Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati
JAKARTA, jurnal9.com – Waduh! Posisi utang pemerintah per akhir Juni 2021 melonjak menjadi Rp6.554,56 triliun atau sekitar 41,35 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Posisi utang tersebut mengalami lonjakan sebesar Rp136,41 triliun jika dibandingkan dengan posisi utang bulan Mei 2021 yang tercatat sebesar Rp6.418,15 triliun atau sekitar 40,49 persen dari PDB.
Posisi utang ini mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2020 lalu. Terutama disebabkan kondisi ekonomi Indonesia yang masih dalam fase pemulihan akibat perlambatan ekonomi yang terjadi selama pandemi covid-19,” tulis Kemenkeu dalam Laporan APBN Kita, Ahad (25/7/2021).
Pemerintah menyatakan pembiayaan utang pada 2021 digunakan sebagai instrumen untuk mendukung kebijakan countercyclical yang dikelola secara pruden, fleksibel dan terukur untuk menangani pandemi dan pemulihan ekonomi nasional.
Selain itu pemerintah melakukan strategi untuk memitigasi volatilitas pasar keuangan serta mengelola risiko agar utang tetap terjaga dalam batas yang aman. Salah satunya dengan menjaga komposisi utang yang lebih banyak menggunakan suku bunga tetap (fixed rate) untuk menghindari risiko suku bunga.
Disebutkan Kemenkeu, porsi utang pemerintah dalam valuta asing mengalami penurunan dari 44,6 persen pada 2015 menjadi 32,2 persen pada akhir Juni 2021.
Pemerintah juga melakukan beberapa strategi dalam hal pengelolaan portofolio dan menekan biaya utang untuk menjaga kesinambungan fiskal, antara lain melalui konversi pinjaman dan sinergi dukungan pembiayaan dengan BI.
Alasan tambah utang
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan alasan pemerintah harus menambah utang pemerintah saat kondisi pandemi, diperlukan untuk menutup defisit yang semakin membengkak.
“Ini karena besarnya pengeluaran pemerintah untuk menyelamatkan nyawa manusia yang tidak bisa ditawar dalam penanganan pandemi covid-19,” ungkapnya.
“Sehingga pemerintah harus menyediakan anggaran untuk penanganan kesehatan sesuai kebutuhan. Semakin lama penanganan pandemi, maka semakin besar pula risiko rusaknya perekonomian negara,” kata Sri Mulyani menegaskan.
Menkeu mengakui selama pandemi ini, pemerintah menghadapi tantangan yang sangat luar biasa. “Covid-19 ini tidak hanya mengancam jiwa manusia. Tapi juga mampu mempengaruhi dan mengoyak perekonomian negara,” kata Sri Mulyani dikutip dari siaran Youtube Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR).
“Semua negara di dunia menggunakan instrumen kebijakan untuk bisa menangani pandemi covid-19 dan dampak ekonomi sosial serta keuangan,” tegas Sri Mulyani lagi.
Kementerian Keuangan, kata dia, perlu mengeluarkan kebijakan ekstra dalam urusan pengelolaan anggaran negara. “Pandemi adalah extra ordinary challenge. Tantangan yang luar biasa. Itu membutuhkan respon kebijakan yang juga extra ordinary. Salah satunya adalah APBN yang harus menjawab begitu banyak tantangan di masa pandemi ini,” ungkap Menkeu.
Menurutnya, selain lonjakan anggaran kesehatan, pemerintah harus menggelontorkan dana besar untuk sejumlah program jaringan pengaman sosial.
Apalagi selama diberlakukan PPKM, lanjut dia, banyak masyarakat, terutama masyarakat menengah ke bawah yang terkena dampaknya.
Pemerintah harus turun tangan membantu ekonomi masyarakat, agar perekonomian negara secara makro tetap terjaga. Semua itu menuntut pengeluaran APBN yang sangat besar.
“Kebutuhan untuk meningkatkan anggaran di bidang kesehatan, bantuan sosial bantu masyarakat, dan bantu daerah. Hal ini terjemahannya adalah suatu beban APBN yang luar biasa, kami di Kementerian Keuangan merespon dengan apa pun kita lakukan untuk menyelamatkan warga negara dan perekonomian Indonesia,” ujar Sri Mulyani.
Konsekuensi dari pengeluaran tambahan tersebut, membuat defisit APBN semakin tinggi. Dan menambah utang adalah jalan keluarnya. “Dan itu berimplikasi pada defisit APBN, sehingga kenapa kita harus menambah utang, seolah-olah dengan menambah utang menjadi tujuan. Padahal utang itu merupakan instrumen untuk menyelamatkan warga negara dan perekonomian kita,” ucap Sri Mulyani.
Menanggapi besarnya utang pemerintah itu, Badan Anggaran (Banggar) DPR RI angkat suara. Sebab Badan Anggaran menjadi salah satu pihak yang menyetujui pemerintah berutang.
“Asal tahu saja, utang pemerintah pada akhir tahun 2020 mencapai Rp 6.074,56 triliun. Posisi utang ini meningkat pesat dibandingkan dengan akhir tahun 2019 yang tercatat Rp 4.778 triliun,” kata Ketua Baggar, Said Abdullah.
Utang tersebut, kata dia, membuat defisit fiskal tembus 6,1 persen dari PDB pada tahun 2020.
“Pemerintah perlu berutang karena memang kondisinya untuk membantu rakyat bisa bertahan di tengah pandemi covid-19. Utang itu digunakan pemerintah untuk berbagai bantuan, seperti insentif kesehatan, biaya vaksinasi, hingga bantuan sosial dianggarkan dalam program tersebut,” ujarnya.
Said menuturkan, UU Nomor 2 Tahun 2020 juga memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk melakukan pelebaran defisit akibat pandemi covid-19. Padahal jika tidak ada pandemi Covid-19, keseimbangan primer anggaran negara sudah lebih baik dan bergerak positif.
“Namun, justru karena wabah yang tidak bisa kita tolak, dan tidak kita tahu kapan akan pergi, maka penyebab wabah ini mengakibatkan satu hal, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi,” ungkap Said.
ARIEF RAHMAN MEDIA