Nurul Ghufron, Wakil Ketua KPK
Jika masalah kenakalan peserta BPJS dan kasus di RS dapat diselesaikan, pengeluaran BPJS bisa menghemat hingga Rp 6 triliun.
JAKARTA, jurnal9.com – Rekomendasi KPK kepada Presiden Joko Widodo meminta agar tidak menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk solusi mengatasi defisit keuangan BPJS. Menaikkan iuran BPJS akan menjadi beban masyarakat yang sekarang sedang sulit karena banyak yang kehilangan mata pencarian selama masa wabah corona.
“Rekomendasi KPK ini sudah disampaikan kepada Bapak Presiden Jokowi, tapi gak ditanggapi surat dari KPK itu,” kata Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan, belum lama ini di Jakarta.
Menurut dia, surat ke presiden itu disampaikan KPK sebelum ditekennya Perpres keputusan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Maksud surat KPK itu berisi hasil kajian KPK soal defisit keuangan BPJS Kesehatan yang mencapai Rp 12,2 triliun.
Sementara Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, menjelaskan dari kajian KPK yang menjadi penyebab defisit keuangan BPJS itu, sebenarnya ada pada aspek penerimaan dan pengeluaran BPJS kesehatan. Karena pengelolaan BPJS Kesehatan dianggap tidak efektif dalam melakukan pembatasan pengguna jasa.
“Pembatasan yang ada cakupannya terlalu sempit, tidak dapat menjadi instrumen untuk pengendalian biaya dalam pengelolaan JKN, dan memberikan dampak negatif,” ungkapnya.
Selain itu, Ghufron menyebutkan permasalahan juga ada pada peserta mandiri. Karena sejumlah peserta menggunakan layanan BPJS, tapi banyak yang menunggak iuran.
“Ada permasalahan moral hazard dan adverse selection pada peserta mandiri. Jadi banyak peserta menggunakan layanan BPJS, kemudian tidak membayar iuran,” tegas dia.
Ghufron mengungkap, pemborosan pembayaran pada standar rumah sakit juga menjadi penyebab terjadinya defisit. Contoh ada rumah sakit yang mengklaim pembayaran tak sesuai dengan layanan yang diberikan.
“Pembayaran pasien yang dirawat di ruang perawatan kelas 3, namun pihak rumah sakit mengklaim pembayarannya di ruang kelas 2. Pembayarannya jadi lebih tinggi,” ucapnya.
Klaim rumah sakit yang tidak sesuai kelasnya yang menyebabkan kerugian BPJS Kesehatan dan peserta. Pihaknya mendorong Kemenkes dan Dinkes untuk meningkatkan pengawasan sistem klaim ini dengan memaksimalkan peran Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS).
“Khusus masalah fraud klaim ini sudah lama didorong KPK, solusinya pemerintah dan BPJS harus bekerja sama menetapkan standar tindakan pelayanan kesehatan. Misalnya tahun lalu ada 724.000 ibu-ibu yang melahirkan secara caesar dengan biaya mencapai Rp 3,9 triliun, apa benar? [operasi caesar],” ungkapnya.
Kasus lain, kata Ghufron, peserta BPJS yang harus menjalani operasi. Setelah operasi, dua bulan kemudian si peserta BPJS ini tidak lagi membayar iuran. “Kami melihat kasus seperti ini banyak sekali, memang masalah ini harus dibenahi terlebih dahulu,” ujarnya.
“Ada juga pasien yang menjalani perawatan lalu dibatasi rumah sakit seminggu pulang, lalu beberapa hari kemudian si pasien kembali lagi dengan mengulang klaim dari awal.padahal klaim sakitnya sama,” tuturnya.
Dia mengakui jika masalah kenakalan peserta BPJS dan kasus di RS ini dapat diselesaikan, maka pengeluaran BPJS bisa menghemat hingga Rp 6 triliun.
KPK menyebutkan sejumlah masalah yang menyebabkan defisit keuangan BPJS itu terjadi sejak mulai diberlakukannya Jaminan Kesehatan Nasional di BPJS pada 2014 lalu.
RAFIKI ANUGERAHA M I ARIEF RAHMAN MEDIA