Ilustrasi pasangan hidup bahagia
JAKARTA, jurnal9.com – Peneliti genetika perilaku dalam penelitiannya (2005) yang dimuat jurnal ilmiah Review of General Psychology, menunjukkan kebahagiaan seseorang 50% ditentukan gen, 10% tergantung pada status sosial, dan 40% ditentukan oleh aktivitasnya sendiri.
Peneliti genetika perilaku itu dalam melakukan penelitiannya menggunakan teknik statistik untuk memperkirakan komponen genetik dan lingkungannya berdasarkan hubungan sosial. Pendekatan efek gen terkait dengan kebahagiaan seseorang bisa dikenali lewat interaksi antara genetika dengan lingkungannya.
Dalam tulisannya, peneliti genetika ini memberi contoh alam tidak berdiri sendiri satu sama lain, tapi berinteraksi terus-menerus mempengaruhi satu sama lain.
Begitu gen yang diturunkan dari orang tua kepada anaknya akan berinteraksi pada lingkungannya yang kemudian membentuk dirinya.
Menurut peneliti genetika perilaku ini; orang bisa bahagia atau tidak, itu tergantung pada gen yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam lingkungannya. Sehingga kepribadiannya akan mengubah pikiran, perasaan, dan perilakunya yang berinteraksi terhadap hal yang negatif dan positif dalam lingkungannya.
Kebahagiaan menurut agama
Tetapi bagaimana dari sudut pandang agama? Apakah kebahagiaan seseorang itu ditakdirkan Tuhan? Atau kebahagiaan seseorang itu dari perjuangannya sendiri?
Pertanyaan ini akhirnya membuat para ahli teologi pada zaman Yunani dulu banyak yang mendalami ilmu tasawuf. Sehingga arti tasawuf yang berasal dari bahasa Arab; ‘shafa’ atau ‘shufi’ disadur ke dalam bahasa Yunani lama; ‘theosofie’ , artinya Ilmu Ketuhanan.
Sejak itu tasawuf dianggap bukan agama. Tapi suatu ihtiar yang tidak disadari para ahli teologi yang membuat tasawuf tergelincir dari agama. Mereka akhirnya berselisih tentang Ketuhanan. “Apakah Tuhan menakdirkan kejahatan yang dilakukan manusia?.”
Pertanyaan ini menjadi perdebatan, sampai muncul kaum sufi yang [kadang] mereka tempuh; jalan yang tidak digariskan agama. Sehingga sebagian dari mereka terpecah. Sebagian menjadi budak harta yang lebih sayang kepada hartanya daripada agamanya.
Berawal dari kejadian ini muncul kehidupan kaum zuhud yang amat membenci kemegahan dunia. Karena mereka yang hubbud dun ya [mencintai dunia: materi] itu dianggap mencari kekayaan untuk ‘kesenangan’ dalam hatinya sendiri.
Karena kebahagiaan yang dibayangkan timbul dari persepsi; dari apa yang dilihat [dari orang lain], dari apa yang didengar [dari orang lain], dan dari sesuatu yang benar-benar belum dialami [hanya dari pikirannya sendiri]. Jadi makna kebahagiaan bagi orang yang hubbud dun ya ini tidak ubahnya seperti halusinasi:
“Orang miskin mengatakan orang bisa bahagia jika bisa meraih kekayaan,
Orang yang sakit mengatakan bisa bahagia jika dirinya bisa sehat,
Seorang pelacur yang sulit meninggalkan dunianya [karena ini bagian dari matapencarian] mengatakan bisa bahagia jika dirinya bertobat, dan ada pekerjaan lain yang bisa mencukupi kebutuhan ekonominya.
Seorang yang jatuh cinta mengatakan bisa bahagia jika dirinya saling merindukan.”
Semua pemikiran tersebut berbanding terbalik dengan kisah nyata orang-orang yang kaya raya dan sukses kariernya, seperti ditulis Shane Steward: “Jika kebahagiaan itu bisa dibeli, pasti orang kaya raya ini akan membelinya sampai habis.”
Ini kutipan dari kisah nyata yang ditulisnya. “… jika ketenaran bisa membuat seseorang bahagia, pasti penyanyi top dunia: Michael Jackson tidak akan minum obat tidur setiap malam, karena depresi hingga akhirnya overdosis.”
“… jika kekayaan bisa membuat seseorang bahagia, tentunya Adolf Merckle orang terkaya di Jerman tidak akan bunuh diri (menabrakkan dirinya sendiri ke kereta api).
Lantas kebahagiaan itu seperti apa?
Seorang wazir yang masyhur di zaman Bani Abbas bertanya kepada Yahya bin Khalid, “Orang yang bahagia itu seperti apa tuan?,”
Yahya bin Khalid menjawab, “orang yang punya perangai baik, bijaksana akalnya, dan sabar dalam menempuh cita-citanya.”
Kemudian Nabi Muhammad mengatakan, “derajat kebahagiaan seseorang itu akan terwujud, sesuai derajat akalnya. Karena dengan akalnya seseorang [bahagia] karena dapat membedakan antara baik dan buruk.”
“Bertambah sempurna akal manusia, maka makin tinggi derajat kebahagiaannya. Bertambah luas akal sesorang, bertambah pula kebahagiaannya. Sebaliknya, makin sempit akal seseorang, makin mendekati pada petaka.”
Lantas Nabi menegaskan lagi, “dengan akalnya yang sempurna, manusia akan makin baik makrifatnya pada Allah, makin baik tingkat ketaatannya pada Allah, maka akan makin baik pula kesabarannya atas ketentuan [takdir] Allah.”
Manifestasi kebahagiaan itu dalam Alquran digambarkan: “andaikan penduduk suatu wilayah mau beriman dan bertakwa, maka akan dibuka pintu berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka yang mendustakan ajaran Tuhan [agama]. Maka Allah memberi adzab kepada mereka karena perbuatannya sendiri (QS al-A’raf [7]: 96).
“Dan Allah membuat suatu perumpamaan dengan [menciptakan] negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya melimpah ruah di berbagai tempat, tetapi penduduknya mengingkari nikmat Allah itu. Kemudian Allah memberikan kepada mereka pakaian, kelaparan, dan ketakutan yang disebabkan apa yang mereka perbuat.” (QS an-Nahl [16]: 112).
Dalam kalam hikmah: Wa-lastu araa as-sa’adata jam’u maalin wa-laakin at-tuqaa lahiya as-sa’iidu. “Kebahagiaan bukan [mereka] yang mengumpulkan harta benda, tetapi [sebenarnya] mereka yang takwa kepada Allah.”
Kebahagiaan menurut ilmu tasawuf, seperti yang disebutkan Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumiddin, menggambarkan sebuah kondisi spiritual manusia saat berada dalam puncak ketakwaan. Kebahagiaan manusia itu berupa manifestasi dirinya saat berhasil mencapai tahap makrifat; mengenal Allah.
Kebahagiaan itu merupakan kondisi hati yang dipenuhi dengan iman dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya.
Al-Qur’an menjelaskan orang yang bahagia itu adalah orang yang memelihara shalat dan khusyuk dalam shalatnya. Dan [hakikat] shalat itu: orang yang dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Ini yang disebut orang bahagia menurut Alquran.
ARIEF RAHMAN MEDIA