Jurnal9.com
HeadlineNews

“Kalau Sudah Selesai Denda, HRS Tidak Boleh Diadili Kedua Kalinya, Tak Boleh Diproses Lagi”

News Analysis

JAKARTA, jurnal9.com – Saat sidang eksepsi Habieb Rizieq Syihab (HRS) pada Rabu (24/3/2021) Munarman sebagai pengacara HRS mempersoalkan penerapan Pasal 160 KUHP pada pelanggaran protokol kesehatan.

Pasal tersebut tidak bisa diterapkan pada pelanggar protokol kesehatan. Pasal 160 KUHP adalah pasal yang seharusnya diterapkan pada peristiwa kejahatan. Berbeda dengan pelanggar protokol kesehatan yang bersifat pelanggaran. “Pelanggaran bukan kejahatan. Jadi kita tolak,” katanya.

Pasal 160 KUHP baru bisa digunakan jika; (a) ada perbuatan menghasut (b) yang dilakukan dengan sengaja (c) dilakukan di depan umum (d) orang yang dihasut melakukan perbuatan yang melawan hukum.

Memang sebelumnya, KUHP menyebut Pasal 160 yang mengatur penghasutan sebagai delik formil. Artinya, perbuatan penghasutan itu bisa langsung dipidana tanpa melihat ada tidaknya akibat dari penghasutan tersebut.

Kemudian Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 7/PUU-VII/2009 telah mengubah rumusan delik penghasutan dalam Pasal 160 KUHP dari delik formil menjadi delik materil.

Artinya, pelaku penghasutan itu baru bisa dipidana bila menimbulkan akibat yang dilarang; seperti kerusuhan atau perbuatan anarki lainnya atau akibat terlarang lainnya.

Berarti dengan adanya putusan MK tersebut, makin jelas bahwa perbuatan penghasutan saja tidak bisa dipidana, jika orang yang dihasut tidak melakukan perbuatan yang dipengaruhi hasutan. Hubungan sebab-akibatnya harus dibisa dibuktikan di pengadilan, sehingga orang yang menghasut dapat dipidana.

Apalagi perkara protokol kesehatan yang dilanggar HRS, menurut Munarman, telah membayar denda.

“Tidak pernah ada orang di Indonesia yang melanggar prokes, lalu membayar denda sebesar Rp 50 juta. Jadi kalau ini tetap diproses, ini ne bis in idem namanya,” tegas juru bicara FPI yang juga mantan Ketua YLBHI periode 2002-2006 ini.

Pendapat senada dikemukakan Guru besar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakir. “Dakwaan atas pelanggaran kerumunan HRS di Petamburan dan Megamendung tidak bisa diproses kembali. Hal ini melanggar ketentuan dari Pasal 76 KUHP,” ungkapnya.

Pasal 76 KUHP mengatur bahwa: Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap.

“Itu namanya ne bis in idem (pembelaan hukum yang melarang seseorang diadili dua kali). HRS tidak bisa diproses dua kali,” tegas Mudzakir.

Dalam KUHP, papar dia, setiap perkara pidana hanya dapat disidangkan, diadili dan diputus satu kali saja, atau dengan kata lain, suatu perkara pidana yang telah diputuskan oleh hakim tidak dapat diperiksa dan disidangkan kembali untuk yang kedua kalinya.

Baca lagi  Maqdir: Perkara Hasto Tak Ada Kerugian Negara, KPK Jawab Pihak Hasto Salah Memaknai

Ketentuan ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP bahwa (1) Kecuali dalam keputusan hakim masih boleh diubah lagi, maka orang tidak boleh dituntut sekali lagi lantaran perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim Negara Indonesia, dengan keputusan yang tidak boleh diubah lagi (in kracht van gewijsde).

Kemudian ayat (2) menyatakan: jika putusan itu berasal dari hakim lain, maka penuntutan tidak boleh dijalankan terhadap orang itu oleh sebab perbuatan itu juga dalam hal:

  1. Pembebasan atau pelepasan dari penuntutan hukum;
  2. Putusan hukuman dan hukumannya habis dijalankannya, atau mendapat ampun atau hukuman tersebut gugur (karena daluwarsa penuntutan);

Ketentuan hukum diatas dalam hukum pidana disebut dengan asas Ne bis in Idem, yang artinya orang tidak boleh dituntut sekali lagi karena perbuatan (peristiwa) yang baginya telah diputuskan oleh hakim.

Berlakunya asas hukum ne bis in idem dikarenakan seseorang terkait suatu perbuatan pidana tertentu yang telah diambil putusan oleh hakim dengan vonis berkekuatan hukum tetap, dan tidak dapat diubah lagi, baik itu putusan yang bersifat penjatuhan hukuman (veroordering), putusan bebas (vrijspraak), dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslaag van rechtsvervolging).

Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 18 (5) menyatakan bahwa “Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”. Pasal ini mengatur tentang Hak Memperoleh Keadilan.

Mudzakir mengatakan karena tidak bisa diproses dua kali, pengadilan kemudian menggunakan Pasal 160 KUHP. Padahal langkah tersebut dinilainya juga tidak bisa dilakukan. “Karena perbuatan pokok itu sudah diselesaikan dengan peradilan denda,” tuturnya.

Pelanggaran hal lainnya lagi, kata Mudzakir, Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) seharusnya juga tidak bisa melakukan sidang terhadap HRS. Hal ini melanggar kompetensi relatif pengadilan yang hanya memiliki wewenang mengadili suatu perkara sesuai wilayah hukumnya.

“Iya nggak bisa, itu locus delicti. Kalau perkara yang di Petamburan seharusnya sidang di PN Jakpus, kalau yang di Megamendung harusnya PN Bogor,” ujar dia.

Persidangan HRS di PN Jaktim menilik pada locus delicti, maka tidak sah karena tidak memiliki wewenang berdasarkan kompetensi relatif pengadilan itu.

“Dari dua hal itu sudah tidak bisa. Jadi, kalau sudah diselesaikan (denda), tidak boleh diadili untuk kedua kalinya,” ungkap dia.

ARIEF RAHMAN MEDIA

Related posts

Menlu AS Mike Pompeo di Hadapan GP Ansor Singgung Isu Muslim Xinjiang

adminJ9

BPOM Ancam Sanksi Pidana Produsen Ivermectin yang Langgar Aturan CPOB dan CDOB

adminJ9

ICCN Gaungkan Optimisme dan Semangat Indonesia Pulih

adminJ9

Leave a Comment