Presiden Jokowi menemui pasien di Rumah Sakit yang menggunakan Kartu BPJS Kesehatan
JAKARTA, jurnal9.com – Langkah Presiden Joko Widodo menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan berdasarkan Perpres No 64 Tahun 2020, akan berpotensi melanggar konstitusi, setelah kenaikan iuran BPJS Kesehatan lewat Perpres No 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang berlaku 1 Januari 2020 dibatalkan MA.
Demikian pendapat Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari. Karena sebagai penyelenggara negara, seharusnya Presiden Jokowi patuh pada putusan MA Nomor 7/P/HUM/2020 dan tidak menaikkkan kembali iuran BPJS Kesehatan.
“Presiden sebagai penyelenggara negara tidak boleh mengabaikan putusan MA. Dan harusnya presiden taat dan tidak memaksakan keadaan,” tegasnya.
Feri menilai dengan menaikkan kembali iuran BPJS melalui penerbitan Perpres Nomor 64 Tahun 2020, Presiden Jokowi abaikan hukum atau disobedience of law. “Pasalnya, langkah Presiden Jokowi menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan yang sudah dibatalkan MA,” ungkapnya.
Karena putusan MA itu, menurut dia, bersifat final dan mengikat terhadap semua orang, termasuk kepada presiden. Hal itu tertuang dalam Undang-Undang tentang MA dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Feri menyebut Pasal 31 Undang-Undang MA berbunyi, bahwa peraturan perundang-undangan yang dibatalkan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. “Artinya perundang-undangan ini tidak dapat digunakan lagi, termasuk tidak boleh dibuat lagi,” paparnya.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas ini mengingatkan jika presiden mengabaikan putusan MA secara sengaja, maka berakibat konsekuensi serius sebagai bentuk pelanggaran konstitusi. “Tindakan seperti ini presiden bisa diangket, bahkan berpotensi impeacment (dimakzulkan),” ungkap Feri.
Sementara Anggota komisi IX DPR RI, Obon Tabroni menilai kebijakan Presiden Jokowi mengeluarkan Prepres No 64 Tahun 2020 yang mengatur iuran BPJS Kesehatan tidak tepat. Karena kenaikan iuran BPJS tersebut dilakukan saat beban masyarakat yang sangat berat menghadapi pandemi virus corona.
“Saat ini sedang krisis. Masyarakat banyak yang kehilangan mata pencarian, kok tega-teganya pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan,” kata Obon dalam keterangan persnya.
“Kesehatan adalah hak rakyat. Seharusnya akses masyarakat untuk mendapat jaminan kesehatan dipermudah. Bukannya dipersulit dengan menaikkan iuran seperti saat ini, masyarakat sedang susah,” lanjut dia.
Apalagi kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang baru diberlakukan 1 Januari 2020 ini, kata Obon, pada Februari lalu telah dibatalkan MA. “Jadi kenaikan yang diatur dalam Perpres No 64 Tahun 2020 ini mencerminkan jika pemerintah tidak menghormati keputusan pengadilan yang bersifat inkracht. Hal ini pemerintah memberi contoh yang buruk,” cetusnya.
Mahkamah Agung (MA) sendiri, melalui juru bicaranya Andi Samsan Nganro, menegaskan MA tidak akan mencampuri wewenang pemerintah soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang diatur lewat Perpres baru tersebut.
MA hanya berkeyakinan bahwa Presiden Jokowi sudah melakukan pertimbangan secara seksama untuk menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan itu. “Tugas MA hanya mengadili perkara permohonan hak uji materil terhadap peraturan yang kedudukannya di bawah undang-undang. Itu pun kalau ada pihak yang keberatan bertindak sebagai pemohon yang mengajukan ke MA,” kata Andi.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang sempat senang saat MA membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada Februari lalu, kini ia mengakui jika BPJS Kesehatan sedang bermasalah. “Ini keputusan yang sulit dan tidak populer yang diambil Presiden Jokowi. Mungkin publik melihat ini sebagai kekurangan,” tuturnya.
“Setelah saya pelajari ternyata menimbang mengingatnya karena posisi keuangan dari BPJS memang sulit,” ungkap Ganjar.
Karena itu, menurut dia, saat ramai (usul dan pendapat) kenaikan iuran BPJS Kesehatan beberapa bulan lalu, dirinya sempat usul kepada pemerintah pusat agar dibuatkan saja Jamkesda di daerah.
Ganjar menyatakan jika keputusan naiknya iuran BPJS Kesehatan ini sudah diuji dan memang dalam kondisi sulit (keuangan dari BPJS), maka harus diterima. “Ini kan legal policy, kondisinya sulit, ya gak apa-apa. Kalau kemudian memang jadi legal policy dan diuji secara konstitusi seperti ini posisinya, ya kita harus terima,” ujarnya.
RAFIKI ANUGERAHA M I ARIEF RAHMAN MEDIA