Jurnal9.com
HeadlineNews

Pasal-Pasal dalam RKUHP yang Dinilai Mengancam Kebebasan Pers

Ilustrasi protes Pasal RKUHP

JAKARTA, jurnal9.com – Dewan Pers menyatakan sejumlah pasal di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dinilai masih berpotensi menghambat kerja jurnalistik.

Padahal kebebasan pers yang ada saat ini diperjuangkan melalui proses legislasi di DPR selepas jatuhnya rezim Orde Baru saat peristiwa Reformasi 1998 lalu.

Kini pasal-pasal di RKUHP yang masih dibahas Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan pemerintah itu malah masih berpotensi bisa mengancam kemerdekaan dan kebebasan pers.

“Ada 19 pasal di RKUHP yang berpotensi mengkriminalisasi karya jurnalistik. Jadi hendaknya pasal-pasal yang berpotensi mengancam kebebasan kemerdekaan pers supaya dihapus,” ungkap Ketua Dewan Pers, Azyumardi Azra dalam keterangan persnya di Jakarta akhir pekan lalu.

Dia menjelaskan 19 pasal RKUHP itu dianggap juga bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Pasal-pasal yang dimaksud, yaitu Pasal 188 tentang Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara; Pasal 218, 219, dan 220 tentang Tindak Pidana Penyelenggaraan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden; Pasal 240, 241, 246, dan 248 tentang Tindak Pidana Penghinaan Pemerintah yang sah karena bersifat pasal karet;

Kemudian pada Pasal 263 dan 264 tentang Tindak Pidana Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong; Pasal 280 tentang Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan; Pasal 302, 303, dan 304 tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan; Pasal 351-352 tentang Tindak Pidana terhadap Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara; Pasal 440 tentang Tindak Pidana Penghinaan Pencemaran Nama Baik; Pasal 437 dan 443 tentang Pidana Pencemaran.

“Rancangan KUHP tersebut mengancaman terhadap kebebasan pers. Kebebasan media dalam berekspresi, kebebasan berpendapat, dan sebagainya,” cetus Azyumardi. Azyumardi.

Dia mencontohkan Pasal 188 yang mengatur ketentuan tentang Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara. Dalam pasal tersebut, media massa tak boleh menyiarkan hal-hal terkait dengan komunisme, marxisme, dan leninisme. Paham ideologi tersebut hanya boleh dibicarakan dalam kajian ilmiah.

“Karena kalau ada tulisan yang membahas mengenai marxisme, meskipun itu tulisan yang kritis terhadap marxisme, tetapi itu bisa menimbulkan kegaduhan dan deliknya ada dua tahun,” kata Azyumardi.

Bahkan pidana bagi media massa yang menyiarkan marxisme dan sejenisnya, lanjut dia, akan semakin berat bila menimbulkan kegaduhan.

“Kalau menimbulkan kegaduhan, bisa ditambah hukumannya. Kalau kegaduhannya menimbulkan korban, itu hukumannya tambah lagi,” jelasnya.

Baca lagi  PBNU Beli 5 Pesawat N219 Buatan PT DI Dibandrol Rp 80 miliar untuk Satu Pesawat

Bahkan menurut Dewan Pers, dalam RKUHP media massa juga dilarang untuk menyiarkan berita-berita yang belum teruji kebenarannya. Jika berita tidak sesuai fakta, jurnalis dan media bisa dikenakan Pasal 263 dan Pasal 264.

“Hukuman bagi jurnalis dan media berjenjang tergantung dari dampak berita yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Kalau beritanya tidak menimbulkan kegaduhan ya hukumannya lebih ringan. Tapi kalau menimbulkan kegaduhan lebih berat,” jelas Azyumardi.

Dia meminta pasal lain dalam RKUHP yang harus dihapus adalah soal ancaman pidana untuk menyiarkan kritik terhadap pemerintah. Ancaman tersebut tertuang dalam Pasal 218 tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden.

“Misalnya kalau tidak boleh lagi mengkritik atau kritik itu harus disertai dengan solusi?,” cetusnya.

Karena pasal tersebut bisa berlaku untuk kekuasaan secara umum di bawah pemerintahan. “Jadi kalau pers memuat [mengkritik] itu kepada kekuasaan bersifat umum, bukan hanya Presiden dan Wapres, tapi juga pemerintah yang ada,” ucap dia.

“Jadi oleh karena itu media yang memuat kritik tanpa ada solusi bisa kena delik,” kata Azyumardi menegaskan.

Dewan Pers sempat mempertanyakan pasal itu kepada pemerintah. Tapi pemerintah menyatakan kritik yang disampaikan tidak harus disertai solusi.

“Kita khawatir pasal tersebut seperti pasal karet yang bisa dikenakan kepada siapa pun, dengan maksud untuk melakukan kriminalisasi seperti Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE),” ia menjelaskan

Sepert dalam penjelasan Pasal 218 ayat 2 disebutkan definisi kritik adalah penyampaian pendapat terhadap kebijakan Presiden dan Wakil Presiden yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk kebijakan.

Penjelasan selanjutnya, ayat (2) pasal itu meminta kritik bersifat konstruktif dan memberikan suatu alternatif maupun solusi dan/atau dilakukan dengan cara yang objektif.

Kritik juga harus tidak memiliki niat jahat untuk merendahkan atau menyerang martabat atau menyinggung karakter pribadi Presiden dan Wakil Presiden.

Kemudian Pasal 240 dan 241 tentang Tindak Pidana Penghinaan Pemerintah yang sah, menurut dia, harus dihapus dari RKUHP. Sebab rancangan aturan itu berpotensi menjadi pasal karet dan bisa mengkriminalisasi pers.

“Harus dihapus karena sifatnya karet dari kata ‘penghinaan’ dan ‘hasutan sehingga mengancam kemerdekaan pers, kebebasan berpendapat dan berekspresi,” tegasnya.

ARIEF RAHMAN MEDIA

Related posts

Utang Indonesia Terus Melonjak Capai Rp6.570,17 triliun per Juli 2021

adminJ9

Data Kasus Kematian Akibat Covid yang Tinggi Beberapa Hari ini Ternyata Tidak Akurat

adminJ9

Vaksin Belum Jelas, Menkeu Sebut 2021 Pertumbuhan Ekonomi Berkisar 4,5 – 5,5%

adminJ9

Leave a Comment