Produk Domestik Bruto (PDB) Malaysia pada kuartal II/2020 mengalami kontraksi -17,1 persen year on year (yoy) dibandingkan tahun sebelumnya. Ini menjadi kontraksi ekonomi terdalam sejak kuartal IV/1998.
KUALA LUMPUR, jurnal9.com – Pertumbuhan ekonomi Malaysia mengalami kontraksi minus 17,1 % pada kuartal II/2020, ini menjadi sejarah ekonomi terburuk sejak krisis keuangan Asia pada 1998.
Seperti dikutip Bloomberg, Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal II/2020 mengalami kontraksi minus 17,1% year on year (yoy) dibandingkan tahun sebelumnya. Ini menjadi kontraksi ekonomi terdalam sejak kuartal IV/1998.
PDB Malaysia tersebut lebih rendah dibandingkan median survei Bloomberg yang memerkirakan kontrak minus 10,9 % yoy.
Data ekonomi tersebut menunjukkan pukulan parah karena Malaysia selama ini bergantung kepada sektor perdagangan. Namun, sektor itu menderita selama pandemi covid-19.
“Ekspor anjlok karena gangguan rantai pasokan, sementara belanja konsumen merosot di tengah lockdown yang diperpanjang,” papar laporan PDB Malaysia, Jumat (14/8).
Sementara itu, Bank Sentral Malaysia memprediksi kontraksi ekonomi pada 2020 sebesar minus 3,5 % hingga minus 5,5 %. Proyeksi tersebut lebih rendah dibandingkan estimasi sebelumnya 0,5 persen hingga minus 2 persen.
“Penurunan produksi sangat besar. Itu jelas menunjukkan bahwa pandemi telah mengakibatkan perekonomian menjadi terhenti,” kata Mohd Afzanizam Abdul Rashid, Kepala Ekonom di Bank Islam Malaysia Bhd.
Sejak Malaysia diserang covid-19, negara ini telah menutup lalu lintas orang asing di perbatasan, sehingga semua jalur perdagangan terhambat. Termasuk industri pariwisata dan penerbangan lumpuh. “Ini menambah ketidakpastian pada lonjakan perdagangan,” ujar Kepala Biro Statistik Malaysia Mohd Uzir Mahidin.
Perekonomian Malaysia pada kuartal I/2020 hanya tumbuh 0,7 persen. Pencapaian itu terendah sejak kuartal III-2009.
Nilai tersebut di bawah target perekonomian Malaysia sekitar 3,9 persen hingga 4,2 persen tahun ini. “Malaysia kehilangan 22,8 miliar ringgit (US$ 5,3 miliar) dalam output ekonomi akibat penguncian wilayah (lockdown) di seluruh negeri,” kata Mahidin.
“Ketika Malaysia mulai memberlakukan lockdown pada Maret lalu, indikator perekonomian mencatat penurunan terparah sejak 1998 lalu,” ujarnya.
“Dari indikasi awal April dan Mei 2020, perekonomian sudah tidak menguntungkan bagi bisnis Malaysia. Sejak diberlakukan lockdown, situasi yang belum pernah terjadi ini telah menyebabkan kontraksi tajam terhadap ekonomi Malaysia,” ungkap Mahidin.
Berbeda klaim RI
Melihat ekonomi negara jiran itu terperosok dalam resesi, mantan Menteri Keuangan RI Fuad Bawazier memandang apa yang dialami Malaysia tersebut, tak beda jauh dengan kondisi perekonomian Indonesia. Hanya berbeda persepsi yang diklaim pemerintah Indonesia.
“Kalau berdasarkan data FED St Louis, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II/2020 minus 6,9% jika melihat perbandingan antara kuartal sebelumnya dengan kuartal saat ini, atau QoQ seasonal adjustment, melengkapi pertumbuhan minus 0,7% pada kuartal I/2020,” papar Fuad.
Menurut data (FED St Louis) tersebut, kata mantan Menkeu RI, secara teknis pada kuartal II/2020 ini, Indonesia sudah masuk resesi.
Perbedaan klaim ini, kata Fuad, terjadi karena pemerintah Indonesia dalam menghitung resesi dengan berdasarkan pertumbuhan ekonomi tahunan atau YoY yang dinilai menyimpang dari standar perhitungan internasional yang menggunakan QoQ.
“Padahal seharusnya atas dasar pertumbuhan ekonomi riil kuartalan. Jika pemerintah sering ‘menyimpang’ dari standar internasional, maka data kita tidak akan dipercaya,” tegasnya.
Fuad menjelaskan pemerintah RI tidak mengakui standar perhitungan internasional yang menggunakan YoY. Padahal kalau dengan perhitungan YoY, ekonomi Indonesia akan terpuruk lebih dalam, karena nilai PDB pada base year 2019 jauh lebih besar dari base year 2020 atau kuartal sebelumnya.
“Ini menunjukkan sebenarnya pemerintah, khususnya Menkeu Sri Mulyani nampaknya memang tidak mengerti dan tidak tahu pula konsekuensinya dengan YoY,” ungkapnya.
BLOOMBERG I ARIEF RAHMAN MEDIA