Presiden Joko Widodo
JAKARTA, jurnal9.com – Mimik wajah Presiden Joko Widodo seperti nampak kesal, gregetan dalam menyampaikan curahan hatinya (curhat) melihat resep obat birokrat yang dibangga-banggakan ternyata tak cukup mujarab mengobati ekonomi yang ‘nyaris’ sekarat.
Presiden menyampaikan, jantungnya berdegup kencang akhir-akhir ini. Pasalnya, ancaman resesi sudah di depan mata.
Melihat keadaan itu, wajar jika Jokowi cukup ‘ceriwis’ mengingatkan pembantunya untuk bergerak cepat.
Jangan lambat, apalagi berpangku tangan, melihat kondisi sosioekonomi makin genting. Gunakan dong sense of crisis-nya!
Pesan Pesiden Jokowi itu sangat jelas dan lugas dalam arahannya. Dia tak ingin meninggalkan legacy negatif di periode kedua pemerintahannya.
Apalagi jika ekonomi menghadapi ancaman resesi. Indonesia harus kuat melewati pandemi dan keluar dari ancaman resesi. Caranya? Ya.. tetap bergerak dan menjaga protokol kesehatan.
Masyarakat harus kembali beraktivitas meski sangat terbatas. Ekonomi tetap harus berjalan. Apalagi indikator ekonomi beberapa bulan terakhir belum juga pulih.
Dibentuknya Komite Penanganan Covid-19, seperti diungkapkan Raden Pardede, salah satu pejabat di komite itu secara terang-terangan menyebutkan target jangka pendek yang akan dicapai komite.
“Target kita tahun ini supaya tidak ada resesi,” ujarnya dalam sebuah webinar, Senin (3/8).
Bahaya laten resesi memang semakin nyata dan menjadi momok yang sangat menakutkan. Kalau itu terjadi, bisa dibayangkan kondisi mirip 1998 atau bahkan lebih buruk dari tahun itu bisa terjadi. Pengangguran meningkat, pemutusan hubungan kerja di mana-mana, paling parah ya kerusuhan sosial.
Sejumlah ekonom menyebut perekonomian akan mengarah ke angka negatif bahkan resesi. Bekas Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo menyebut kuartal II/2020 ekonomi bisa mengarah ke minus 6 persen.
Pertumbuhan negatif atau resesi sebenarnya bukan sebuah kejutan. Pasalnya sejak awal pandemi penurunan kinerja baik di sisi permintaan (demand side) atau suplai tampak jelas. Kedua sisi ini terpukul cukup parah akibat pandemi covid-19.
Mantan Menteri Keuangan
Penurunan sisi permintaan ini yang menjadi perhatian pemerintah. Pasalnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan share sisi demand, penekanan pada konsumsi rumah tangga, ke produk domestik bruto (PDB) lebih dari 50 persen.
Artinya, konsumsi merupakan penggerak utama perekonomian domestik. Jika konsumsi terkontraksi rendah, daya beli masyarakat rendah, ekonomi sudah pasti nyungsep.
Daripada jor-joran kasih duit ratusan triliun buat insentif dunia usaha yang penyerapannya memble, mendingan dikasih saja ke masyarakat, kata bekas Menteri Keuangan Chatib Basri.
Kalau konsumsi masyarakat terjaga, tentu pelaku usaha akan melirik. Alurnya begini, ketika konsumsi membaik, aktivitas perekonomian kembali berjalan, peluang usaha bermunculan dan ini tentu akan dilirik pengusaha untuk berinvestasi.
Namun, sebesar apapun duit digelontorkan, kalau konsumsi tidak jalan pengusaha tentu akan selalu mengambil posisi wait and see alias ogah spending duitnya. Mereka tentu berpikir, daripada berisiko, mending taruh uangnya di bank dapat bunga deposito tanpa harus capek-capek mengeluarkan uang untuk investasi.
Kalau ini terus terjadi tanpa ada perubahan, kita akan masuk resesi
ANTARA I ARIEF RAHMAN MEDIA