Perawat dan dokter melakukan demo menolak disahkannya UU Kesehatan
JAKARTA, jurnal9.com – Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan resmi disahkan menjadi undang-undang (UU) Kesehatan. Padahal sejumlah tenaga kesehatan dari berbagai profesi masih banyak yang menentang pasal-pasal yang dianggap kontroversial dalam RUU Kesehatan tersebut.
RUU Kesehatan yang menggunakan pendekatan omnibus law ini akan mencabut 9 undang-undang, dan perubahan 4 undang-undang terkait kesehatan dalam upayanya untuk penyederhanaan peraturan.
Dari pada merevisi UU satu per satu, pemerintah dan DPR memilih untuk menggunakan pendekatan omnibus law.
RUU Kesehatan yang terdiri dari 20 bab dan 478 pasal tersebut, mencakup aspek tata kelola, seperti pembagian tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah, pembinaan dan pengawasan, penyidikan sampai masalah ketentuan pidana.
Mereka menyebut pemerintah dan anggota DPR RI di parlemen terlalu buru-buru mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kesehatan itu menjadi Undang-Undang (UU). Tanpa mengajak diskusi dengan sejumlah tenaga kesehatan yang berkepentingan dalam UU Kesehatan ini.
Sejumlah tenaga kesehatan seperti dari profesi itu: Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) sudah jelas-jelas menolak disahkannya RUU Kesehatan tersebut. Tetapi pemerintah dan anggota DPR RI itu tetap mengesahkannya.
Ketua PPNI, Harif Fadhillah merasa terpukul dengan pemerintah dan anggota DPR karena tak mendengarkan aspirasi para tenaga kesehatan yang berkepentingan terkait UU tersebut.
“Sebelumnya kami sudah melayangkan surat ancaman kepada anggota DPR RI di parlemen. Jika RUU Kesehatan itu disahkan jadi Undang-Undang, kami akan menyerukan mogok kerja bagi perawat dan dokter di seluruh Indonesia,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Selasa (11/7/2023).
Harif mengaku para tenaga perawat yang tergabung dalam PPNI sama sekali tidak dilibatkan dalam pembahasan Undang-Undang Kesehatan tersebut. Padahal para tenaga perawat yang sehari-hari melayani pekerjaan kesehatan ini semestinya ikut menyampaikan aspirasinya,
“Ini menunjukkan pemerintah dan DPR RI telah mengabaikan aspirasi rakyat seperti tenaga perawat yang berkepentigan dalam Undang-Undang Kesehatan ini,” ujarnya.
“Kami mengecam proses perumusan undang-undang yang seharusnya inklusif, partisipatif, transparan, dan berbasis bukti,” kata Harif menegaskan lagi.
Bahkan pihak Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP) telah mengirim surat kepada Presiden Jokowi soal pengesahan RUU Kesehatan yang dianggap masih ada pasal-pasal yang kontroversial.
Delegasi FGBLP, Prof Laila Nuranna Soedirman mengaku pihaknya menyayangkan UU Kesehatan ini akan mengancam ketahanan kesehatan bangsa, sekaligus sistem kesehatan negara.
Laila mengkritik beberapa pasal seperti penghilangan alokasi anggara (mandatory spending) dan beberapa pasal lainnya yang mempermudah dokter asing boleh praktek di Indonesia.
Adapun alokasi anggaran yang sebelumnya bersifat wajib bagi sektor kesehatan sebesar 5 persen dari APBN di luar gaji.
“Sekarang alokasi anggaran ini dihapus dengan alasan tidak terserapnya anggaran di daerah. Dan ini akhirnya berimbas pada pengalihan alokasi anggaran di luar sektor kesehatan,” tegas Laila.
Di UU Kesehatan sebelumnya, pemerintah pusat menganggarkan 5 persen dari APBN. Dan pemerintah daerah 10 persen dari APBD. Sekarang alokasi anggaran ini dihapus.
Ini menjadi salah satu pasal yang menuai protes oleh banyak pihak.
Beberapa pasal RUU Kesehatan yang dianggap kontroversial yaitu: Pasal 206 RUU Kesehatan, Pasal 239 Ayat (2), Pasal 462 Ayat (1) dan Pasal 314 Ayat (2).
RAFIKI ANUGERAHA M I ARIEF RAHMAN MEDIA