Ilustrasi presidential threshold dalam pemilihan presiden
Aturan presidential threshold itu memang aneh, karena bersifat pembatasan orang untuk maju sebagai calon presiden. Padahal konstitusi tidak membatasinya.
JAKARTA, jurnal9.com – Aturan presidential threshold (ambang batas pencalonan presiden) kalau di negara lain dianggap aneh dan tak lazim, khususnya; negara yang menerapkan sistem presidensial.
“Ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) itu seharusnya dihapus karena akan semakin menggerus kehidupan demokrasi di Indonesia,” ungkap Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, dalam acara disksui Gelora Talk dengan tema “Menakar Reformasi Sistem Politik Indonesia, di Jakarta, Rabu (5/1/2022).
Penerapan presidential threshold (PT), tegas dia, tidak lazim digunakan di negara yang menganut sistem presidensial. Apalagi ditentukan dengan syarat calon presiden harus memenuhi 20 persen kursi di parlemen atau 25 persen suara sah secara nasional bagi partai maupun gabungan partai pengusungnya.
“Persyaratan itu memang aneh, karena bersifat pembatasan orang untuk maju sebagai calon presiden. Padahal konstitusi tidak membatasinya,” demikian Burhanuddin menegaskan seperti dikutip Antara.
Di negara lain presidential threshold itu, kata dia, betujuan sebagai syarat untuk menang setelah pemilihan presiden berlangsung. Seperti di Brasil dan Ekuador, ada syarat mengantongi suara 50 peren plus satu suara sebagai syarat memenangkan pemilihan presiden. Bukan sebagai syarat untuk maju. Dan jarak raihan suara juga harus minimal 10 persen dari pesaing terdekatnya.
“Presidential threshold itu aneh dan tidak lazim di negara lain. Tidak ada pembatasan yang ketat seperti di Indonesia untuk maju sebagai calon presiden. Bahkan di Amerika Serikat calon independent pun bisa maju sebagai calon presiden,” tegas Burhanuddin.
Namun ambang batas parlemen, menurut dia, memang perlu dipertahankan. Tanpa harus dinaikan lebih tinggi lagi untuk menjaga pluralitas politik.
Berbeda dengan ambang batas partai politik, menurut Burhanuddin, setuju dengan adanya ambang batas untuk masuk ke parlemen (parliamentary threshold), misalnya partai yang meraih suara minimal empat persen. Hanya saja batasan itu tidak perlu lagi dinaikkan karena kalau ambang batas terlalu tinggi seperti di Turki sebesar 10 persen, justru keterwakilan masyarakat menjadi lemah.
Dia khawatir kalau ambang batas itu dinaikkan lagi maka partai berbasis agama akan hilang, sehingga berpotensi menimbulkan kerawanan politik. “Jadi presidential threshold perlu dihapus. Parliamentary threshold diperlukan, tapi jangan terlalu tinggi karena bisa mengurangi plurasime politik,” papar Burhanuddin lagi.
Sementara itu, Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta mengatakan bahwa selama hampir 25 tahun, sistem politik Indonesia belum menemukan bentuknya termasuk seringnya perubahan soal ambang batas calon presiden dan penyederhanaan partai politik.
“Artinya, Indonesia masih melakukan eksperimen politik. Padahal, esensi demokrasi adalah tingkat kebebasan dan partisipasi berupa representasi atau keterwakilan rakyat,” katanya.
Karena itu ia sependapat dengan Burhanuddin dan turut meminta agar ambang batas calon presiden dihapus karena bersifat membatasi partisipasi rakyat.
Wakil Ketua DPR periode 2014-2019 Fahri Hamzah mengatakan bahwa aturan pemilu di Indonesia hanya mempersempit peluang munculnya calon presiden alternatif dari yang sudah dikenal selama ini.
“Dalam konteks itu, saya melihat sistem pemilu saat ini lebih memperkuat peran oligarki politik sekelompok elite. Namun mengabaikan keterwakilan rakyat Indonesia dari berbagai daerah,” ujarnya.
ARIEF RAHMAN MEDIA