Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo saat sidang gugatan ulang batas usia capres-cawapres
JAKARTA, jurnal9.com – Mahkamah Konstitusi (MK) tolak gugatan ulang soal batas usia capres-cawapres karena putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 sebelumnya sudah final dan mengikat. Dan putusan tersebut tidak cacat hukum.
Demikian disampaikan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dalam sidang gugatan Nomor 141/PUU-XXI/2023 yang berkaitan dengan gugatan ulang terhadap batas usia capres-cawapres di dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu di Gedung MK, Jakarta, Rabu (29/11/2023).
Hakim konstitusi itu menyebutkan dengan merujuk pertimbangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dalam sidang pelanggaran kode etik hakim konstitusi beberapa waktu lalu, tidak sedikit pun memberikan penilaian terhadap putusan perkara 90/PUU-XXI/2023 itu cacat hukum.
“Dengan pertimbangan putusan MKMK sebelumnya telah membuktikan putusan batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu tidak cacat hukum,” tegasnya lagi.
Yusmic menjelaskan bahwa putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu berlaku secara hukum dan memiliki sifat final dan mengikat.
“MKMK dalam memutus sidang pelanggaran kode etik hakim konstitusi dalam penilaian sah atau tidak sahnya putusan itu yang disebabkan ada pelanggaran kode etik, hal itu tidak dapat diterapkan untuk menilai putusan dalam perkara pengujian undang-undang di MK,” tegas dia.
Dalam sidang gugatan perkara nomor 141/PUU-XXI/2023 yang yang diajukan mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Brahma Aryana (23) ditolak permohonannya.
Perkara tersebut berkaitan dengan gugatan ulang terhadap batas usia capres-cawapres di dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang sebelumnya berubah oleh Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dianggap kontroversial.
Karena dianggap untuk memuluskan Wali Kota Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai calon wakil presiden dalam Pilpres 2024.
“Berkaitan perkara tersebut kami menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo, saat memutus langsung mengetukan palu.
Terkait putusan MK yang mengikat dan bersifat final itu diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU MK yang berbunyi:
“MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
- menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- memutus pembubaran partai politik
- memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”
Putusan MK itu tidak dapat diubah karena sifatnya yang final dan mengikat. Sudah memiliki kekuatan hukum tetap sejak diucapkan. Dan tidak bisa diajukan upaya hukum.
Sifat final putusan MK dalam Undang-Undang ini mencakup kekuatan hukum mengikat (final and binding) (Penjelasan Pasal 10 ayat [1] UU 8/2011)
ARIEF RAHMAN MEDIA