Komnunitas motor berknalpot bising
JAKARTA, jurnal9.com – Pengendara sepeda motor berknalpot bising di jalan raya sering mengganggu masyarakat, terutama saat menjalankan ibadah di masjid atau gereja. Bahkan di depan rumah sakit yang sudah diberi rambu peringatan agar pengendara motor berknalpot bising tak mengeraskan suaranya, tapi masih saja dilanggar.
Larangan sepeda motor berknalpot bising ini pun sekrang sudah diberlakukan di banyak daerah. Mungkin karena semakin banyak pengendara, khususnya dari kalangan anak muda yang menggunakan knalpot bising.
Bahkan tak hanya larangan yang diperingatkan melalui rambu, tapi pihak kepolisian sudah mulai melakukan razia dan langsung mengkandangkan sepeda motor berknalpot bising yang terkena jaring razia. Tapi masyarakat sendiri belum banyak tahu mengenai aturan atau UU lalu lintas terkait pelanggaran knalpot bising ini.
Selama ini dasar hukum yang dipakai; Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.56 Tahun 2019 Tentang Baku Mutu Kebisingan Kendaraan Bermotor Tipe Baru dan Kendaraan Bermotor yang Sedang Diproduksi Kategori M, Kategori N, dan Kategori L.
Dalam peraturan tersebut, disebutkan bahwa untuk motor berkubikasi 80 cc –175 cc, maksimal bising 80 dB dan di atas 175 cc maksimal bising 83 dB.
Padahal baku mutu atau ambang batas suara tersebut diperuntukkan kendaraan yang belum diluncurkan alias untuk type approval atau untuk kebutuhan uji tipe semata.
Selama UU tersebut diberlakukan, polisi lalu lintas berpedoman pada kebisingan yang berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 56 tahun 2019.
Peraturan menteri LHK tersebut berlaku untuk kendaraan bermotor yang diproduksi dan akan dijual ke konsumen di dealer. Tetapi peraturan untuk pengukuran kebisingan berdasarkan batas desibel dengan menggunakan decibel meter di jalan atau disebut in used oleh konsumen di jalan, itu peraturannya belum ada.
Wisnu Eka Yulyanto, Kabid Metrologi dan Kalibrasi Puslitbang Kualitas dan Laboratorium Lingkungan (P3KLL) Badan Litbang dan Inovasi (BLI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mengatakan, memang diakui ada kesalahan dalam konteks penggunaan Permen No. 56 tahun 2019 tersebut.
“Sebelumnya, itu memang pengganti dari Permen No. 7 tahun 2009. Jadi, sebenarnya Permen itu digunakan untuk kendaraan bermotor baik roda dua atau roda empat untuk type aproval atau yang belum launching,” ungkapnya.
Wisnu mengatakan, dalam uji tipe itu dikenakan baku mutu yang disesuaikan dengan lampiran Permen No. 56 tahun 2019. Sebenarnya, cara mengukurnya juga ada di sana. Pengukuran dan peralatan yang digunakan juga cukup lengkap.
“Perlu diingat, hasil pengukuran tersebut pada motor standar dengan knalpot standar dan sudah menggunakan alat ukur yang canggih oleh pihak KLHK,” ujarnya.
Kalau melihat itu, menurut Wisnu, sudah melanggar baku mutu, kalau menggunakan dasar hukum Permen No. 56 tahun 2019. Tapi tidak tepat jika Permen tersebut digunakan sebagai acuan untuk mengukur knalpot bising saat razia di pinggir jalan.
Sekarang ini pihak kepolisian menindak para pengendara sepeda motor berknalpot bising itu berdasarkan aturan pada Pasal 285 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).
Pasal tersebut berbunyi; setiap pengendara sepeda motor yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan seperti spion, lampu utama, lampu rem, klakson, pengukur kecepatan, dan knalpot dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250.000.
Knalpot yang bukan standar pabrikan bisa dikategorikan tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan. Sebab, knalpot standar sudah melewati tahap uji tipe, maka itu sesuai dengan aturan yang berlaku.
Polda Metro Jaya yang kini sedang gencang merazia sepeda motor berkanlpot bising atau dikenal knalpot racing yang dianggap mengganggu dan meresahkan masyarakat di lingkungan perkantoran seperti dijalan-jalan protokol.
Kepolisian mengatakan motor pelanggar bakal disita dan hanya bisa diambil jika pemiliknya membawa knalpot standar.
Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Pol. Sambodo Purnomo Yogo mengatakan aparat yang bertugas dalam razia bekerja sama dengan Dinas Perhubungan (Dishub) dan menggunakan alat pengukur suara atau sound meter untuk penindakan.
Alat itu yang akan digunakan mengukur kebisingan suara knalpot apakah sesuai ketentuan atau tidak.
Sambodo mengatakan polisi di lapangan juga dapat menindak langsung pengendara motor berknalpot bising yang terdeteksi tidak sesuai standar dan suaranya dianggap mengganggu.
“Pokoknya kalau kami lihat knalpot tidak standar dan mengganggu akan kami lakukan [tilang],” ucapnya.
Sambodo mengatakan polisi akan menilang pengendara pelanggar sekaligus dengan motornya. Artinya polisi juga akan menahan motor pelanggar untuk sementara waktu.
“Kami tilang dengan kendaraannya. Kami tilang tapi nanti setelah pembayaran denda tilang, lalu saat mau ambil motornya harus bawa knalpot standar. Jadi nanti diganti dulu dengan yang standar baru boleh ambil motornya. Tapi kami tidak sita knalpotnya,” kata Sambodo.
Berdasarkan Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nomor 22 Tahun 2009, menggunakan knalpot tak sesuai standar bisa diganjar dengan Pasal 285 ayat 1.
Bunyi pasal tersebut yakni:
Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor di Jalan yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan yang meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, knalpot, dan kedalaman alur ban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
RAFIKA ANUGERAHA M I ARIEF RAHMAN MEDIA