Gibran Rakabuming bersama adiknya, Kaesang Pangarep
JAKARTA, jurnal9.com – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) membolehkan orang yang berusia di bawah 40 tahun, tapi pernah menjabat gubernur atau wali kota bisa menjadi calon presiden dan calon wakil presiden, diprotes oleh Tim Pemenangan Nasional Ganjar Presiden (TPN GP).
Entah kenapa tim pemenangan Ganjar yang dibentuk PDI-P ini tiba-tiba memperotes keputusan MK itu. Apakah karena nama Gibran Rakabuming sekarang yang berusia 36 tahun ini bakal digandeng jadi cawapres Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024?
Padahal para petinggi PDI-P sendiri menganggap putra Presiden Jokowi itu selama ini masil dianggap loyal pada partai. Dan para petinggi PDI-P itu saat ditanya kemungkinan Gibran digandeng Prabowo menjadi cawapresnya, mereka selalu menampiknya.
“Kami tidak fokus pada Gibran. Tapi kami melihat putusan MK itu kok tidak konsisten. Sebelumnya menolak tiga putusan batas usia capres dan cawapres yang belum berusia 40 tahun, tidak boleh mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden. Dan putusan ini dibacakan pada pagi harinya,” kata juru bicara TPN Ganjar Presiden, Tama S Langkun kepada wartawan di Jakarta, Senin (16/10/2023).
“Tetapi siang menjelang sore hari, tiba-tiba MK membolehkan orang yang dari usia 40 tahun menjadi 35 tahun, selama orang ini berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum. Melihat putusan ini kan MK menjadi tidak konsisten,” lanjutnya menegaskan.
Langkun menjelaskan pada siang menjelang sore tiba-tiba MK mengeluarkan angka tawaran yang diturunkan dari angka 40 menjadi 35 tahun, ”Kemudian MK menambahkan norma: kalau punya pengalaman pernah menjabat sebagai kepala daerah diperbolehkan mencalonkan diri menjadi presiden atau wakil presiden. Ini baru kelihatan tidak konsistennya,” ungkapnya lagi.
“Tentu saja sekalgi lagi, kami bukan berfokus pada Gibran ya, tapi yang kami kritik putusan MK nya yang tidak konsisten,” ia menegaskan.
Tim pemenangan bentukan PDI-P ini mengatakan dengan adanya keputusan itu MK dianggap telah melampaui kewenangannya.
“MK itu sebenarnya hanya berhak menyatakan: apakah UU itu bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Itu saja. Tetapi, ketika MK mengambil materi muatan baru yang tidak tercantum dalam materi pokok UU yang diuji, yaitu ketentuan baru yang pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah, maka MK sudah melampaui kewenangannya sebagai institusi negara,” Langkun menjelaskan
Dia juga mengingatkan, jika putusan MK itu sudah final dan mengikat. Tapi tidak memiliki fungsi legislasi. Sehingga apa yang diputuskan MK itu tidak otomatis berlaku, karena masih harus ada revisi di DPR RI.
“Jadi MK itu institusi yang tidak memiliki fungsi legislasi. Maka apa yang diputuskan tidak otomatis menjadi hukum. DPR dan pemerintah harus merevisi UU pemilu itu sesuai putusan MK,” kata Lungkan.
“Jadi, sebelum UU pemilu itu diubah siapapun: seperti yang dimaksud sedang menjabat sebagai kepala daerah selama usianya belum mencapai 40 tahun tidak bisa didaftarkan sebagai capres maupun cawapres,” ujarnya lagi.
MK menerima permohonan pengubahan batas usia capres dan cawapres itu yang diajukan seorang mahasiswa asal Solo, Almas Tsaibbirru Re A pada Senin (16/10/2023).
“Mengadili, satu, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. Dan menyatakan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu nomor 182 tambahan lembaran negara nomor 6109 yang menyatakan berusia paling rendah 40 tahun bertentangan UUD RI 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk pemilihan kepala daerah,” kata Ketua MK Anwar Usman menjelaskan.
Pemohon memiliki pandangan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka dianggap sangat cocok memimpin Indonesia periode 2020-2025. Karena di Solo dia mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,23 persen. Padahal sebelumnya pertumbuhan ekonomi di Solo justru sedang minus 1,74 persen.
Salah satu pertimbangan hakim Konstitusi menerima permohonan mahasisswa UNS tersebut karena banyak anak muda yang juga bisa ditunjuk sebagai pemimpin.
Apalagi pemohon menganggap Wali Kota Solo itu sudah memiliki pengalaman membangun dan memajukan dengan penuh kejujuran, integritas moral dan taat serta patuh mengabdi kepada kepentingan rakyat dan negara.
Sementara itu Hakim Konstitusi Saldi Isra sendiri mengaku bingung atas putusan MK yang mengabulkan gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu,
“Berkaitan dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 itu, saya bingung. Karena untuk menentukan ini harus dari mana, memulai pendapat berbeda (dissenting opinion) ini,” kata dia saat membaca pendapat yang berbeda itu.
Saldi mengatakan, ini baru pertama kali yang ia alami peristiwa aneh yang luar biasa, sejak dirinya menjadi Hakim Konstitusi pada 11 April 2017 yang lalu.
“Peristiwa aneh ini saat MK memutus dengan bisa berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam waktu sekejap. Karena sebelumnya, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU XXI/2023 diputuskan ditolak pada tadi pagi,” kata Saldi Isra.
MK secara eksplisit dan tegas, kata dia, menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentukan undang-undang untuk mengubahnya. Namun di keputusan yang baru, MK mengabulkan bahwa kepala daerah yang belum berusia 40 tahun bisa menjadi capres atau cawapres selama memiliki pengalaman menjadi kepala daerah.
“Baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa. Dan bisa dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar. Sadar atau tidak sadar, ketiga putusan tadi pagi telah menutup ruang adanya tindakan lain, selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang,” jelas Saldi.
Dan itu, kata Saldi, berlaku mulai Pemilu 2024. Ini perubahan yang tidak pernah terjadi sebelumnya di MK. Dan perubahan itu tidak sekadar mengesampingkan putusan sebelumnya, namun didasarkan pada argumentasi yang sangat kuat setelah mendapatkan fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat.
“Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat itu, sehingga membuat Mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam Putusan a quo?,” kata Saldi yang menjadi pertanyaan dirinya sebagai Hakim Konstitusi.
Bukan saja Saldi yang bertanya-tanya soal putusan MK ini, tetapi Hakim Konstitusi lainya: Arief Hidayat juga mengatakan ada kejanggalan atas putusan MK yang mengabulkan gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut.
Arief Hidayat sendiri sebagai Hakim Konstitusi merasakan adanya kosmologi negatif dan keganjilan pada lima perkara a quo yang ditangani MK soal batas usia capres dan cawapres ini.
Keganjilan ini perlu dia sampaikan karena mengusik hati nuraninya. “Hal ini mengusik hati nurani saya sebagai seorang hakim yang harus menunjukan sikap penuh integritas, independen, dan imparsial, serta bebas dari intervensi politik manapun dan hanya berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara yang berdasar pada ideologi Pancasila,” kata Arief saat membacakan dissenting opinion itu di Gedung MK, Jakarta.
Karena sebelumnya MK menolak tiga permohonan uji materi aturan yang sama. Uji materi itu diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garuda, dan sejumlah kepala daerah. Alasannya, jika mereka mengabulkan gugatan uji materi untuk menurunkan syarat batas usia minimum capres-cawapres menjadi 35 tahun, maka justru ini merupakan sebuah pelanggaran moral, ketidakadilan, dan diskriminasi.
ARIEF RAHMAN MEDIA