya, bahwa aku juga sering dipandang rendah orang lain karena penampilanku.
Calon suamiku menciumku dengan lembut, “Sebentar lagi kamu jadi istriku. Aku nggak keberatan dengan penampilanmu, tapi lebih bagus lagi kalau kamu sedikit lebih perhatian dengan pakaianmu juga rambutmu. Jangan kamu ulangi lagi berkaos bolong ke bazaar ya,
Del? Kamu tampil cantik, aku suamimu juga ikut bangga. Oke?”
Resepsi kami ditunda hingga corona berlalu. Hanya keluarga inti serta beberapa sahabat dekat yang datang ke gereja saat janji nikah kami dilakukan. Berdua kami bergandengan tangan melangkah ke altar gereja. Siapa sangka aku menemukan belahan jiwaku yang lembut dan baik hati, hanya karena sebatang sisir.
Solo, 20 Mei 2020-